Dave Pov ;
Lisa memeluk leherku erat. Saat aku bergerak mundur, semakin erat dia mengunciku.
Dia bergumam, sangat terdengar dibuat-buat.
Aku tahu dia berpura-pura tertidur. Ini bahkan belum lima menit sejak dia merajuk beberapa waktu lalu, bagaimana bisa seseorang terjatuh tidur dan mengigau begitu cepat.
Dia mungkin mengira aku tidak memenuhi permintaannya untuk tidur satu ranjang dengannya karena tidak ingin mempermudahnya untuk mengamati adegan atau apapun itu, untuk keperluan ceritanya. Lebih dari itu, aku sungguh ingin berbaring di sampingnya, memeluknya dalam tidurku. Tetapi, demi kenyamanan bersama, aku akan menahannya untuk saat ini.
Lisa mungkin tidak mengerti, aku tengah berusaha keras menahan segala emosi dan tubuhku yang terus mencoba melewati batas. Jika saat ini Lisa belum bisa merasakan perasaanku, aku tidak akan mengambil resiko untuk melakukan sesuatu hanya mengikuti hati dan tubuhku seorang.
Ini bukanlah hal yang mudah, kami berada di satu ruangan yang sama, dan dengan cahaya lampu yang remang-remang, berusaha mengendalikan diriku.
Terlepas dari semua hal itu, Lisa adalah istri sahku. Tidak akan hukuman atau larangan jika aku memeluk, mencium dan melakukan hal yang lebih jauh lagi kepadanya. Tetapi aku menghargai keinginan Lisa, semata karena aku menyayanginya.
Aku akan menjaga, melindungi dan menyayanginya dengan jalan yang tidak akan membuatnya menjauhiku. Aku tidak akan memaksanya untuk menerima atau membalas perasaanku. Aku hanya berharap, suatu hari dia akan menerima dan memahami perasaan tulusku.
Aku menepuk-nepuk punggungnya pelan, hingga beberapa menit.
Pelukannya mulai melonggar, kemungkinan dia mulai mengantuk. Aku menggerakkan tubuhnya melan, melepas pelukannya, membuatnya berbaring dengan posisi yang lebih nyaman.
Matanya bergerak-gerak kecil, dia belum tertidur. Aku tersenyum kecil melihatnya. Setelah segala usahaku agar tidak melakukan sesuatu yang mungkin tidak dia sukai dengan menjaga jarak darinya, namun saat ini, dia mendatangiku.
Apa yang harus aku lakukan padanya?
Aku merapikan rambut yang menutupi wajah Lisa. Dia bergerak sedikit, kaget beberapa saat lalu, aku bergerak menindihnya di bawah tubuhku. Tetapi, dia kembali tenang di detik berikutnya, kembali berpura-pura tertidur.
Aku hendak tertawa sebenarnya, tapi demi melihat usahanya, membuatku menahannya.
Aroma parfum, lip balm cherry dan samponya tercium jelas dari jarak sedekat ini. Kulit putihnya terlihat bersih. Lisa bergerak kecil, aku tahu dia mulai menyadari jarak antara wajah kami telah terpangkas banyak. Kami berada dalam jarak untuk berciuman.
Aku menelan ludahku, menggeleng keras. Tidak, aku harus menahannya. Aku seorang pria dewasa. Aku bergumam di dalam hati.
Mata Lisa bergerak-gerak kecil, hendak mengintip. Tetapi sebelum itu, aku melakukan sesuatu, mengatasi degupan jantungku yang mulai tak terkendali.
Lisa membuka matanya, melihat tubuhnya seksama.
"Apa maksudmu? Apa yang sedang kau lakukan? Aku tidak bisa bergerak sedikitpun, Dave?" Dia tertawa kecil, namun nadanya terdengar sedikit kesal.
Aku hanya tersenyum puas menatapnya.
Aku baru saja mengikat tubuhnya dengan selimut dan ikat pinggangku. Dia terbungkus seperti seekor kepongpong yang siap bertransformasi menjadi kupu-kupu. Hanya bagian lehernya ke atas yang bisa bergerak bebas.
Dia mencoba bergerak-gerak hendak melepaskan diri beberapa kali lagi, tetapi tetap gagal. Lisa menatapku kesal.
Aku mendekatkan wajahku dengannya, bergerak hendak menciumnya. Lisa memejamkan matanya, bersiap menyambut ciumanku.
"Aku sudah mengatakannya dengan jelas, Nona Penulis. Aku tidak akan bersikap mudah." Aku tidak menciumnya, tetapi berbisik pelan di samping telinganya.
Lisa membuka matanya, menatapku, memaksakan sebuah senyum di wajahnya. Aku tahu pasti, dia tengah menahan kekesalannya di dalam hati. Aku balas tersenyum manis, berbaring di sampingnya.
Dia mengendus-endus selimut yang mengikatnya, "Sabun badan merk apa yang kau pakai? Ini harum sekali." Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, masih mengendus, gerakannya persis terlihat seperti anak kucing.
Aku beranjak bangun dari posisiku, berdiri. Lisa mendongak menatapku.
"Tidurlah." Aku berkata pelan, kemudian melangkah keluar kamar.
Suara protes Lisa yang memintaku melepaskan ikatannya tertinggal di belakang saat aku menutup pintu kamar dari luar.
Aku tertawa kecil, mulai menuruni anak tangga.
Fakta bahwa aku mendapat satu hal baik malam ini, membuatku tidak bisa menahan senyum.
Jika Lisa sebelumnya selalu menghindar dan kerap bersikap canggung saat aku mendekatinya, selanjutnya mungkin aku bisa mengharapkan hal yang lebih baik.
Dengan segala rencananya untuk mengamatiku sebagai tokoh utamanya, dia akan terus berada di dekatku, mengikutiku. Itu adalah kabar baik, terlepas dari apapun tujuannya. Kesempatanku membuat hubungan kami selangkah lebih maju datang lebih cepat dari yang kuduga.
....
Aku melepas kacamataku. Semua dokumen telah diperiksa dan ditandatangani. Brenda yang menunggu di sampingku mengangguk, mengambil semua dokumen, kemudian melangkah keluar.
Aku melihat ke arah Lisa yang kini tengah menatapku dengan cermat. Raut wajahnya terlihat serius. Kepalanya mengangguk-angguk kecil, kemudian mulai mencatat di bukunya. Setelah itu menatapku lagi, mengamati.
Aku berangkat ke perusahaan [agi-pagi sekali hari ini. Ada suatu hal mendesak yang harus segera kutangani.
Kejutan yang menyenangkan di tengah urusan kantor yang sibuk. Saat aku membuka pintu ruanganku, Lisa telah duduk manis dengan buku novel di tangannya sebagai bacaan.
Dia terlihat senang saat melihatku datang. Dia berjalan menghampiriku, dengan senyuman aneh.
"Halo, Tuan tokoh utama. Aku datang kemari untuk mengamatimu," dia berkata sopan, membungkuk kecil, memberi hormat.
Aku bersedekap, menatapnya heran. Dia menghela nafasnya keras, menatapku lagi, "Sudahlah, lanjutkan saja pekerjaanmu. Aku akan duduk manis di sana, mengamatimu dari jauh," dia berkata kesal, menunjuk sofa panjang.
Aku masih bergeming, tanpa ekspresi, pura-pura tidak mengerti.
Dia mengibaskan tangannya, tidak peduli. "Jangan pasang wajah menyebalkanmu itu, aku tidak tertarik melihatnya."
Dia berbalik, melangkah menuju sofa, posisi duduk manisnya.
Aku tertawa kecil. Ekspresinya berubah-ubah dalam beberapa detik.
Aku menatap punggungnya yang membelakangiku. Aku tahu sekarang dia mirip siapa. Emosi yang berubah-ubah, banyak tingkah, seperti anak kecil, Jack. Yeah!
Mereka langsung dekat sejak obrolan pertama mereka tentu saja karena otak, tingkah, dan emosi mereka yang sejalan. Hanya saja, Jack bersikap lebih manja lagi, sedangkan aku belum mendapati Lisa yang bertingkah manja.
Sifat kekanakan Lisa akan terlihat dari gerakan-gerakan kecilnya yang mungkin dia sendiri tidak sadari. Saat kesal bibirnya akan mengerucut, saat kaget matanya akan membulat, terlihat lucu. Aku seringkali ingin mencubit pipinya, geram sendiri.
Sebagai orang yang dikenal banyak orang, aku sering membaca beberapa artikel yang menulis tentang nama julukanku, "pria seksi tampan...." dan seterusnya. Besar kemungkinan wanita masa depanku adalah wanita cantik dengan tubuh proposional sekelas seorang model.
Namun faktanya, kini aku jatuh cinta dan menikah seorang gadis lucu nan menggemaskan dengan pipi bulatnya. Jangan lupakan tinggi badanya yang hanya sebahuku, aku harus menunduk untuk menciumnya. Tidak sesuai ekspektasi banyak orang memang.
Tetapi terlepas dari pendapat mereka, aku menyukai Lisa apa adanya dia. Walaupun tingkah dan perkataannya kerap tajam dan dingin, aku tetap menyukainya. Hanya dia.
"Apa pekerjaan seorang CEO hanya menandatangani berkas-berkas itu? Betapa membosankannya. Ini diluar ekspektasiku, tidak sama seperti di dalam drama." Lisa bangun dari posisi duduknya, beranjak berdiri, bersandar di rak buku.
Bibirnya mengerucut, dia bosan.
Aku tahu sejak tadi dia beberapa kali berpindah-pindah tempat duduk.
Dengan ukuran tubuh kecilnya itu, dia bergerak dengan mudah kesana kemari. Lain halnya saat dia menonton video pria idola-idolanya dan drama-dramanya itu. Dia akan duduk sepanjang hari, tetap dalam posisinya.
Gerry memberiku informasi itu saat dahulu aku memintanya untuk mencari informasi tentang Lisa saat kami belum menikah. Jessy juga membenarkannya.
Dia bercerita banyak hal tentang Lisa di meja makan beberapa hari lalu. Lisa hendak menghentikannya, tetapi Jessy dengan lantang kembali bercerita, membeberkan kebiasaan dan aib adiknya itu. Meja kami dipenuhi tawa kala itu.
Aku berjalan ke arah Lisa, mengurungnya dengan tubuhku.
"Jadi, apa yang dilakukan CEO dalam dramamu? Aku ingin mendengarkan betapa hebatnya mereka hingga membuatmu duduk seharian menatapnya. Aku mungkin bisa mengikuti satu dua hal jika itu bagus, untukmu." Aku berkata pelan, menatapnya.
"Benarkah?" Lisa berkata riang. Matanya berbinar-binar senang. Raut wajah kusutnya beberapa saat lalu berganti riang.
"Benarkah, kau akan mengikuti mereka?" Dia mencari kepastian. Matanya mengerjap-ngerjap.
Ada rasa senang yang menyeludup ke dalam hatiku. Terlepas dari apapun alasannya, Lisa tidak lagi menghindar saat aku mendekatkan jarak ku dengannya.
"Sebut saja. Aku akan menunjukkannya jika kamu bersikap baik." Aku berdehem pelan, menyembunyikan raut senangku.
"Baiklah, aku akan bersikap baik mulai sekarang." Lisa berkata riang.
Dia berlari kecil, mengambil buku catatannya di atas meja.