Télécharger l’application
14.94% Ketika Dia Pergi / Chapter 26: Pesta Pak Ammar

Chapitre 26: Pesta Pak Ammar

"Wah asyik tuh, kita semua diundang ke pesta pernikahan Pak Ammar di Kota Provinsi," kata Riana bersemangat. Bel istirahat pertama sudah berbunyi dan keempat sahabat itu memutuskan stay di kelas karena di luar sedang hujan. "Mana disediain bus dan penginapan lagi. Gila, Pak Ammar bela-belain keluarin modal banyak untuk murid-muridnya."

Riana memang seumur hidup belum pernah ke Kota Provinsi, padahal jarak kota provinsi dengan Alpan cuma kisaran seratus kilometer. Namun jarak tempuhnya bisa tiga sampai empat jam menggunakan mobil pribadi ataupun bis antar kota, karena jalannya yang mendaki dan menurun, berbelok-belok dan curam.

Bisa dibilang Kota Alpan memang sedikit terisolir. Sebagian besar penduduknya merupakan petani dan pekerja kebun. Hanya anak-anak muda yang sesekali bepergian ke Kota Provinsi untuk mencari barang-barang trendy dan hiburan kekinian seperti mal dan konser-konser artis ibukota. Selebihnya merasa puas dengan apa yang diberikan Alpan untuk mereka, yaitu berupa alam yang luar biasa indah dan ketenangan hidup lahir dan batin. Tak ada orang miskin yang sampai kelaparan di Alpan, karena tanahnya yang subur siap memberikan makanan buat siapapun yang mau berusaha. Ditunjang dengan keberadaan mesjid-mesjid yang rajin memantau warganya yang kekurangan dan menyalurkan bantuan dari warga yang lebih kaya.

Alpan bagaikan sebuah surga dunia. Hawanya sejuk, pemandangannya indah. Hamparan perkebunan dan danau yang menyediakan ikan sangat memanjakan penduduk Alpan. Seperti liburan tampak akhir, begitu pendapat Emily. Namun tak bisa dipungkiri Emily juga rindu dengan hiruk pikuk kota besar. Rindu makan di restoran cepat saji di mal dan menonton bioskop, satu hal yang tidak tersedia di Alpan. Namun diatas semua alasan itu, di Kota Provinsi ada Tania, ibunya.

Sudah beberapa bulan ini Emily tidak bertemu ibunya. Rindunya terasa meluap-luap tak tertahankan. Sejak Dokter Rio berhenti menjadi dokter pribadi Tania, Emily seperti kehilangan berita tentang ibunya.

"Kamu juga ikut kan, Mil?," tanya Riana sambil memandang Emily.

"Eh, ikut kemana?," Emily yang sedang melamun sempat terbengong sesaat. "Oh...ke pestanya Pak Ammar? Ya ikut dong. Pengennya begitu. Asal Papaku memberi izin."

"Papamu harus memberi izin!," tukas Enji. "Atau...."

"Atau apa?," tanya Emily geli. "Atau kamu akan mengajak papaku bertarung supaya dia mau mengizinkanku pergi bersama kalian?"

"Hehehe... maksudku atau kami semua akan mendatangi papamu dan berlutut di kakinya memohon supaya kamu diberi izin," ujar Enji sambil tertawa. "Elo sih..pikirannya mau main adu jotos aja. Kalau sesuatu itu bisa diselesaikan dengan diplomasi, kenapa tidak?"

Emily ikut tertawa. "Iya deh, Bapak Diplomat Renzana Al Fatih. Kalau soal diplomasi, lo jagonya." Renzana Al Fatih adalah nama lengkap Enji. Entah bagaimana nama Renzana berubah menjadi Enji, Enji tak mau memberi tahu.

"Lo ikut nggak, Mbul?," tanya Enji seraya menghampiri Adella dan duduk disebelah gadis itu. Sedari tadi Adella bersikap aneh dengan mengasingkan diri, padahal biasanya mereka berempat selalu lengket dan heboh. Tumben seharian ini Adella memasang muka cemberut dan tidak seheboh biasanya.

"Ngapain? Ntar gue menganggu," jawab Adella dengan wajah ditekuk, sehingga pipinya yang bulat itu terlihat lucu. Enji menatap Adella dengan gemas, rasanya jadi pengen mencubit pipi Adella yang putih mulus itu.

"Menganggu gimana? Biasanya lo juga heppy-heppy aja menganggu kita-kita," tanya Enji sambil mengerutkan kening. "Lo kenapa sih? Lagi mens?"

Beberapa teman cowok terkekeh mendengar ucapan Enji tentang mens. Padahal mens atau menstruasi adalah istilah yang umum sebenarnya. Namun bagi cowok labil yang baru puber, mendengar istilah yang sangat 'perempuan' itu bagai sesuatu yang tabu namun lucu. Cowok yang bersahabat dengan cewek-cewek juga sering dianggap aneh sebenarnya. Bahkan Enji sering diledek kemayu karena lebih senang berkumpul dengan Emily, Riana dan Adella ketimbang bermain dengan teman-teman cowoknya. Padahal fisik Enji yang lumayan gagah sama sekali tidak kemayu seperti yang diejekkan kepadanya. Namun seperti biasa, Enji bersikap cuek. Baginya dia merasa nyaman berteman dengan Emily, Riana dan Adella. Jadi masa bodo dengan apa yang orang lain katakan tentangnya.

"Apaan sih? Pergi sana!," usir Adella sambil mendorong bahu Enji. Namun Enji bergeming, malah merebut novel yang sedang dibaca Adella.

"Kembalikan novel gue!," seru Adella marah.

"Nggak ah!," ujar Enji seraya mengangkat novel itu tinggi-tinggi. Jelas aja Adella yang tinggi tubuhnya hanya seratus lima puluh senti meter gagal merebut buku itu dari Enji yang menjulang setinggi seratus tujuh puluh lima senti meter.

"Kembalikan! Atau..."

"Atau apa?," tanya Enji sambil tersenyum lebar. "Aku kembalikan asal kamu kembali ceria seperti biasa. Kamu yang cemberut kayak gini nggak asyik ah! Jelek tahu!"

"Memang gue jelek. Gembul, gendut, nggak cantik seperti mereka!", kata Adella dengan mata berlinang air mata sambil menunjuk ke arah Emily dan Riana dengan dagunya. Enji tertegun saat melihat sesuatu yang tak pernah dilihatnya seumur-umur : air mata Adella! Emily dan Riana juga tidak kurang kagetnya sehingga mereka berpindah mendekati Adella.

"Lo kenapa sih, Del? Lo sedih karena Pak Ammar mau nikah?," tanya Emily sambil mengusap punggung Adella. "Jangan terbawa perasaan gitu dong. Pak Ammar itu kan guru kita. Umurnya aja sudah hampir tiga puluh tahun. Wajar dong kalau dia mau nikah."

"Jadi lo sedih karena Pak Ammar? Adel...Adel!" beberapa murid yang mendengar obrolan mereka ikut nimbrung mentertawakan Adella. Membuat wajah gadis bertubuh bongsor itu semakin memerah.

"Iya, ngapain sih pakai naksir Pak Ammar segala? Kayak kita-kita ini kurang menarik saja," timpal seorang murid cowok sambil tertawa.

"Tenang, Pak Ammar hilang, Pak Gimin datang," ujar anak-anak cowok tertawa riuh. Pak Gimin adalah penjaga sekolah yang memang suka menggoda Adella.

"Diam! Kalian semua memang jahat!" teriak Adella sambil berlari ke luar kelas dengan wajah basah oleh air mata. Enji tertegun dan bergegas berlari menyusul Adella. Sedangkan Emily dan Riana saling pandang dengan wajah cemas dan bertanya-tanya.

.

.

.

"Adella! Tunggu!,' teriak Enji yang berlari mengejar Adella. Tumben gadis yang biasanya malas berolahraga itu sekarang bisa berlari kencang. Bahkan Adella sudah sampai di ujung lorong kelas. Untungnya karena hujan, lorong yang biasanya ramai saat istirahat itu lumayan sepi hari ini. Namun tak urung adegan Adella yang sedang berlari sambil menangis, dan Enji yang mengejar di belakangnya menjadi perhatian murid-murid dari kelas lain. Bisa dipastikan gosip mengenai mereka akan segera beredar.

"Adella! Tunggu!," teriak Enji saat Adella sekarang berlari keluar dari lorong menembus hujan. Secepat kilat Enji menambah kecepatan larinya sehingga akhirnya bisa menarik lengan Adella. Saking kuatnya tarikan Enji sehingga Adella masuk ke dalam pelukannya. Rambut dan seragam gadis itu basah terkena gerimis Kota Alpan yang dingin. Namun Enji merasakan percikan listrik saat tubuh Adella membentur tubuhnya.


Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Rank -- Classement Power Stone
    Stone -- Power stone

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C26
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank NO.-- Classement de puissance
    Stone -- Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous