Deg!
Berlian membeku di tempatnya dengan tubuh menegang ketika mendengar permintaan Chiaki. Tidak mungkin! Ia pasti salah mengira. Ya, mungkin bukan dirinya yang dimaksud oleh Chiaki.
Dengan penuh keyakinan Berlian melanjutkan langkahnya, namun baru juga kakinya mendarat di anak tangga pertama terdengar suara lantang Vero.
"Bawa wanita yang dimaksud oleh Tuan Chiaki kemari!"
Kedua pria yang sedari tadi mengawalnya langsung menangkap kedua tangan Berlian. Perintah Vero adalah hal mutlak untuk semua anak buahnya, maka dari itu mereka langsung menuruti perintah Vero. Mereka tidak pandang bulu, bahkan pada Berlian sekalipun.
"Hey, wanita itu bukan aku!" pekik Berlian.
Ia meronta dalam kendali dua pria yang mengapit lengan seraya menyeretnya sedikit memaksa untuk masuk ke dalam ruang tamu.
"Kalian salah, bukan aku orangnya! Tidak mungkin ... Uncle, katakan pada mereka bukan aku orangnya!" pinta Berlian.
Vero yang kini berdiri di ambang pintu penghubung ruang tengah dan ruang tamu membeku di tempatnya saking terkejut ketika mengetahui bila gadis yang dimaksud oleh Chiaki adalah Berlian.
"Lepaskan Lian!" titahnya pada kedua bodyguard-nya.
Mereka sontak langsung melakukan perintah Vero, mundur satu langkah dengan kepala menunduk.
Berlian mendengus kesal seraya mengusap lengannya secara bergantian yang terasa nyeri. "Sudah aku bilang bukan aku orangnya, kenapa kalian tidak mendengarkan ku?" gerutunya bersungut-sungut.
"Kau orangnya. Gadis yang aku maksud itu dirimu!"
Berlian mengangkat pandangannya, mendapati seorang pria berparas tampan berdiri tepat di samping Vero. Wajah yang sangat tak asing dalam ingatannya, hingga dia mendapatkan ingatan itu. Ya, dia pria yang pernah bertemu dengannya di depan gang kemarin sore.
Meskipun Berlian hanya melihat wajah itu sekilas, tetapi dia sangat mengenali sorot mata hitam yang tajam milik pria itu.
"Well, sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya."
Chiaki melangkah maju yang mana membuat Berlian memundurkan langkahnya dengan perasaan gugup bercampur takut. Netra matanya melirik ke arah Vero, meminta bantuan padanya lewat tatapan matanya. Sayang seribu sayang, Vero justru berlalu begitu saja meninggalkannya.
Hal itu jelas membuat dada Berlian sesak oleh rasa kecewa yang teramat besar. Air mata pun tak terbendung lagi meluncur bebas membasahi wajahnya, menangisi kemalangan dirinya yang menjadi bahan pertukaran oleh paman yang selama ini menjaga serta melindunginya.
Dug!
Menyebalkan sekali ketika langkahnya harus terhenti, karena tubuhnya yang terbentur meja di dekatnya. Berlian menjadi tidak bisa menghindar lagi dan terjebak dalam kendali Chiaki yang berdiri tegap di depannya. Di dalam hatinya dia menggerutu kesal menyalahkan orang yang meletakkan meja di sana.
"Ah, aku baru mengingatnya. Bukankah kita pernah bertemu di depan gang, benar?" tanya Chiaki lagi.
Tangannya terangkat hendak mengelus pipi Berlian, namun ditepis olehnya dengan kasar.
"Don't touch me!" desis Berlian penuh peringatan.
"Oh, tidak." Chiaki mengangkat kedua tangannya seraya terkekeh sinis. "Aku tidak menyentuhmu, dan tidak sudi menyentuh wanita kotor sepertimu," sarkasnya.
Prok!Prok!
Dua kali tepukan tangan Chiaki, lima orang pria datang dan langsung mengunci pergerakan Berlian yang hendak kabur.
"Bawa dia ke mobil!" titah Chiaki seraya berlalu.
"Lepaskan aku! Kalian tidak bisa membawaku seperti ini!" seru Berlian dengan penuh amarah.
Dia terus meronta hingga akhirnya dia berhenti ketika sampai di teras rumah. Tampak Vero menunggu di sana dengan kedua tangannya masuk ke dalam kantung celana serta menundukkan kepalanya.
Dengan nafas memburu dan dada yang naik turun Berlian bertanya, "Apa kau akan membiarkanku dibawa oleh mereka?"
Perlahan Vero menaikkan pandangannya, menatap datar Berlian seraya mengangguk pelan. "Maaf, Lian. Tidak ada pilihan lain, hanya ini satu-satunya jalan agar aku tidak kehilangan sumber penghasilanku selama ini," jawabnya begitu ringan. "Aku harap kau menerima ini, anggap saja semua ini sebagai bentuk terima kasihmu padaku yang selama ini sudah merawat mu."
Berlian terkekeh ironi sembari menggelengkan kepalanya. "Jadi, kau meminta imbalan padaku?"
Tidak ada lagi panggilan 'Uncle' yang menjadi panggilan kesayangan sekaligus rasa hormatnya pada Vero. Semua sudah berubah dalam waktu sekejap, tidak ada lagi rasa sayang juga hormat pada pria yang tega menukarnya dengan uang.
Vero mengangkat kedua bahunya. "Ya, mungkin ini saatnya kau membalas jasaku selama ini yang sudah menghabiskan masa remajaku dengan bekerja kelas demi menghidupi mu."
Berlian menghela nafas lantas berkata, "Baiklah. Bila memang ini bisa membuatku membayar lunas semua jasamu, aku terima." Dia menoleh pada dua pria yang memegang kedua tangannya. "Bawa aku pergi, Tuan!" pintanya.
Sebelum pergi dia kembali menoleh pada Vero. "Aku berharap setelah ini dan di kehidupan selanjutnya kita tidak akan bertemu lagi, Alvero!"
Setelah mengungkapkan isi hatinya, Berlian melangkah dengan setengah diseret oleh lima pria yang membawanya membelah kerumunan para wanita.
Vero menatap nanar punggung Berlian yang perlahan menghilang di belokan jalan gang. Dadanya terasa sesak bagaikan terhimpit bebatuan besar mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Berlian sebelum pergi, akan tetapi dia merasa sangat pantas mendapatkan semua itu.
"Aku rasa negoisasi kita sudah mencapai kesepakatan, ya!" ujar Chiaki. Dia melangkah dengan santai hingga berhenti di samping Vero. "Ben akan segera mengurus segala surat-surat kepemilikan lahan ini padamu," ucapnya kemudian.
Vero mengangguk tipis. "Ya, aku tunggu!"
"Bisakah aku meminta satu hal padamu, Tuan?" tanyanya.
Chiaki melirik sekilas, "Katakan!"
"Tolong berikan satu asisten pribadi untuknya! Jangan biarkan dia pergi ke mana pun seorang diri!" pinta Vero. "Satu lagi, tolong wujudkan impiannya untuk menjadi model terkenal! Itu impiannya sejak kecil yang belum sempat aku wujudkan," ungkapnya.
Tidak ada sahutan ataupun gerakan tubuh dari Chiaki yang menandakan bila dirinya menyanggupi semua permintaan Vero. Pria itu hanya melirik sekilas, lantas pergi dengan diikuti oleh Ben.
Sepanjang langkahnya menyusuri jalan yang dihimpit oleh tembok tinggi, dalam benaknya menyimpan sejuta tanya apa yang pada Berlian sehingga Vero meminta hal itu.
"Apa kau mengetahui sesuatu tentangnya?" Akhirnya Chiaki bertanya pada Ben.
"Tidak, Tuan. Tapi, jika Anda menginginkan informasi lengkap tentang nona Berlian."
Sesampainya di depan gang Chiaki tak memberikan respon akan tawaran Ben, dia memakai kacamata hitamnya lalu masuk ke dalam mobil di mana ada Berlian di dalamnya.
Sepanjang jalan tidak ada obrolan diantara mereka. Chiaki sibuk dengan laptop di atas pangkuannya, sementara Berlian menatap kosong jalanan di balik kaca jendela. Pikirannya melayang pada perkataan Vero kemarin sore.
Ternyata semuanya hanya omong kosong belaka!
Semua perkataan Vero tidak sesuai dengan fakta yang kini tengah terjadi. Hal itu sungguh membuat Berlian amat sangat kecewa padanya.
'Kata-katamu terlalu manis dan bodohnya aku percaya dengan semua itu. Sekali rubah tetap saja rubah,' pikir Berlian.
Terlalu asik dalam lamunan Berlian sampai tak sadar bila limusin yang sedari tadi ditumpangi olehnya telah berhenti.
"Turun!"
Berlian mengerjapkan matanya beberapa kali, menatap ke luar lalu menoleh ke arah Chiaki.
"Untuk apa kita datang ke butik?"
Ya, Chiaki tetaplah Chiaki yang dingin dan irit bicara. Dia turun tanpa menanggapi pertanyaan Berlian.
"Jika dia tidak mau turun, seret saja!" titah Chiaki pada Ben.
"Baik, Tuan."
Tak mau berakhir dengan hal memalukan, akhirnya Berlian memilih turun sebelum diseret paksa oleh Ben. Pria berkepala plontos, raut wajah tanpa ekspresi juga tatapan matanya yang lebih tajam dari bosnya. Ben bak algojo yang selalu siap melakukan perintah Chiaki tanpa pandang bulu.
Di dalam butik, Berlian berjalan dengan pandangan yang beredar pada manekin-manekin yang terbalut gaun pengantin indah di balik lemari kaca.
Sungguh indah!
Saking terpesona juga kagum pada kecantikan juga kemewahan gaun, gadis itu sampai melupakan pertanyaan dalam benaknya untuk apa Chiaki membawanya ke butik gaun pengantin.
"Kemari!"
Suara serak yang terdengar datar menyita perhatian Berlian hingga dia menoleh ke asal suara. Tampak Chiaki berdiri di depan seorang wanita cantik yang di sampingnya terdapat sebuah manekin.
Buru-buru Berlian menghampiri Chiaki dengan kepala menunduk menatap lantai yang dipijak olehnya.
"Kau ukur badan gadis bodoh ini, Yunka! Aku rasa bentuk tubuhnya tidak seindah tubuh wanita sialan itu!"
'Apa yang dia katakan? Gadis bodoh? Aku? Gadis bodoh? Andaikan dia tahu saat aku masih duduk di bangku sekolah, aku adalah siswi yang sangat berprestasi. Tapi, tunggu dulu! Siapa yang dia sebut wanita sialan? Dan, untuk apa dia meminta wanita ini mengukur ukuran tubuhku?' batin Berlian bertanya-tanya.
"Kau salah, justru tubuh Nona ini lebih indah dar-"
"Shut up!" sela Chiaki. Dia tidak ingin mendengar kelanjutan perkataan sahabatnya yang sedang memuji Berlian di depan orangnya.
Yunka terkekeh sembari mengangkat tangannya sebatas dada. "Ok, aku tidak akan berbicara lagi."
"Nona, mari ikut aku ke dalam fitting room!"
Berlian memberanikan diri mengangkat pandangannya, menatap Chiaki yang memalingkan wajahnya.
"Sebenarnya, kenapa kau membawaku kemari, Tuan?" tanyanya.
Chiaki mengeluarkan tangan dari saku celana, membalikkan badannya seraya berkata, "Kau akan menjadi pengantin wanita untuk menggantikan calon pengantin wanita yang hilang ditelan bumi," jawabnya.
"Apa?"