Awalnya Gyarendra sudah bersuka cita ketika Giavana berkata "oke" saat dia membujuk gadis itu pulang bersamanya, tapi akhir dari kalimat Giavana membuat dia patah hati hingga wajahnya berubah masam. " Nggak bisa ama dia, Va. Kamu pulang bareng aku."
"Kenapa gitu? Mama yang nyuruh seperti itu? Aku bisa tanya mama sekarang nih kalo perlu!" Tangan Giavana sudah merogoh tas kecil cangklong yang dia bawa untuk mengambil ponselnya.
"Nggak usah telepon mama, Va. Beliau cuma khawatir ada apa-apa denganmu di jalan karena ini sudah cukup malam, naik motor pula. Kalo terjadi sesuatu denganmu, mama dan kakakmu bisa sedih." Betapa pintar Gyarendra menjadikan ibu dan kakak perempuan Giavana sebagai alat bujukan.
"Ya udah, kalo gitu, aku membonceng Gauzan. Kamu takut aku kenapa-kenapa di jalan, kan? Silahkan ikuti kami dari belakang." Sekali lagi, Giavana menepuk bahu Gauzan sebagai kode agar lelaki itu lekas melajukan motornya.
Setelah mempertahankan keinginannya yang tak bisa diubah siapapun, Giavana pun pulang ke rumah dengan membonceng Gauzan. Sedangkan Gyarendra mengikuti menggunakan mobilnya di belakang motor tua Gauzan. Ia tak berdaya melihat sikap teguh Giavana.
Karena tahu persis Gyarendra ada di belakang motornya, Giavana dengan sangat sengaja dan sadar, dia memeluk Gauzan lagi seperti saat di depan rumahnya. Dan itu di bawah tatapan Gyarendra, menyebabkan lelaki itu terbakar api cemburu.
Entah apa maksud Giavana membuat Gyarendra cemburu. Kalau dipikirkan lagi, untuk apa dia melakukan hal itu? Toh, Gyarendra hanyalah seorang mantan belaka. Apalagi di sini, dia menyeret Gauzan ke pusaran konflik keduanya.
Sementara itu, Gauzan hanya bisa menghela napas pelan ketika punggungnya ditempeli dada Giavana. Bukannya bersyukur ada yang terasa empuk di sana, dia malah berpikir keras kenapa Giavana harus melakukan itu padanya. Di depan calon kakak ipar pula. Sebenarnya ini ada apa, sih? Gauzan sama sekali tak bisa menduga apapun.
Sesampainya di rumah, Giavana mengucapkan terima kasihnya kepada Gauzan dengan sikap manis sebelum melambaikan tangan sambil berlari masuk ke dalam rumah, sama sekali tak menoleh ke Gyarendra, seakan lelaki itu tak ada.
Melihat kelakuan Giavana, ingin sekali Gyarendra menabrakkan mobilnya ke Gauzan. Tapi karena masih mengingat akan hukum, ia pun mengurungkan niat buruknya.
Terlebih, ketika Giavana sama sekali tidak menatap ke arahnya. Gyarendra emosi, terbakar cemburu babak kedua setelah tadi disuguhi paksa adegan Giavana memeluk erat Gauzan.
Ketika motor Gauzan melaju meninggalkan rumah Giavana, mobil Gyarendra ikut bergerak di belakang motor itu.
Tabrak... Jangan... Tabrak... Jangan...
Gyarendra diselimuti dilema. Jika Gauzan merupakan rivalnya, maka bukankah dia harus secepatnya menyingkirkan lelaki itu? Tapi, dia tak memiliki nyali melakukan kejahatan. Lalu bagaimana agar saingan bisa minggir dari jalannya mendapatkan Giavana?
Memacu sedikit lebih cepat mobilnya, Gyarendra membelokkan mobil sebelum menghadang motor Gauzan ketika mereka masih berada di jalanan sepi menuju gerbang utama perumahan.
Gauzan sudah menduga ini bakal terjadi, makanya dia tak terkejut saat dicegat paksa. Dengan santai, dia menepikan motornya sebelum akhirnya turun sebagai tindakan sopan.
Pintu mobil dibuka Gyarendra agar dia bisa menghampiri Gauzan. Setengah mati dia menahan tangannya yang terkepal agar tidak melayang ke wajah Gauzan yang menunggu. "Sebenarnya siapa kau?"
"Maksudnya bagaimana, Kak? Nama saya Gauzan." Secara tenang Gauzan menjawab, tak ingin memprovokasi Gyarendra karena dia masih memandang status Gyarendra sebagai calon suami Magdalyn, kakak sahabatnya.
"Aku tahu namamu Gauzan. Maksudku, kau siapanya Giavana?" Gyarendra memperjelas pertanyaan agar Gauzan tak perlu memberi jawaban yang tidak dia perlukan.
"Ohh, saya dan Gia adalah sahabat sejak SMA."
"Sahabat? Hanya sahabat?" Gyarendra memicingkan mata, seakan tidak ingin langsung percaya ucapan Gauzan.
"Iya, Kak. Benar, sahabat. Hanya sahabat."
"Lalu kenapa kau datang ke rumah Giavana?"
"Yah, hanya untuk main saja, seperti dulu saat kami SMA. Itu bukan sesuatu yang spesial, kok Kak."
"Kalian tidak berpacaran?"
"Pacaran? Tidak, Kak. Sepengetahuan saya sampai detik ini sih tidak."
"Lalu, kenapa tadi Giavana memeluk kamu?"
"Wah, kalau tentang itu, lebih baik Kakak tanya sendiri ke orangnya, karena yang melakukan dia, bukan saya." Sebisa mungkin Gauzan tidak menjawab sengit meski dia kini mulai gusar atas sikap mendesak Gyarendra padanya. Dia tak suka situasi macam ini.
"Sungguh kalian tak ada hubungan spesial?"
"Tidak, Kak."
"Tidak pacaran juga, kan?"
"Tidak, Kak."
"Aku minta kau menjauhi Giavana."
"Bagaimana kalau justru Gia yang terus mendekat ke saya, Kak?"
Emosi Gyarendra memuncak dan dia sudah melayangkan tangannya ke wajah Gauzan. Lelaki di depannya terlalu percaya diri dan menyebalkan saat menjawab demikian.
Namun, yang tidak terduga adalah... Gauzan tidak bergerak sedikitpun meski tahu kepalan tangan Gyarendra sudah hendak jatuh ke wajahnya. Dia tetap diam dan menatap kepalan itu.
Hal ini justru menyebabkan Gyarendra menghentikan tangannya dan menarik kembali tanpa menyentuhkannya di wajah tegar Gauzan. Harapannya, lelaki di depannya takut dan meringkuk ketika dia akan memukul, tapi ternyata sangat berbeda dengan dugaannya.
"Hghh! Pokoknya, jangan dekat-dekat Giavana lagi! Dia tidak pantas untukmu!" Kalimat pamungkas Gyarendra diiringi tatapan remeh dia ke motor tua Gauzan sebelum dia balik badan dan masuk ke mobilnya lalu meraung meninggalkan Gauzan.
Gauzan menghembuskan napas panjang. Andaikan tadi Gyarendra memukulnya, mungkin dia tak akan membalasnya. Dia masih menghormati keluarga Giavana. Selama dia tidak mati dipukuli, maka tak perlu gentar atau melawan. Itu saja yang dia pikirkan tadi.
Pada larut malamnya setelah Gauzan tiba di kosnya, dia segera menaruh helm di atas lemari seperti biasa dan merebahkan tubuh lelahnya pada kasur di lantai dan buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk mengetik pesan ke Giavana.
[Gila bener, sih calon kakak ipar kau]
Membaca pesan yang masuk di ponselnya ketika Giavana sedang bersantai mendengarkan lagu, dia bergegas mematikan lagunya dan menelepon Gauzan. Dia ingin bicara langsung.
"Oi, ada apa memangnya?" tanya Giavana begitu sudah tersambung ke Gauzan.
"Buset dah, Gi ... itu calon kakak ipar apa gangster, dah! Mana dia udah interogasi, pakai ancaman pula! Ck ck ck ... saya terharu diperlakukan demikian," satir Gauzan.
"Ehh, tunggu dulu! Apa tadi kau bilang? Interogasi dan ancaman? Sini, sini, ceritakan semuanya ke aku, gih!" Giavana lekas duduk di kasur dengan sikap serius hendak mendengarkan lebih seksama.
Maka, Gauzan pun menceritakan semua yang dia alami tadi seusai mengantar pulang Giavana. Gadis itu membelalakkan matanya, tak mengira bila Gyarendra bisa berbuat berlebihan seperti itu pada Gauzan.
"Astaga! Tuh cowok kok lebai sekali, sih?" rutuk Giavana tanpa bisa menahan.
"Makanya itu, Gi. Aku juga heran, kenapa dah dia sampai segitunya ke aku. Memangnya apa sih yang bikin dia protektif banget begitu ke kamu, Gi?" Gauzan menyahut sembari bertanya.
Giavana terdiam sejenak. Dia tak mungkin menceritakan hubungan masa lalu dia dengan Gyarendra ke Gauzan. Ia tak ingin Gauzan histeris ataupun mungkin malah tertawa gila jika tahu siapa Gyarendra.
"Gi?"
"Ohh? Um, dia ... itu karena dia ... dia mo kenalin aku ke teman dia, Zan. Mo jodohin aku ma sohib dia, makanya dia gitu ke kamu." Hanya alasan ini yang berhasil Giavana temukan untuk menutupi hal sebenarnya.
Tapi, sampai kapan Giavana akan terus menutup-nutupi?