Télécharger l’application
20% My Podcast of Horror / Chapter 6: Podcast Rumah Tanjakan #01 : Hantu Lani di Rumah Kami

Chapitre 6: Podcast Rumah Tanjakan #01 : Hantu Lani di Rumah Kami

*Play*

Umm, dari mana saya harus mulai?

[Aku tidak pernah mendengar, menonton apalagi melakukan hal ini. Jadi... mana kutahu?]

Eh?

[Ki, menurutmu bagaimana? Sebagai penikmat podcast, kira-kira bagaimana memulainya?]

[...]

[Ki?]

[...ini sungguhan?]

[Maksudnya?]

[Suara ini...? Ini bukan trik, kan? Kamu gak lagi nge-prank, kan? Gila...! Itu ruangan kosong, gimana bisa ada suara?!]

[Hei, kau tidak sopan ke Lani yang ada di dalam sana. Jelas-jelas ada hantu di sana, malah dibilang kosong.]

Umm...

[Apa perempuan itu beneran Lani?! Aku gak mau percaya. Kamu pasti lagi bercanda, Bim!]

[Tsk! Kamu toh tadi sudah lihat sendiri, masih aja menyangkal. Kemarin-kemarin juga sudah lihat banyak barang terbang. Sudahlah, ini gak penting. Sekarang gimana biasanya podcast dimulai, Ki?]

[...]

[Ki?]

Ummm....

[...]

[Yah, dia malah bengong. Hmm, gini aja, Lan! Kamu awali dengan perkenalan diri dulu terus langsung aja ke cerita.]

Umm, apa dia baik-baik saja?

[Gak usah dipikirin. Dia masih dalam masa menolak realita. Kita bakal tinggal bareng, lama kelamaan juga dia bakal terbiasa.]

Baiklah kalau begitu.

Umm, mulai dari perkenalan ya?

[Hm.]

Gulp... umm, perkenalkan nama saya Lani Hanindya. Saya salah satu hantu perempuan di Rumah Tanjakan Wa*beep*in.

[Rumah Tanjakan?]

Iya, rumah ini dikenal sebagai Rumah Tanjakan oleh warga lokal. Karena berada di atas tanjakan dan hanya satu-satunya rumah yang ada di daerah sini.

[Ooh, ini pertama kali aku mendengarnya.]

[Kau ini sudah ngekos dan belajar di sini selama empat tahun. Aneh bila ini pertama kali kau mendengarnya.]

[Oh, kau kembali. Sudah menyangkalnya? Eh, hmmm... darimana kau dapatkan bawang putih?]

[Da-dapur.]

[Ki, Lani itu kunti. Bukan vampir, memangnya itu ngaruh?]

Saya bukan kunti.

[...]

[...]

Saya bukan kunti. Terus, saya bukan orang bodoh yang takut sama bawang putih.

[...]

[...oke, lanjutkan saja ceritanya.]

Baik. Umm, ah! Saya salah satu di Rumah Tanjakan. Penunggu di rumah ini karena mati dibunuh oleh lelaki yang biadab!

Pria jelek buncit gak pernah mandi! Bangsattt! Pria bangsattt! Kau! Di mana pun kau berada, aku akan datang padamu! Dasar bajingan!

Aaaaaa!

Anjinggg! Pria itu! Pria itu! Aku ingin dia mati!! Matii! Anjing! Matiii!

*Pak!

...

...

[Kendalikan dirimu.]

[...Bim? Kau tadi nampar hantu?]

[Ssst! Lanjutkan, Lan. Deskripsikan orang yang membunuhmu. Oh, jangan kalap lagi. Aku gak bawa bawang, tapi ada telapak tangan.]

[Kau nganca—]

[Ssst! Diam.]

[...]

Gulp... pelaku yang membunuh saya itu pria dengan perut buncit. Tapi kepalanya kelihatan kecil. Kaki sama tangannya juga kelihatan kurus. Jadi, proporsi badannya agak aneh.

Dia kelihatan kayak seorang pria umur tiga puluhan. Pakaian yang dipakai selalu kelihatan lusuh. Rambutnya juga agak bergelombang acak-acakan. Pakai kacamata... oh, sama kalau senyum kelihatan satu gigi taringnya ompong.

[Ada hal lain lagi yang kau ingat?]

Hmmm, bau? Iya... baunya kayak daging mentah atau bau kambing. Anyir gak sedap. Kekuatannya juga besar. Habis dia bisa menarikku dengan mudah. Melemparkan beberapa korban lain juga dengan gampang.

Pernah saya lihat, dia menampar salah satu korban yang sekamar dengan saya. Sekali tampar di pipi, seketika darah keluar dari mulut teman saya itu.

[Tunggu, korban lain? Ini pertama kali aku mendengarnya.]

Sebelum saya bergabung atau disekap. Sudah ada empat perempuan lain juga di sana. Setelah saya, bertambah dua orang lagi. Habis itu... saya mati.

Sewaktu bangkit dari kematian. Saya yang berada di rumah ini, sudah tidak menemukan siapapun lagi di sini. Mau si pria brengsek itu ataupun perempuan lainnya.

Sejak saat itu saya menunggu dan menunggu. Berharap pria brengsek itu kembali, sehingga bisa membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Namun sudah lima tahun berlalu, dia tak pernah kembali.

Beberapa orang datang ke rumah ini. Tetapi tidak pernah memberikan kabar kalau bajingan itu tertangkap atau mati. Hanya kabar kalau aku dibunuh di sini, dan arwahku bergentayangan saja yang mereka dengar.

Itupun kebanyakan tidak percaya kalau saya memang bergentayangan. Mereka hanya masuk ke sini sekadar untuk uji nyali. Membuat seolah menyelinap ke sini sebagai permainan, dan keluar setelah rasa penasaran terpenuhi.

[Hmm, apa ada yang pernah melihatmu? Maksudmu, kamu sebagai penampakan.]

Saya rasa ada tiga orang yang sempat melihat saya. Mereka langsung kabur dan tak pernah kembali.

[Siapa juga yang mau balik kalau sudah lihat kunti?]

Saya bukan kunti.

[Hmm, Lani. Bisa ceritakan bagaimana awalnya kamu diculik, terus seperti apa sewaktu kamu disekap dan dibunuh?]

[...Bim, apa itu perlu?]

Itu tidak akan menjadi cerita yang mengenakkan.

[Kamu hantu. Tugasmu menakuti. Kenapa harus memikirkan perasaan orang lain? Ceritakan saja.]

Huuu... oke.

Pada saat itu, kurang lebih lima tahun yang lalu. Saya pulang kerja sehabis lembur di kantor *beep*. Waktu itu sekitar jam sepuluh malam, setelah turun dari angkot, saya berjalan pulang melewati gang sempit di daerah *beep*.

Gang tersebut memang selalu sepi. Mau itu siang atau malam. Bukan jalan yang sering dilalui orang, hanya kami yang tinggal di desa *beep* bakal memakai gang tersebut sebagai jalan pintas ke jalan raya.

Jam sepuluh malam. Gang sepi. Saya nyalakan senter lewat hape. Pas di tengah gang, dari arah berlawanan ada orang berjalan.

Gang itu gelap. Cahaya bulan pun gak bisa menerangi jalan karena terhalang atap samping rumah. Jadi aneh ketika melihat siluet orang yang jalan di dalam kegelapan sendirian tanpa bantuan cahaya.

Waktu itu awalnya sih gak takut. Saya jalan saja seperti biasa. Tapi ketika semakin mendekat, saya melihat sosok orang yang berjalan itu ternyata seorang laki-laki. Kami berpapasan. Saya agak mengangguk sambil berkata permisi.

Lelaki itu hanya melihat saya dengan senyum. Tidak membalas sapa, hanya tersenyum saja. Diam memandangi saya terus. Bahkan setelah melewatinya pun, entah bagaimana tatapan dari pria itu masih terasa di belakang punggung.

Takut dong... jalan saya percepat. Tapi, ketika melangkah, suara langkah dari belakang pun terdengar.

Karena panik saya langsung berlari sambil sekali menengok ke belakang.

Sekali... dan mungkin itu kesalahan fatal yang saya perbuat. Sekali sekitar satu detik saja, saya agak melambat.

Namun pada saat itulah, saya melihat pria itu mengayunkan batu ke arah kepala. Setelah itu, saya tidak ingat apa-apa.

Ketika bangun. Tahu-tahu saya sudah ada di sebuah kamar yang dipenuhi oleh barang-barang yang terselimuti plastik. Tempat tidur, meja, lemari, sofa. Semuanya terbungkus plastik.

Kamar itu gelap. Saya terbaring di lantai yang dingin. Terbangun dengan menggigil, yang ternyata seutas benang pun sudah tidak ada di badan saya pada saat itu! Secara refleks saya langsung melirik ke arah bagian terpenting di antara selangkangan.

Ada darah di sana. Darah yang tanpa merasakannya pun, aku tahu itu adalah darahku! Bajingan itu! Bajingan itu! Bajingan itu!

[Tenang, Lani.]

Haa... haa... haa...

Gulp.

Tanpa perlu saya ceritakan pun kalian pasti sudah dapat membayangkan apa yang terjadi. Bangun dalam keadaan itu, tentu saya panik. Berharap semua hanya mimpi buruk.

Sayangnya, harapan itu memang sekadar ilusi. Kenyataan membuatku menjerit. Membangunkan dua perempuan lain yang ternyata ada dalam satu kamar, dan juga pria busuk yang menculik saya.

Berlari dari luar, pria itu mendobrak pintu langsung menampar wajah saya yang ketika itu sedang menjerit sejadi-jadinya.

Jujur aku tidak mau mengingat apa yang terjadi setelah itu.

Kami para wanita hanya dipandang bagai suatu benda pelampiasan hawa nafsu. Entah berapa kali saya membiarkan benda orang itu menusuk tubuh ini. Membiarkan bajingan itu sesuka hati dengan tubuh ini.

Dipukul, disiram air panas, dikuliti, ugh...

[Tolong hentikan.]

[Ki?]

[Bim, ini terlalu sulit didengarkan. Hentikan, please.]

[Sigh... Lan, maaf. Tampaknya aku kurang sensitif.]

Tidak. Tidak apa-apa. Aku malah ingin menceritakannya secara detail setiap perlakuan yang dia lakukan. Tapi...

Teman di sampingmu itu, tampaknya sudah pucat.

[...sigh, kalau begitu skip bagian penyiksaannya.]

Skip... hmm, langsung ke waktu saya dibunuh?

Jujur, saya tidak ingat banyak. Saat itu malam hari. Waktu tepatnya saya tidak tahu. Tapi dari jendela, saat itu terlihat bulan purnama yang terang di langit tanpa awan, begitu cantik terlihat.

Sewaktu kami tidur. Saling berdekatan satu sama lain, karena hanya itu cara kami agar bisa hangat karena sekadar memakai kain tipis seadanya sebagai pengganti baju.

Tiba-tiba, saya merasakan rambut ditarik. Tubuhku tergusur dengan paksa. Meski mencoba menahan pada rangka pintu. Karena sakit tertarik di rambut bagai akar-akarnya mau copot. Saya hanya bisa pasrah. Membiarkan terseret hingga ke ruang tengah.

Di sana, saya melihat suatu lubang galian. Yang mana, tubuh saya dilempar ke dalam sana. Setelah itu, pria itu menikamkan linggis ke perut sampai menembus dan tertancap ke tanah. Membuatku hanya bisa meringis, dan menggeliat kesakitan di tempat.

[Ugh...]

[Ki, tempat sampah di sana. Jangan buang seenaknya.]

Umm, apa saya hentikan saja?

[Lanjut. Tinggal dikit lagi.]

[Apa ini ada gunanya, Bim? Siapa juga yang mau dengar?]

[Entahlah. Tapi ini seru.]

[Kau sudah gila.]

Mmm, saya lanjut ya...

Setelah saya dipaku ke tanah. Pria itu mengeluarkan pisau lalu membelah dadaku. Sumpah, rasanya sakit banget! Sampai-sampai saat itu aku kehilangan kesadaran!

[Hm? Jadi setelah dibelah, kamu sadar lagi?]

Hm? Iya. Tapi waktu sadar, ternyata saya sudah jadi hantu.

[...eh? Terus tadi dia mati?]

[Hm. Mati.]

Ah, benar juga. Pada saat itu saya mati. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa. Tiba-tiba menjadi hantu dan tidak bisa keluar dari rumah ini.

Sudah seperti ini saja?

[Hmm, mumpung ini akan didengar oleh banyak orang. Apa ada hal yang mau kau sampaikan? Kepada para pendengar, maupun... ke keluarga yang ditinggalkan.]

!!

Itu... apa saya boleh mengatakannya?

[Kenapa tidak?]

...kalau begitu...

Buat Mama sama Papa... Lani... Lani... minta maaf sudah... sudah...

...

...

A-a-a-a

Haa haa HA!

Kyaaaaa!

Aaaaaaaaaa!!!

Brak! Bak! Crash!

[!!!]

[Bim!]

[Hentikan rekamannya!]

Clack!

Bang!

[Lani! Kendalikan dirimu!!!]

Aaaaaaaa! Mamaaaa! ARGHHH!

*Stop*


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C6
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous