Saat membaca pesan yang Jeni terima dari kekasihnya itu, tentu saja perasannya semakin teriris. Harusnya ia bersenang hati karena kekasihnya Wili sungguh-sungguh ingin memperjuangkan cintanya. Akan tetapi, Jeni malah semakin bersedih setelah membaca pesan dari Wili tadi.
Kenyataannya Jeni sudah membulatkan tekad dengan mamahnya akan pergi dari ruman itu, meninggalkan kisah manisnya bersama Wili. Meninggalkan kisah pahitnya bersama Jefri.
Jeni merasa yakin, kalau Jefri tak akan mau kembali padanya jika tanpa menyentuh Jeni. Pun dengan Jeni, ia memang tak sudi jika harus kembali melayani lelaki dewasa itu.
Jeni kemudian bangun dan duduk dengan menekuk lututnya. Ia menatap dalam-dalam gambar Wili yang berada di dalam galeri ponselnya. Jeni enggan untuk membalas pesan dari Wili dan lebih memilih memandang wajah lelaki yang sangat ia cintai itu.
"Wil. Maafkan aku jika kisah ini harus berakhir. Aku sangat mencintaimu. Tapi aku telah menyakiti perasaanmu. Maafkan aku, Wil. Aku terpaksa harus pergi meninggalkan semua kisah manis bersamamu. Jangan benci aku jika suatu saat kamu menemukanku dalam keadaan telah memiliki seorang anak dari darah daging kakakmu," desis Jeni berbicara sendiri. Ia hanya berani berbicara pada poto Wili, tanpa ada keberanian untuk berbicara langsung.
Jeni menempelkan ponselnya pada dada, ponsel yang berisi gambar Wili pada layarnya. Sungguh berat meninggalkan Wili. Ia bahkan belum tahu akan sanggup atau tidak jika hidup tanpanya.
Bulir bening itu kembali tumpah saat harus mengingat kata perpisagan, karena sampai saat ini Jeni tak bisa memberitahukan Wili nengenai niatnya.
Notifikasi pesan masuk kembali berbunyi pada ponsel Jeni. Ia melepaskan benda pipih itu dari dadanya. Melihat pesan yang masuk yang datangnya kembali dari sang kekasih, Wili.
My Wili : [Jen! Kenapa tak membalas pesanku? Kamu tidak marah kan terhadap aku? Aku mencintaimu, Jen. Semua akan baik-baik saja ya. Besok siang aku akan ke rumahmu sepulang dari kampus. Tunggu aku ya.]
Wili kembali dengan pertanyaan yang membuat perasaan Jeni sedu. Segera Jeni mengusap kasar wajahnya yang terasa basah oleh air mata, kemudian memainkan jemarinya pada layar ponsel. Rupanya Jeni akan membalas pesan yang baru saja ia terima dari sang kekasih.
Jeni: [Wil! Dengarlah, aku tak pernah bisa marah padamu. Hari ini, esok atau pun nanti dan seterusnya aku akan selalu mencintaimu. Jangan pernah berpikir aku marah atau pun membencimu karena itu tak mungkin aku lakukan. Cinta ini terlalu dalam untuk sebuah kata marah. Cinta ini telah meluluhkan segala rasa amarah, sehingga hanya cintalah yang bisa aku rasakan dari kamu. Aku sangat mencintai kamu, Wil. I love you so much. Good night and good bye.]
Balasan singkat yang dikirim Jeni membuat Wili merasa senang, namun saat terselip kata good bye di ujung kalimat tiba-tiba membuat Wili merasa tidak enak.
"Apa maksudnya dengan good bye? Oh iya mungkin maksud Jeni good bye untuk hari ini karena esok aku akan ke rumahnya," desis Wili tampak berbicara sendiri di kamarnya. Kamar yang luas dan mewah itu memang jauh berbeda dengan keadaan kamar Jeni yang hanya setengah bagian dari kamar Wili.
Setelah membalas dengan emotion kiss, Wili merasa tenang dan ia akan segera menutup kelopak matanya. Perasaannya tak lagi resah karena Jeni sudah membalas pesan yang ia kirim.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Karin dan Jeni sudah rapih dan bersiap-siap. Meraka akan segera pergi. Rumah itu akan dikontrakan pada tetangga sebagai tambagahan uang belanja mereka saat pergi dari situ. Dan untuk kebutuhan yang lainnya, Jeni masih aktif dalam online shopnya dan lumayan cukup untuk biaya makan sehari-hari.
Mereka sengaja akan pergi pagi-pagi, berharap tak lagi bertemu dengan Jefri. Kini Karin dan Jeni sudah masuk ke dalam taksi online yang telah mereka pesan. Tak banyak barang yang mereka bawa, mereka hanya membawa sebagian barang-barangnya, termasuk pakaian untuk di pakai sehari-hari.
Kemana mereka akan pergi? Yang pasti mereka akan mangakhiri semua duka lara yang terjadi di rumah itu dari semenjak papah Jeni memulai luka pada Karin.
Rumah itu telah membuat luka yang terus saja membekas di hati Karin. Ia memilih pergi bersama Jeni dan memulai kehidupan baru dengan janin yang kini berada dalam rahim anaknya.
Namun, baru saja beberapa menit berlalu taksi onlinenya itu melaju, seketika sang driver menginjak pedal rem dengan cepat sehingga membuat Karin mau pun Jeni terkejut.
"Kenapa, Pak?" tanya Karin yang masih tercengang.
"Mohon maaf, Bu. Ada mobil yang menghadang jalan kita," lapor sang driver.
Karin dan Jeni segera mengalihkan perhatiannya ke arah depan. Benar saja, ada sebuah mobil yang dengan sengaja menghadang perjalanan taksi onlinenya.
Mobil mewah berwarna hitam itu adalah milik Jefri.
"Itu mobil Mas Jefri, Mah," ucap Jeni dengan bola mata terbelalak saat memastikan mobil yang menghadangnya di arah depan.
"Apa!"
Benar saja, lelaki bertubuh atletis dan penuh ambisi itu keluar dari dalam mobil mewahnya, berjalan dan berdiri di depan taksi online yang ditumpangi Jeni dan Karin.
Beberapa menit yang lalu saat Jefri sudah mendekat ke arah rumah Jeni, bola matanya melihat dengan jelas saat Jeni dan Karin masuk ke dalam taksi online. Tanpa pikir panjang, gegas Jefri pun segera mengejar kendaraan roda empat yang membawa wanita yang ia cintai itu lalu menghadang jalannya.
"Keluar!" pinta Jefri dengan tegas dan suara yang lantang. Sepertinya Jefri memang yakin bahwa Jeni memang ada di dalam taksi online yang kini berada di hadapannya.
"Bagaimana ini, Mah?" Jeni terlihat ketakutan.
"Tenanglah, ada Mamah di sini. Kita keluar saja dan hadapi lelaki itu," balas Karin berusaha tenang. Padahal perasaannya pun tak kalah takutnya dengan Jeni. Bukan karena takut disakiti, ia hanya merasa tak memiliki kekuatan untuk melawan Jefri yang memiliki tahta dan kekayaan yang melimpah sehingga akan mampu melakukan apa pun yang ia inginkan.
"Sekali lagi saya minta, keluar!" pinta Jefri sekali lagi. Pasang maniknya terlihat tajam yang siap menusuk siapa yang berada di hadapannya. Rahangngnya yang mengeras serta gigi yang terdengar bergemelutuk, terlihat jelas kemurkaan yang tengah terjadi pada lelaki yang angkuh itu.
"Ayo kita keluar sekarang," ajak Karin tetap berusaha tenang.
Kedua wanita itu akhirnya keluar dari taksi onlinenya dan berjalan menghampiri Jefri yang berada di depannya.
"Ada apa, Jefri? Kenapa kamu tidak sopan sekali menghalangi jalan kami." Karin berbicara dengan ramah pada lelaki yang tengah murka itu.
"Maafkan saya, Tante," balas Jefri berusaha sopan.
"Supir! Tolong pindahkan barang-barang mereka ke dalam bagasi mobil saya. Cepat!" Jefri memberi perintah dengan tegas pada driver taksi online yang membawa Jeni tadi.
'Dari mana Mas Jefri tahu tentang barang-barang yang ada di bagasi?' resah Jeni dalam hatinya.
"Tidak, Mas Jefri. Kamu akan membawa kami kemana?" tahan Jeni sambil meraih pergelangan tangan Jefri yang menggaris lurus kepada driver taksi onlinenya.