Secara cepat tubuh jeni terpanting ke belakang karena Karin barusaha menghempaskan dekapan Jeni.
"Siapa ayah dari janin itu, Jen? Jawab pertanyaan Mamah?" tanya Karin dengan hardiknya. Wajahnya masih tampak emosi tak dapat menerima kenyataan pahit itu.
"Jefri, kakaknya Wili," jawab Jeni dengan nada yang terdengar lesu. Ia menundukan wajahnya seraya mengusap kasar wajahnya yang basah. Jeni berusaha membendung kesedihan yang terus saja menghiasi wajahnya.
"Apa kamu bilang, kakaknya Wili? Apakah lelaki itu yang tadi membawamu ke rumah sakit ha?" tanya Karin dengan bola mata yang terbelalak. Wanita paruh baya itu semakin terbakar emosi. Kehancurannya semakin bertambah parah.
Jeni mengangguk pelan. "Iya, Mah. Aku mohon jangan beritahu Wili tentang ini. Pernikahan itu adalah kesalahan terbesarku, Mah. Aku menyesalinya," jawab Jeni dengan lesu. Ia sepertinya lelah terus-menerus beradu mulut dengan ibunya. Akan tetapi Karin terus saja mendesak dan ingin kejelasannya.
"Kamu benar-benar sudah gila, Jeni!" sergah Karin seraya berusaha berdiri kemudian meninggalkan Jeni yang terduduk di atas lantai rumahnya. Karin memilih menenangkan dirinya di dalam kamar, mengunci kembali pintunya agara Jeni tak dapat masuk dan mengganggu.
Anak perempuan satu-satunya itu dirasa sudah hancur dengan masa depan yang tampak suram.
"Bagaimana bisa Jeni meneruskan kuliahnya dalam keadaan hamil seperti itu. Bagaimana dengan ocehan tetangga jika perutnya sudah membesar. Bagaimana nasib keluarga yang sudah berantakan ini!" Karin tampak menyesali keadaan hidupnya. Ia meratapi kenyataan pahit yang terus saja menimpa keluarganya. Rasa perih yang ditoreh mantan suaminya bahkan masih terasa sampai saat ini.
Sementara di luar kamar Karin, Jeni masih terduduk di atas lantai. Tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Ia bagai ditimpa beban yang cukup berat sehingga kesulitan untuk menopangnya. Ia menundukan kepala, seraya berusaha membendung luka.
Sebentar lagi Wili akan datang dan dia tidak boleh melihat kepedihan yang tengah dirasakan Jeni saat ini.
Benar saja dugaan Jeni, suara ketukan pintu dari luar berhasil membuat Jeni tersentak mendengarnya.
"Jeni, bukan pintunya," ucap Wili seraya mengetuk pintu rumah itu dari luar.
Dengan segera Jeni mengusap kasar pipinya yang basah, ia berusaha beranjak dari lantai kemudian berjalan ke depan untuk segera membukakan pintu untuk kekasihnya itu.
"Sorry sedikit lama, aku sedang di dapur," ucap Jeni beralasan pada Wili.
Wili selalu saja memasang wajah ramahnya di hadapan Jeni. "Tidak apa-apa kok."
"Kita bicara di luar ya. Mamah sedang tidur aku tidak mau mengganggu istirahatnya," ajak Jeni seraya berjalan melewati pintu dan dia duduk di kursi yang tadi.
Wili pun sama, ia duduk di sampinf Jeni seraya menyodorkan obat yang telah berhasil ia dapatkan dari apotik. Tentunya obat nyeri yang berharap rasa sakit yang Jeni rasakan saat ini segera pergi.
"Ini obatnya. Segera minum agar rasa sakit dalam perutmu segera membaik," titah Wili dengan cemas menatap wajah Jeni penuh perhatian.
"Makasi ya, kamu selalu ada di saat aku membutuhkan." Jeni menatap wajah Wili tampak sendu. Ia merasa takut jika Wili akan meninggalkannya jika suatu hari rahasianya terbongkar.
'Wil, apakah perhatianmu akan tetap sama seperti ini seandainya kamu tahu kebusukanku. Apakah perasaanmu akan tetap sama padaku, Wil?' batin Jeni. Ia terus saja gelisah karena sudah bisa diduga jika kekasihnya itu pasti akan kecewa dengan masa lalunya. Bagamana tidak, lelaki yang telah menghamilinya itu bahkan kakak kandungnya sendiri.
Berat sekali memang ujian yang harus Jeni hadapi di kemudian hari. Akan tetapi semua ujian dan masalah ini adalah buah dari keputusannya yang salah di masa lalu.
Wili tampak meraih kedua telapak tangan Jeni kemudian memegangnya dengan erat.
"Jen, apa pun yang kamu butuhkan jangan pernah sungkan untuk mengatakannya padaku. Ingat, Jen. Aku calon suamimu. Apa pun akan aku lakukan untuk kamu. Jangan pernah berpikir macam-macam, karena aku akan selalu ada untuk kamu," ucap Wili terdengar serius. Ia menatap wajah Jeni dengan tulus. Wili sangat mencintai wanita berbulu mata lentik itu. Bahkan dia sangar terobsesi dengan Jeni dari semenjak pertama kali bertemu di kampus dahulu.
'Kamu mengatakan ini karena kamu belum tahu kebusukanku yang sesungguhnya, Wil. Andai semua terbongkar olehmu, apa masih bisa kata-kata itu keluar dari mulutmu,' Jeni bergumam dalam hatinya. Ia membalas tatapan kekasihnya dengan sedu. Berat rasanya jika harus kehilangan Wili.
Andai waktu bisa diulang rasanya Jeni tak akan mungkin melakukan hal bodoh itu sehingga membuat masa depannya kini terancam.
Jeni tak bisa membalas ucapan tulus dari Wili, nyatanya mendengar ucapan kekasihnya itu hatinya seolah kembali tertusuk pedih. Rasa bersalahnya kian memuncak di ubun-ubun. Bagaimana mungkin ia sudah tega menusuk Wili dari belakang, sementara lelaki yang berada di dekatnya itu tampak tulus mencintainya.
Wili menjepit pelan dagu Jeni guna mengangkat wajah kekasihnya itu yang sedari tadi tertunduk lesu dan membisu.
"Kenapa, Jen? Apa yang sudah terjadi denganmu? Mengapa perasaanku berkata bahwa kamu tengah memikul beban yang cukup berat?"
Deretan pertanyaan penuh rasa penasaran keluar dari mulut Wili. Ia memang baru kali ini melihat wajah Jeni yang tampak kusut. Ia bahkan bisa merasakan kahancuran yang berada di pelupuk mata kekasihnya.
Jeni kemudian menepiskan jepitan jari Wili dari dagunya. Ia berusaha tetap tenang dan menyembunyikan beban yang kini ditanggungnya.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja kok, Wil. Datang bulan pada wanita memang sering merubah mood menjadi kacau serasa tengah menanggung masalah yang besar. Bisakah kita mengakhiri perbincangan ini, aku ingin kembali tidur dan mengganjal perutku yang sakit," jawab Jeni berbohong. Tentunya masalah besar ini memang tak boleh seorang pun tahu termasuk Wili.
"Tentu, Jen. Masuklah dan tidurlah dengan nyenyak." Wili beranjak dari tempat duduknya.
"Oh iya, jangan lupa minum obatnya ya. Itu adalah obat terbaik yang aku dapatkan dari apotik terbaik," sambung Wili kembali mengingatkan kekasihnya.
"Tentu! Makasi banyak ya," balas Jeni sambil berusaha mengukir senyuman manis untuk kekasihnya sebelum ia pulang.
Mereka sama-sama beranjak dari tempat duduk kemudian berjalan beriringan menuju mobil Wili terparkir.
Lelaki bertubuh atletis itu tampak mengusap pipi Jeni kemudian berusaha mendekatkan bibirnya hendak mengecup bibir kekasihnya yang bedada tepat di hadapannya.
Akan tetapi saat bibir Wili sudah mendekat, Jeni tampak memalingkan wajahnya ke arah kanan guna menghindari kecupan yang akan diberikan kekasihnya itu. Jeni merasa ragu dan ia tak bisa bercumbu.
Lelaki bertubuh atletis itu berusaha mengerti perasaan Jeni. Ia berpikir kekasihnya itu tengah kalang kabut dengan rasa sakit pada bagian perutnya.
"I love you, Jen!" ucap Wili sebelum ia masuk ke dalam mobilnya.
Jeni kembali menatap wajah Wili yang tampan. "I love you too, Wil!" balasnya sambil mengukir senyuman.