Sebisa mungkin Tiara menjauhi perasaan istimewa terhadap Raza. Dia tidak ingin memiliki hubungan yang retak nantinya, baginya Raza sudah seperti kakaknya sendiri. Selalu ada disaat Tiara membutuhkan, selalu ada disaat masa sulit yang dirasakan oleh Tiara. Raza selalu menomor satukan Tiara didalam hidupnya tapi, itu semua berubah sejak rumor beredar di kalangan ibu-ibu pengajian. Terlebih Raza mengetahui kalau Tiara mempunyai pada Zaidan, itu memperkuat dugaan benar adanya.
Tiara dan Raza masih dalam posisi saling menatap tajam, seolah menyusuri dengan maksud akan mengerti satu sama lain. Sedangkan Zia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya karena pemandangan didepannya sudah biasa di tampilkan.
"Udah dong, gaes. Kita kesini tuh mau jengukin Tiara terus nanya kabar bagaimana, ini malah jadi kayak gini sih," keluh Zia.
"Dia duluan tuh yang mulai," tunjuk Tiara ke arah Raza.
"Enak aja lu, siapa suruh lu mancing-mancing amarah gue," serang Raza tak mau kalah.
"Heran deh, kalian kayak anak kecil. Gue sumpahin lu berdua berjodoh," ucap Zia penuh penekanan.
Tiara dan Raza menjawab bersamaan tapi, berbeda jawaban.
"Pede banget lu! Sampai kapan pun hubungan kita nggak lebih dari sekedar sahabat. Titik!" kata Tiara sambil melipat tangannya didepan dada.
"Emang lu bisa ngelawan kehendak Yang Maha Kuasa?" Raza menantang perkataan Tiara.
Tiara mengeratkan giginya, pertanda dia telah kesal dan sedang menahan amarahnya. Zia yang menyadari perubahan sahabatnya itu langsung menenangkan agar Tiara meredam amarahnya itu.
"Udah deh, Za. Lu minta maaf sama Tiara, jangan bikin suasana tambah ricuh deh. Lagian urusan jodoh tuh ada ditangan Tuhan. Masih sekolah kelas satu pula, udah ngomong macam-macam," terang Zia sambil berdecak kesal.
"Benar tuh kata Zia, masih sekolah udah mikir kaya gitu. Belajar dulu yang benar, kerja biar rajin!" pesan Tiara, "siapa tau kalau lu sukses, gue bisa menimbang-nimbang, kan."
Mendengar kalimat terakhir dari mulut Tiara, membuat Raza tersenyum dalam diam. Didalam hatinya seperti ada kembang api yang berwarna-warni, seakan memberi secercah harapan untuk meraih cintanya kelak.
"Ok, gue akan tunjukin sama lu. Kalo gue layak jadi lelaki yang bertanggung jawab," ucap Raza dalam hati penuh keyakinan.
Lain hal dengan Zia, matanya seperti menggoda Tiara karena ucapannya.
"Sepertinya lu itu munafik, Ra," celetuk Zia.
Mendengar kata munafik membuat mata Tiara melotot dengan sempurna melihat Zia.
"Apaan maksud lu?" tanya Tiara tidak terima.
"Nggak ada maksud apa-apa kok. Udah lah, kerjain pr yuk, tau kan lu pada killernya guru yang satu ini tuh," ucap Zia menyudahi.
Mereka bertiga pun mengerjakan pr bersama-sama dan memecahkan soal-soal yang sulit sekalipun. Sesekali Raza mencuri-curi pandang melihat ke arah Tiara, tentu saja Tiara tidak mengetahui hal tersebut karena dia fokus pada soal serta rumus-rumus diatas kertasnya.
"Aku lagi di rumah Tiara, ma. Nanti kalau sudah selesai pulang kok." Raza menjawab panggilan telepon dari Tari.
"Lu anak mami banget ya, Za. Kalau pulang telat selalu ditelpon," celetuk Zia.
"Iya lah, Zi. Lu tau gak sih, waktu gue jalan-jalan sama Raza tuh maminya itu nelponin terus dimana keberadaan, posisi, lagi apa si Raza tuh. Pokoknya anak mami banget deh," ledek Tiara.
"Apaan sih lu pada, emangnya kenapa kalau gue anak mami? Masalah gitu?" ucap Raza mulai emosi.
"Itu semua dilakuin sama mamanya Raza, gara-gara kejadian itu takut terulang," lanjut Tiara.
"Kejadian?" tanya Zia bingung.
Tiara menceritakan maksud kejadian terulang itu adalah waktu kecelakaan Raza. Dua minggu lamanya Raza tidak sadarkan diri akibat kecelakaan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Kecelakaan itu terjadi di malam hari dan hujan sedang deras, Raza berpamitan pada Tari untuk bermain dirumah Leo karena keasyikan main game hingga larut Raza baru pulang. Padahal Tari sudah menelpon putranya agar pulang cepat atau lewat dari jam maghrib karena cuaca waktu itu sangat mendung. Raza menghiraukan ucapan sang mama hingga dia baru tersadar dan merasa lelah bermain setelah puas. Hujan kala itu tidak berhenti justru semakin malam malah semakin deras. Raza yang sedang dikejar waktu pun menjalankan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi karena dipikir jalanan sepi tapi, naas sepeda motor dari arah berlawanan pun berjalan dengan kecepatan tinggi pula. Raza yang menyadari itu langsung membelokkan sepeda motornya karena tidak bisa mengimbangi terjatuhlah Raza dan terpental jauh dari posisi jatuhnya sepeda motor.
Zia yang mendengar cerita dari Tiara hanya bisa menganga serta menutup mulutnya dengan kedua tangan karena membayangkan betapa mengerikannya kecelakaan yang dialami oleh Raza.
"Itu kejadiannya waktu kapan, Za?" tanya Zia lebih lanjut.
"Waktu itu kalau nggak salah seminggu mau ujian, Zi. Orang tuanya Raza sudah pasrah banget, setiap gue jengukin Raza selalu saja mamanya Raza tuh nangis, gue juga jadi drop karena mikirin dia," jawab Tiara mengingat.
"Kok lu tau banget bahkan sampai detik begitu," selidik Zia, "Raza aja nggak tau."
"Eh, pea. Ya mana Raza tau lah, dia yang ngalamin, kan," ucap Tiara menoyor kepala Zia dengan bebasnya.
Zia hanya terkekeh bahkan tidak melawan aksi Tiara terhadapnya.
"Gue aja sampai nggak konsen waktu ujian, sumpah gue pikirin Raza banget waktu itu," ucap Tiara tanpa hambatan.
Mendengar ucapan Tiara, senyum Raza merekah di wajahnya.l yang sedari tadi membiarkan Tiara menceritakan tentang kecelakaannya.
"Tuh kan lu mikirin, berarti lu bohong dong pas gue tanya waktu itu," ejek Raza.
"Ya lagian coba lu pikir aja, masa pertanyaan pertama yang keluar dari mulut lu malah nanya gue baik-baik aja, nggak nyambung banget, kan. Yang kecelakaan lu tapi, lu malah nanya keadaan gue," kata Tiara sambil menepuk pundak Raza.
Raza merintih kesakitan karena mendapat serangan tiba-tiba dari Tiara dan setelahnya dia tertawa.
"Tuh lu liat, Zi. Gue pukul malah ketawa, sarap nih orang," ucap Tiara sambil menunjuk Raza dengan bergidik ngeri.
"Lu mau pukul gue berapa kali pun gue terima, karena rasa cinta gue bisa menyembuhkan luka dari lu."
Zia langsung bersorak mendengar kalimat yang terlontar dari Raza, lagi lagi dan lagi Raza mengeluarkan gombalannya. Meskipun sudah sering dilakukan, terkadang Tiara merasa melayang dibuatnya dan jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Tidak dapat mengelak warna merah terlihat di pipi Tiara tatkala mendapatkan gombalan serta pujian dari Raza.
"Gombal banget lu." Tiara menyembunyikan rasa malunya dengan pukulan di pundak Raza lagi.
"Oh iya, gue sampai lupa tanya. Lu kenapa tumben nggak sekolah?" tanya Zia mengingat maksud kedatangannya.
"Gue udah bilang mager bin males, Zi. Gue juga nggak tau, badan gue mager banget buat bangun tadi," jelas Tiara.
"Bukan karena galau?" selidik Zia.
"Galau? Apa yang harus gue galauin, hidup gue happy always kok," elak Tiara.
"Galau lah mau dilamar sama sang pujaan hati, kan."
Tiara langsung melotot ke arah sumber suara tersebut dan penuh ancaman lewat tatapannya itu.