"Ok! Satu, dia, tiga. Jalan, dagunya diangkat, tatapan lurus ke depan. Abaikan sekitar, fokus pada satu titik yang menjadi tumpuan pandanganmu, Berlian!"
Prok! Prok!
"Ok, berbalik! Lakukan hal yang sama! Percaya diri, anggap semua orang kagum padamu!"
Donita terus memberikan instruksi sembari menepuk tangannya yang menjadi ketukan langkah Berlian.
Keinginan juga tekad yang kuat membuat Berlian belajar dengan cepat. Semua materi yang diberikan oleh Donita mampu dicerna dan dilakukan dengan baik.
Sementara itu, Chiaki duduk bak seorang raja yang sedang menonton pertunjukkan. Dia menyaksikan bagaimana bersemangat juga antusiasnya Berlian dalam belajar.
"Dia belajar dengan cepat," ujarnya.
Ben dan Welni yang berdiri di belakang sofa yang didudukinya saling melemparkan pandangan.
"Ben," panggil Chiaki.
"Saya, Tuan."
"Sudah kau lakukan perintahku semalam?" tanya Chiaki.
Ben mengangguk. "Sudah, Tuan. Pent house sudah dibersihkan dan siap huni!"
Chiaki mengangguk. "Pastikan makanan juga keperluan yang lain sudah lengkap!"
"Akan saya pastikan kembali."
Chiaki mengangguk seraya mengibaskan tangannya. Tatapan matanya sedari tadi tak pernah lepas dari sosok Berlian yang tampak serius berlenggak-lenggok bak model profesional.
Satu jam berikutnya, Donita menyudahi latihan. Dia langsung pamit, karena ada urusan lain. Berlian menjatuhkan tubuhnya di atas lantai sembari mengelap keringat dengan punggung tangannya.
"Melelahkan sekali, tapi sangat menyenangkan."
Chiaki menyambar handuk kecil dari tangan Welni, lantas menghampiri Berlian.
"Bagaimana? Apa kau senang?"
Deg!
Entah berapa kali hari ini Chiaki membuat jantungnya berdegup sangat cepat. Sikapnya yang lain dari biasa membuat Berlian cukup terkejut sekaligus heran. Apalagi saat ini pria itu tengah mengelap keringat di dahinya.
'Astaga! Kenapa dengannya hari ini?' batin Berlian.
Tak!
"Awww!" Berlian mendesis seraya mengusap keningnya yang terkena sentilan Chiaki.
"Ayo pergi! Setelah ini kita masih harus pergi ke suatu tempat."
***
Chiaki memasuki ruangan yang terdapat di lantai tertinggi gedung apartemen elit. Berlian mengikutinya dari belakang sembari mengedarkan pandangan ke segala sudut ruangan dengan tatapan takjub.
Ruangan yang sekelilingnya dipenuhi kaca itu membuat sinar matahari langsung menerobos masuk hingga ruangan menjadi terang olehnya.
Chiaki menekan tombol di nakas samping tempat tidur hingga bagian atap yang juga terbuat dari kaca berubah gelap.
"Matahari cukup terik," ujarnya. Dia juga menyalakan AC agar ruangan terasa begitu sejuk.
Berlian masih mengamati ruangan yang begitu mewah dengan nuansa klasik monokrom. Sangat menegaskan bila pemiliknya seorang pria.
Berlian menatap Chiaki. "Kenapa kau membawaku kemari?"
Chiaki melangkah mendekati Berlian, melingkarkan lengan dengan wajah yang tenggelam di ceruk leher Berlian.
"Aku pikir kau akan merasa bosan terus diam di rumah."
Tepat sekali!
Berlian merasa akan mati karena bosan selalu mengulang aktifitas yang sama setiap harinya. Pilihan Chiaki membawanya kemari, sepertinya sangat tepat. Berlian membutuhkan suasana baru untuk sekedar menjernihkan pikirannya.
"Tolong persiapkan air hangat untuk kita berendam!" pinta Chiaki berbisik.
Berlian menggeliatkan tubuhnya tak nyaman. Bulu kuduknya meremang tatkala hembusan nafas Chiaki menyapu hangat tengkuknya.
"Ya, tapi tanganmu?"
Chiaki menjauhkan kedua tangannya dari pinggang Berlian membiarkannya berlalu ke kamar mandi.
Tak berselang lama, Berlian keluar dari kamar mandi.
"Em ... a-air hangatnya su-sudah siap."
Chiaki yang sedang sibuk membuka laci lemari mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.
"Buka bajumu! Tunggu aku di dalam!" titahnya.
Berlian kembali masuk dengan jantung yang berdegup tak karuan membayangkan apa yang akan mereka lakukan di dalam bath tube.
Berendam bersama layaknya pasangan romantis? Rasanya mustahil Chiaki melakukan semua itu padanya!
Berlian meloloskan gaun yang dikenakan olehnya hingga teronggok di atas lantai.
Klak!
"Akhhhh!" pekik Berlian seraya menyilang kedua tangannya di dada.
"Kenapa tidak mengetuk pintu?" tanyanya.
Chiaki tak menggubris pertanyaan Berlian, dia justru lebih tertarik mengagumi keindahan tubuh istrinya.
'Sangat indah,' batinnya berdecak kagum.
Setelah melepaskan semua pakaian yang hanya menyisakan pakaian dalam, Chiaki dan Berlian masuk ke dalam bath tube.
Berlian tampak gugup juga malu, hingga tangan besar Chiaki menarik pelan tubuhnya agar bersandar di dadanya.
Demi Tuhan!
Perasaan gadis itu semakin dibuat tak karuan karenanya. Otaknya seketika kosong ketika usapan lembut nan memabukkan Chiaki berikan di perutnya yang datar.
"Relaks, Babe! Ini baru permulaan sebelum kita sampai pada permainan yang sesungguhnya," bisik Chiaki.
Bukan merasa relaks, Berlian justru semakin gugup dibuatnya. Pikirannya berfantasi liar memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.
Permainan yang sesungguhnya? Permainan apa yang dimaksud oleh Chiaki?
Inikah saatnya dia menyerahkan mahkota kesuciannya pada Chiaki?
"Aku membawa hadiah yang diberikan Yunka padamu saat hari pernikahan," ujar Chiaki.
Berlian mendapatkan kembali kesadarannya. Beberapa kali dia mengerjapkan matanya, mencerna perkataan Chiaki lambat-lambat. Seketika matanya melotot sempurna ketika mengingat hadiah yang diberikan oleh Yunka padanya.
"Dari mana kau menemukan hadiah itu?" tanya Berlian.
Seingatnya, dia menyembunyikan di tempat yang sulit ditemukan oleh siapapun.
"Kau lupa? Aku pemilik bangunan yang kini menjadi tempat tinggal mu. So, itu hal yang mudah untukku."
Chiaki menyapukan bibirnya di pundak Berlian dengan gerakan lembut. "Aku ingin kau memakainya!"
"Ta-tapi, itu gaun tidur."
Chiaki terkekeh kecil. "Bukankah kita akan tidur, tapi ... sebelum itu kita akan berolahraga ranjang."
Berlian sedikit ragu untuk keluar dari walk in closet, dia hanya menyembulkan kepalanya di balik pintu dengan tersenyum campur meringis.
Chiaki yang tengah duduk di sofa mengangkat sebelah alisnya. "Tunggu apalagi? Ayo, keluar!" titahnya.
Berlian menggeleng lemah. "Em ... apakah aku boleh mengganti pakaian ini? Rasanya tidak nyaman sekali. Aku takut masuk angin."
Chiaki terkekeh sinis, merasa muak dengan tingkah sok polos Berlian yang selalu diperlihatkan padanya.
'Tak perlu berpura-pura lagi, Berlian! Karena sebentar lagi, kebusukan-mu akan terungkap! Kau tidak akan bisa bertingkah sok polos lagi di depanku!'
"Tidak! Lagipula, untuk apa? Toh, pada akhirnya pakaian itu akan berakhir di atas lantai."
Berlian rasanya ingin mengubur dirinya hidup-hidup. Dia belum siap untuk hal ini, namun siap tidak siap semua itu pasti akan terjadi. Dengan ragu gadis itu akhirnya keluar dari balik pintu. Dia melangkah pelan menghampiri Chiaki yang sudah mengulurkan sebelah tangannya.
"Lihatlah! Kau seperti istri sungguhan yang hendak melaksanakan kewajiban memenuhi hak suamimu."
'What? Apa yang dia katakan barusan? Istri sungguhan? Lalu, selama ini dia menganggap aku istri pura-pura, begitu?' pekik Berlian di dalam hati.
Chiaki menarik Berlian hingga duduk di sebelah pahanya. "Kau tahu ini apa?" Dia memperlihatkan jam pasir di tangannya.
"Jam pasir?"
"Tepat!"
Berlian mengerutkan keningnya. "Untuk apa jam pasir itu?"
Chiaki menyeringai sembari meneliti wajah Berlian yang memang harus dia akui begitu cantik meski tanpa polesan make up.
"Bagaimana jika kita taruhan?"
Berlian hanya bergeming, menunggu perkataan Chiaki selanjutnya.
"Kita lihat siapa yang mampu bertahan lebih lama diantara kita. Jika itu kau, maka aku akan memenuhi satu permintaanmu. Tapi, ... jika aku maka kau dilarang berhenti sampai aku merasa puas. Bagaimana?"
"What?"