Pendaftaran SMA Astradebri yang berada empat kilo dari rumahnya tersebut membuat dia harus lebih awal bangun pagi. Itu lebih jauh dari sekolahnya di SMP Kirya, dia berpikir bahwa ia harus naik bus untuk mencapai ke lokasi yang ditujunya.
"Berangkat dulu ya," kata Arya yang menunggu Sefa dari depan rumahnya.
Mereka berdua berangkat pagi ini, setelah Arya di pagi hari melakukan rutinitasnya seperti push up dan angkat beban di kamarnya, dia merasa jika tidak pernah bermain sepak bola lagi, setidaknya ini adalah langkah kecil yang bisa dilakukan.
"Bus pertama udah berangkat kah?"
Sefa membuka ponselnya dan mengecek kedatangan bus tersebut berkala, "Kayaknya belum, keburu nih kayaknya lima menit dari sini."
*****
Seorang pria berkemeja putih dan berdasi tengah berlari dengan sangat payah menuju tempat tujuannya, karena kali ini pria tersebut terlambat pada hari pertama kerjanya. Ini adalah momen terbodoh yang pernah ia lakukan sebagai seorang pekerja penuh waktu di hari pertama ia bertemu banyak orang.
"Haduhh, udah jam segini lagi, semoga aja gak telat shift."
Orang tersebut berposter kekar seperti pemain olahraga. Sepertinya, dia adalah seorang atlit olahraga atau mungkin atlit bela diri? Entahlah, dia pikir bahwa ini bukan waktunya memikirkan postur tubuh. Dia hampir telat!!
*****
Perjalanan selama lima menit untuk memasuki bus pertama berhasil dicapai oleh mereka, kali ini mereka memakai seragam putih dengan rompi sekolah yang berwarna biru, persis seperti baju kesebelasan mereka ketika berada di SMP dulu.
"Dapet tempat duduk juga akhirnya," mereka menempati tempat duduk di paling belakang dengan bangku yang paling ujung kanan dan Sefa berada di sebelahnya.
"Permisi, bisa berikan bangku ini ke ibu hamil?"
Inilah yang dibenci oleh Sefa dan Arya ketika naik bus, dia benar-benar benci berdiri, mengingat tempat duduk yang mereka tempati dibayar dengan tarif sesuai aturan, kenapa mereka lebih memikirkan prioritas, lebih baik naik taksi online saja kalau mau prioritas.
"Maaf bu, temen saya kakinya cedera, jadi dia gak boleh berdiri terlalu lama, makasih atas pengertiannya."
Begitulah adab yang diterapkan di negara ini, dimana setiap orang yang merasa dirinya "lebih tua" harus memberikan tempat duduk dan anak kecil seperti mereka dipaksa berdiri. Apa-apaan sistem ini, mereka merasa bermian demi mendapatkan kesenangan pribadi.
"Gue tau lu lagi nyari alasan biar gue bisa duduk lebih lama disini, makasih ya udah bantuin gue, apa-apaan tuh ibu hamil kok minta prioritas, kalau mampu berdiri mah berdiri aja, jangan manja."
Pergumulan ini terjadi selama lima menit dan akhirnya topik itu menghilang ditelan angin. Mereka turun tujuh pemberhentian setelahnya. Setelah sampai, mereka turun dari bus dan menengok jam tangan masing-masing dan waktu menunjukkan pukul 6:20, sedang jarak waktu menuju ke area sekolah sekitar 5 menit. Semoga mereka belum terlambat.
"Gue takut nih, kayaknya kita bakal telat dateng."
"Sans, kalau telat, pasti banyak anak yang telat, gue denger sekolah itu isinya anak-anak berandalan semua, lu tau anak kelas 3 nya aja pada ngobat semua. Jadi, gue pikir kita masuk ke sekolah yang salah."
"Ah bodo amat, gak peduli gue sama orang ngobat, selama itu gak menganggu ketenangan gue, gak peduli sama orang kek gitu."
Mereka yang berjalan sambil berdiskusi sedikit tentang sepak bola dan olahraga lain yang akan dilakukan nantinya selama mereka bersekolah disana. Disaat mereka berjalan tiba-tiba Arya ditabrak oleh salah satu badan besar dan membuatnya dia terjatuh. Beruntungnya, saat ia hampir jatuh, Sefa langsung menyelamatkannya dan langsung memarahi orang yang bersikap sembrono itu.
"WOII, KALAU JALAN LIAT-LIAT DONG, ADA MATA GAK LU!!" teriak Sefa dengan kata-kata kasar, dia sepertinya tidak terima temannya yang masih dalam masa pemulihan didorong dengan jahat.
Tiba-tiba ketika orang tersebut melintas yang ia lewati adalah seorang guru yang sepertinya masih buta arah---tak mampu melihat orang yang ada di depannya, seketika itu dia merasa semakin marah dan menaikkan emosi.
"PAK! Walau bapak guru, tapi temen saya masih masa pemulihan, lagian jalan besar-besar gitu kok malah lewatin temen saya, otak bapak dimana?" jawab Sefa yang benar-benar marah dengan kelakuan guru itu.
Guru itu terdiam dan Sefa bersama Arya melanjutkan perjalanannya dan ia sampai di sekolahnya. Kemudian, mereka mengeluarkan dompet mereka yang berisi uang, beberapa kertas dan id card mereka untuk masuk ke sekolah ini sebagai tanda bahwa mereka merupakan murid asli dan bukan penyusup.
"Katanya sekolah anak berandal, tapi kok masuk pake ID Card?"
"Yeuu, itu mah penapakan luarnya doang, cek aja nanti kalau misalkan udah upacara penerimaan, btw katanya kita gak bakal olahraga panas-panasan di lapangan, karena yang dipake lapangan indoornya, yang kayak di Jepang gitu, jadi lu masuk dari lantai dasar, taro sepatu trus ganti sendal kelas dan akhirnya masuk kelas."
"Keren-keren, nanti bakal jadi wibu gak nih?"
"Ya enggak lah, ngarep banget lu bisa duduk di paling ujung kelas trus tiduran di kelas, lu pikir ini anime yang lu tonton. Tapi-tapi, gue berharap lu bisa kaya orang yang di anime gitu.
"Hah jadi apaan?'
"Ah udah gak usah banyak berkhayal, kasian nanti lu malah terus kepikiran."
Mereka kemudian menuju ke dalam lorong sepatu untuk mengganti sepatu mereka dengan sendal kelas, tujuannya agar melindungi kelas dari kotoran yang akan masuk dari sepatu mereka. Jadi, berusaha seminimal mungkin untuk menjaga kebersihan agar para petugas kebersihan tidak melakukan pembersihan secara utuh.
"Bel bunyi, segera masuk ke lapangan untuk upacara penerimaan."
"Penerima nilai UN tertinggi di laman itu siapa sih?" tanya Arya yang penasaran karena dia tidak melihat secara penuh data-datanya.
"Anak dari kelas 1-2, namanya Tisbani, dia nilainya 9,7 jadi mungkin dia bakalan bacain narasi buat upacara pembukaan, terus abis itu dilanjutin sama perkenalan guru, yang gue denger sih gitu."
Mereka yang berada di sekitar Arya dan Sefa mulai menggosipi mereka berdua dengan apa yang dipikirkan tentang mereka berdua, "Mereka pemain sepak bola itu gak sih? Kok mereka gak masuk sekolah sebelah aja, sepak bolanya bersinar."
"Entah, kayaknya sih dia bakal jadi pahlawan kesiangan yang bakal sok bangun klub olahraga, padahal jaringan pertemanan aja dia gak punya."
Arya menutup telinganya dan langsung meninggalkan tempat tersebut. Mereka menaruh tasnya dan menuju ke lapangan utama untuk masuk ke dalam barisan kelasnya, kelas 1-4.
"Liat deh, kelas yang lain pada rapih, tapi kalau kelas kita, pemandangannya kek orang sakit semua, malah gue liat orangnya kayak abis ngobat," ujar Arya dengan mulut pedasnya.
Mereka yang masih sangat berisik menunggu upacara ini akan dimulai berbicara satu sama lain. Sepertinya, dia termasuk golongan beruntung yang mana dia mempunyai satu-satunya teman ketika berada di sekolah baru. Itu terlihat menyakitkan jika mereka terpisah oleh kelas juga. Ketika mereka melihat kelas pada beberapa hari yang lalu itu menunjukkan bahwa Tuhan memang mentakdirkan mereka untuk satu kelas, hanya saja mungkin Sefa harus berada di depan, karena matanya yang minus.