Clak! Clak! Clak!
Suara tetes air terjatuh pada genangan. Rival tersadar dari tidurnya, berbaring di dalam genangan di sebuah ruangan dengan nuansa putih. Ia masih diam, memandang langit yang biru tanpa awan, karena ruangan ini tidak memiliki atap. Rival masih terdiam, mungkin nyawanya belum sepenuhnya kumpul, itu sebabnya ia sangat tenang.
Samar-samar ia mendengar seseorang melangkah di dalam genangan tersebut, ada sedikit guncangan yang Rival rasakan, bahkan tubuhnya yang kurus berisi ikut bergerak seperti mayat yang terobang-ambing. Rival memilih memejamkan mata berpura-pura ia telah benar-benar mati.
"Apa kau ingin terus seperti ini?" tanya orang tersebut saat sampai di dekat Rival yang masih berbaring.
Rival bisa mendengar suara seorang pria. Suara yang tidak asing olehnya, seperti Ia pernah memilikinya atau pernah bertemu dengan pemilik suara ini. Pria itu mulai bosan menunggu Rival sadar, Ia memilih berjongkok.
"Aku tau kau berpura-pura, cepatlah bangun!" ucapnya lagi.
Dengan perlahan Rival membuka matanya, memperlihatkan mata merahnya. Rival pikir pria itu berada di dekatnya, kenyataannya saat ia sadar sudah tidak ada siapapun di dekatnya.
Rival bangun dari pembaringannya, mencari sosok pria itu.
"Mencari seseorang?" tanya Orang yang Rival cari.
Rival mendongakkan kepalanya, dilihatnya seorang pria kisaran usia 20 tahun lebih.
"Siapa kau?" tanya Rival mencoba melangkah mundur.
"Kau lupa dengan jati dirimu sendiri?" tanyanya.
Mata merah Rival membesar pada bagian lingkaran hitam. Ia mulai ingat siapa pria yang berdiri di depannya, dengan tergesah-gesah Rival mencoba untuk berdiri, Ia seperti beercermin.
"Bagaimana bisa kau meninggalkan tubuh mu dan melupakanmu?" tanyanya tidak terima dengan apa yang Rival lakukan pada tubuhnya yang dulu. "Bahkan kau juga memiliki nama." Tambahnya.
"Aku sendiri yang membuat nama ini." ucap Rival membela diri.
Ia terkekeh seperti tidak percaya. "Sepeduli itulah kau?" tanyanya.
"Ini yang aku tidak suka pada diriku yang lama, terlalu banyak basa-basi. Katakan saja apa mau mu?" tanya Rival.
Bayangannya melihat Rival, mencoba memegang bagian dadanya. "Sepertinya kau membutuhkan diriku." ucapnya.
"Aku tidak bu ... uueekk ... " Rival memuntahkan darah segar dari dalam mulutnya.
Bayangannya melihat dengan tahapan dingin.
"Yang kau hadapi itu bukan mahkluk sembarangan, Ia bisa mengambil jiwa orang yang mereka rasukki jika melawan, apalagi mahkluk itu tau jika kau yang paling terkuat di sana." jelasnya. "Aku tidak akan masuk jika kau tidak memberi ijin." Tambahnya.
"Masuklah ... Aku mohon." Rival merintis menahan sakit pada dadanya, pandangan mulai kabur, dengan perlahan ia memejamkan matanya.
~*~
"Sekali lagi!!" teriak seorang Dokter memerintahkan para murid dengan kekuatan penyembuhan untuk memberi kejutan pada Rival lagi, mereka pun menurut.
Mereka yang mengenal Rival menunggu di luar dengan ketegangan, begitu juga Lisa yang lebih khawatir dengan keselamatan Rival.
"Lisa sudahlah, ini bukan salah mu juga." ucap Green mencoba menenangkan Lisa.
"Lagi pula aneh sekali, bukankah dia abadi!?" ucap Lyne tiba-tiba membuat semua melihat ke arahnya.
Habil dan Qabil menatap dengan serius itu membuat Lyne tidak nyaman.
"Aku harus pergi ke belakang. Permisi." ucap Lyne mencoba melarikan diri dengan alasan ke toilet.
Tentu saja kedua saudara itu mengikuti ke mana pun Lyne pergi. Tentu saja Lyne mengetahuinya, Ia pun mencoba berlari secepat mungkin.
"Murus ignis!!" teriak Lyne membangun dinding terbuat dari kekuatan apinya.
"Lyne!!" teriak Qabil.
"Maafkan aku!!" teriak Lyne melanjutkan melarikan dirinya.
Kedua saudara itu melihat kepergian Lyne, api tersebut memudar saat pemiliknya sudah benar-benar jauh dari pandangan Habil dan Qabil.
"Ayo kak, kita cari taunya nanti saja, lebih baik kita lihat keadaan Rival." jelas Habil.
Qabil pun menurut, mereka pun berjalan kembali menuju ruang kesehatan. Sesampainya di sana mereka sudah tidak melihat orang-orang yang ingin menjenguk Rival. Dengan cepat mereka pun berlari.
~*~
Lyne mencoba menyingkirkan batu besar yang menghalangi jalannya, ternyata dibalik batu besar itu ada sebuah ruangan rahasia yang hanya diketahui oleh Lyne saja.
"Tuan, maafkan aku, aku tidak bisa membawakan darahnya untuk anda." ucap Lyne pada seseorang yang ternyata hanya sebuah patung. "Maafkan aku."
Dengan perlahan sebuah tangan mencoba menyentuh pipi Lyne yang panas.
"Apapun yang terjadi bawa dia padaku." ucapnya.
"Ba-ba-baik tuan." ucap Lyne berjanji mencoba menundukkan kepala pada orang tersebut.
Lyne mencoba keluar dari pintu rahasia yang ia buat sendiri menuju ke perpustakaan, karena ia tahu tidak akan ada yang melihatnya saat ia keluar karena perpustakaan sekolah sihir sangatlah sepi, bahkan hari ini hanya beberapa anak sekolah yang hadir. Dengan tenang Lyne berjalan untuk keluar dari perpustakaan.
~*~
Dokter membuka pintu, seluruh mata melihat ke arahnya, menunggu jawaban yang membuat mereka puas.
"Dokter bagaimana?" tanya Lisa tidak sabar.
Dokter tersenyum mengisyaratkan kalau Rival baik-baik saja. Lisa memaksa masuk untuk mengecek kalau dokter tersebut tidak berbohong. Green dan Lisa terdiam, mereka tidak menemukan siapapun di dalam kamar.
"Di mana dia?" tanya Green.
Lisa mencoba berjalan lebih masuk ke dalam, mengecek semua ruangan, membuka satu persatu pintu yang tertutup. Tiba-tiba, Ia mendengar suara kran air di toilet, senyuman Lisa mengembang senang, Ia mencoba berjalan mendekati toilet tersebut, berharap Rival di sana.
Benar saja, Rival benar-benar ada di sana. Namun, pemikiran Lisa ternyata salah, Rival memang sedang membasuh wajahnya, tapi nyatanya remaja laki-laki itu tidak mengenakan baju hanya memakai celana panjang sekolah saja. Tampak sangat jelas di mata Lisa bagaimana bentuk perut Rival saat itu, sebelum Rival mengangkat wajahnya dari handuk dengan cepat Lisa meninggalkan tempatnya berdiri.
"Kau menemukannya?" tanya Green.
"Ayo pergi dari sini." Ajak Lisa, mencoba menarik-narik tangan Green.
"Apa? Kenapa?" tanya Green keheranan dengan sikap Lisa yang tiba-tiba. "Astaga." tambah Green seperti melihat sesuatu.
Lisa tidak berani berbalik ke belakang karena ia sudah tahu apa yang sedang terjadi. Dengan berani ia mencoba melirik Green dengan wajah yang memerangi.
"Green?" Panggil Lisa pelan.
"Ma-Maafkan aku!!" Green berteriak berlari keluar dari ruang rawat.
"Green!! Tunggu aku!!" Lisa mencoba mengejar tanpa melihat ke belakang.
Penuh tanda tanya pada diri Rival saat melihat tingkah kedua perempuan itu. "Ada apa dengan mereka?" tanya Rival mencoba memakai kemeja putih untuk dalaman seragam sebelum jas sekolah sihirnya.
~*~
Rival tidak tahu kalau sekarang ia sebagai bahan pembicaraan seluruh penghuni sekolah, ia tahu apa yang ia lakukan, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi takdir.
"Itu bukannya murid yang di serang mahkluk hutan, kan?"
"Iya, katanya dia di tusuk cukup besar di bagian dada, tapi kenapa dia seperti tidak terjadi apa-apa ya?"
Rival menutup buku bacaan, mencoba menoleh ke belakang membuat kedua murid perempuan itu terkejut.
"Apakah dia tau kalau sedang dibicarakan?"
"Ayo lebih baik kita pergi saja."
"Tunggu!" Panggil Rival. Ia pun berdiri dari duduknya menghampiri kedua murid tersebut.