Keesokan paginya, Ben menghela nafas panjang ketika ia mendengar bunyi ayam jantan yang mulai berkokok di dekat kamar tidurnya. Ia terdiam sambil menatap langit-langit kamarnya. Ia kemudian beringsut di tempat tidurnya. Setelah itu, Ben berdiri dari tempat tidurnya dan melangkah keluar kamarnya.
Sambil mengucek-ngucek matanya, Ben melangkah keluar dari bale dauh dan berjalan menuju pura kecil untuk berdoa. Ketika ia tiba di pura kecil keluarganya, ia segera bergabung bersama Embok yang sudah duduk bersama anak perempuannya. Alih-alih duduk dengan tegap, Ben justru langsung menyandarkan kepalanya ke bahu Embok.
"Kamu kenapa?" tanya Embok.
Ben menggeleng pelan. Ia kemudian memejamkan matanya sambil menunggu Aji untuk datang memimpin doa. Embok tiba-tiba memegang wajah Ben. "Badan kamu agak hangat."
"Hmmm, karena baru bangun," sahut Ben.
"Benar kamu ngga apa-apa?" Embok bertanya sekali lagi.
Ben mengangguk pelan. Ia kemudian menghela nafas panjang. Embok ikut menghela nafas panjang. Diam-diam ia membuka ponselnya dan melihat tanggal yang tertera pada ponselnya.
Embok mendesah pelan setelah menyadari bahwa hari ini adalah hari kematian kakaknya. Ben selalu berperilaku seperti itu tiap kali tanggal kematian ibunya tiba. "Ben, lebih baik kamu kembali ke kamar."
Ben menghela nafas panjang sambil mengangguk pelan. "Aku mau tetap berdoa."
"Jangan sampai kamu pingsan di sini. Kamu sudah bukan anak kecil lagi," sahut Embok.
"Aku ngga apa-apa." Ben kemudian terbatuk.
Aji yang sedang berjalan ke depan pura keluarga untuk memimpin doa tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika melihat Ben dan Embok. Ia langsung menatap Embok. "Kenapa dia?"
"Aji lupa ini tanggal berapa?" tanya Embok.
Aji mengerutkan keningnya. Ia kemudian menggeleng pelan.
"Ayu," ujar Embok. Suaranya mirip sebuah bisikan.
Mata Aji membulat. "Ini tanggal kematian Ayu?"
Embok mengangguk pelan.
Aji segera berjongkok dan memegang kening Ben. Ia lalu menatap Embok dan dibalas dengan anggukan pelan oleh Embok. "Ben, ayo kembali ke kamar. Kamu ngga harus ikut berdoa pagi ini."
Ben kembali menggelengkan kepalanya. "I wanna pray."
"Ngga, kamu harus kembali ke kamar. Ayo berdiri!" Aji memegang lengan Ben dan memaksanya untuk berdiri.
Ben menegakkan kepalanya dan menatap Aji yang sedang memegang tangannya. "I'm fine."
"Kamu ngga baik-baik aja. Setiap tanggal kematian ibu kamu, kamu selalu seperti ini. Ayo! Kembali ke kamar kamu," sergah Aji.
Ben menghela nafas panjang. Ia kemudian menuruti Aji dan bangkit berdiri. Aji langsung memegang Ben ketika ia melihat Ben sedikit terhuyung ketika ia berdiri.
"Aji—" Ben mengerjap-ngerjapkan matanya sambil mencoba untuk menatap Aji.
"Kenapa?" Aji segera menuntun Ben untuk berjalan pergi meninggalkan pura keluarga mereka.
"I feel like I'm spinning," ujar Ben. Sedetik kemudian tangannya terlepas dari tangan Aji yang memegangnya dan tubuhnya terkulai di tanah.
----
Devi menghampiri Bayu yang sedang duduk di tempat duduknya. Ia keheranan melihat tempat duduk Ben masih kosong sementara jam masuk sekolah sebentar lagi akan dimulai.
"Ben ke mana?" tanya Devi pada Bayu.
Bayu mengangkat bahunya menanggapi ucapan Devi. "Ngga masuk mungkin."
Devi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kemudian melangkah ke tempat duduk Ben dan duduk di sebelah Bayu.
Bayu terdiam ketika Devi tiba-tiba memegang tangannya. Ia pun langsung menatap Devi. "Ada apa, Dev?"
Devi menatap Bayu sambil tersenyum. "Kalau aku minta tolong sama kamu, kamu bakal bantuin aku kan, Bay?"
Bayu mengerutkan keningnya. "Bantuan apa dulu."
Devi tersenyum manis sambil menatap Bayu. "Gampang kok, Bay. Kamu pasti bisa bantuin aku."
Bayu semakin penasaran setelah mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Devi. "Bantuin kamu supaya bisa dekat sama Ben?"
"Nah, itu kamu paham," sahut Devi.
Bayu langsung menghela nafas panjang. Setelah itu ia tertawa pelan. "Segitu sukanya kamu sama Ben, Dev."
"Ben udah benar-benar mencuri hati aku, Bay. Aku merasa aku ngga bisa suka orang lain, selain Ben," timpal Devi.
"Sekali lagi aku bilang, aku ngga janji, Dev. Aku mungkin bisa bantuin kamu, tapi aku ngga bisa jamin kalau Ben bakal suka sama kamu," sahut Bayu.
Devi menghela nafas panjang. "Aku ngga perlu Ben suka sama aku. Aku cuma mau Ben jadi milik aku."
"Jadi aku harus ngapain?" tanya Bayu.
Devi menatap Bayu sambil tersenyum simpul. Keduanya saling tatap sampai akhirnya bunyi bel sekolah mengagetkan keduanya. Devi kemudian segera beranjak dari tempat duduk Ben yang ia duduki. Ia menepuk tangan Bayu.
"Nanti aku kasih tahu pas istirahat," ujar Devi. Ia kemudian berjalan pergi meninggalkan Bayu dan kembali ke tempat duduknya.
Tidak lama kemudian, guru mata pelajaran pertama masuk ke dalam kelas. Bayu mendesah pelan sambil melirik ke arah tempat duduk Ben yang kosong. Setelah itu, ia langsung mengalihkan perhatiannya pada guru yang memulai pelajaran pertama.
----
Ben terus bergumam tidak jelas di dalam tidurnya. Keringat sebesar biji jagung membasahi kening Ben. Embok yang duduk di tepi tempat tidurnya terus menyeka keringat yang membasahi kening Ben dengan handuk hangat.
"Kenapa kamu masih seperti ini terus, Ben? Kematian ibumu sudah lama berlalu. Tapi setiap kali tanggal kematiannya tiba, kamu terus seperti ini," gumam Embok sambil menyeka keringat Ben.
"Apa kamu belum bisa melupakan kejadian itu?" lanjut Embok.
Ben mendesah sambil memanggil ibunya. "Mom—"
"Mom, sudah tenang di sana, Ben," sahut Embok.
Ben terus bergumam memanggil ibunya dengan mata yang terpejam dan raut wajah ketakutan. Hal itu mengingatkan Embok pada saat Ben kecil sedang menangisi ibunya.
Aji baru saja selesai merebus jamu untuk Ben dan langsung masuk ke dalam kamar Ben. Embok langsung berdiri dari tepi tempat tidur Ben dan membiarkan Aji duduk di tepi tempat tidur.
"Ben, minum ini dulu." Aji memegang tengkuk Ben. Ia perlahan mengangkat Ben sambil mengarahkan gelas yang ia bawa ke mulut Ben.
Embok ikut membantu agar Ben bisa terduduk di tempat tidurnya. "Ayo, Ben. Diminum ramuannya."
Dengan mata yang masih terpejam, Ben menyesap minuman yang dibawa oleh Aji. Ia sedikit terbatuk setelah meminum sedikit ramuan yang dibuatkan Aji untuknya. Aji dengan cepat meletakkan gelas yang ia bawa di meja kecil sebelah tempat tidur Ben.
Setelah itu, Aji kembali membaringkan Ben di tempat tidur. Ia menghela nafas panjang sambil membelai rambut Ben. "Jangan terlalu lama terjebak di sana. Kehidupan kamu yang sebenarnya ada di sini."
Aji memejamkan matanya sambil membelai kepala Ben. Ia seperti merapalkan doa untuk Ben. Embok yang berdiri di belakangnya hanya diam sambil merapikan baskom yang ia gunakan untuk mengompres Ben.
Beberapa saat kemudian Aji kembali membuka matanya. Nafas Ben yang semula terengah-engah perlahan kembali normal. Aji menepuk pelan bahu Ben. "Ibumu sudah tenang. Seharusnya kamu juga sudah bisa berdamai dengan kenangan buruk itu."
****
PS: Cerita ini akan di hentikan sementara sampai 4 bulan kedepan. Karena author mau fokus ikut kompetisi WSA 2022. Mohon Maaf dan juga mohon dukungannya untuk karya author yang diikutsertakan dalam kompetisi dengan Judul Love or Fortune: The Unplanned Love by Mr Billionaire. Dukungan kalian sangat berarti bagi Author. Terima kasih.
****
Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^
Original stories are only available at Webnovel.
Keep in touch with me by following my Instagram Account or Discord pear_amethys ^^