“Astaghfirullah, Yah! Kenapa lampunya mati? Apa yang terjadi! Yah, kamu dimana, Yah? Aku mendengar suara menakutkan itu lagi, Yah! Aku takut, Yah!”
Dalam kegelapan, tanpa ada cahaya sama sekali, aku histeris. Sosok itu seakan tak jauh dariku. Kudekap Arsya erat-erat. Aku takut sosok itu akan melukai Arsya.
“Nda! Ayah kesitu, Nda. Bunda tenang dulu ya? Banyakin doa, Nda.”
Suara mas Ubay menyahut perkataanku. Mungkin dia sedang mendekatiku. Mata ini sama sekali tak bisa melihat apapun. Gelap gulita.
Gubrak!
“Aduh! Sakit!” pekik mas Ubay.
Sepertinya ada sesuatu yang ditabrak olehnya.
“Nda … Arsya nggak bisa lihat, Nda. Hiks!”
Tiba-tiba Arsya bangun dari tidurnya. Dia kudekap, pasti merasa terganggu dan membuka matanya. Aku saja tidak tahu jika ternyata Arsya bangun.
“Ssttt … Arsya jangan nangis ya? Bunda sama Arsya kok. Lampunya mati. Arsya tenang ya, Sayang ….”
Aku membelai rambutnya meski tak terlihat. Sebisa mungkin Arsya kutenangkan agar tak lagi menangis.