Kak Ardi membiarkan aku untuk pergi sendiri setelah dia selesai memarkirkan mobilnya. Kak Ardi hanya menyuruhku untuk datang ke kantor guru dan bertanya di sana. Tidak lupa kalau dia juga menyuruh agar aku nanti datang ke parkiran untuk pulang bersama denganya.
Setelah itu Kak Ardi pergi menuju ke dalam kelasnya sendiri. Aku tahu kalau sebenarnya kakak sayang sama aku. Tapi dia tidak menunjukkan rasa sayang itu karena bersalah. Dia bersalah karena tidak bisa menjaga adik yang paling dia sayang.
Begitupun dengan aku, aku tidak bisa menunjukkan lagi kesenanganku saat aku juga mengalami hal yang paling membahagiakan di dalam hidupku. Saat aku lulus sekolah, ataupun saat aku mendapat juara kelas.
Beberapa tahun belakangan aku ingin mencoba untuk membuat kedua orang tuaku dan juga saudaraku bangga akan diriku. Agar mereka bisa melupakan kembaranku yang telah tiada. Tapi aku hanya di abaikan begitu saja.
Semua piala yang aku kumpulkan dari tahun ke tahunseperti tidak berarti bagi mereka. Karena aku memiliki otak yang jenius, yang tidak dimiliki oleh siapapun termasuk juga dengan kembaranku sendiri.
Sedangkan Aurel tidak sepintar aku, tapi dia memiliki paras yang cantik dan mudah berbaur dengan yang lainya. Kami memang anak kembar, tetapi kami tidak memiliki paras wajah yang sama.
Saat aku kebingungan mencari letak dari kantor guru, ada beberapa siswi yang menghampiriku. Mereka memakai pakaian yangsudah dimodifikasi. Dan ada satu siswi yang terlihat tomboi.
Karena baju yang dia kenakan dikeluarkan dan lenganya di lipat. Aku sempat bingung apa yang akan mereka lakukan, karena mereka bertiga berjalan kesini. Entah apa yang akan mereka lakukan kepadaku. Saat pertama kali melihat mereka aku tahu kalau mereka pasti gerombolan wanita yang suka membuli.
Semua itu sudah terlihat dari wajah mereka masing-masing.
"Eh, anak baru ya?"
"Iya, saya anak pindahan dari SMA Pertiwi."
"Kalau gitu kita kenalan dulu dong, kenalin nama Arsi, yang di samping gue namanya Intan sama Rubi. Kalau nama lo siapa?"
"Kenalin nama gue Arin, baru kelas sebelas."
Aku memakai bahasa yang biasa kami gunakan saat berbincang dengan teman sebaya. Karena mereka juga memulai untuk berbicara dengan santai.
"Yaelah, ngapain sih kita pakai drama segala, padahal kan kita udah kenal dati dulu anjir."
"Kan kalian yang mulai drama dulu, gue mah tinggal ngikut aja. Lagian baju kalian ngapain dimodif kaya gini segala sih. Gue hampir nggak ngenalin kalian tau tadi."
"Gaya di rumah sam adi sekolah harus beda dong. Kita juga harus bisa membaur kali. Meskipun tanpa sekolahpun kita juga bisa ngapain aja. Lagian gue tiduran di rumah juga uang bakalan ngalir kayak sungai."
"Iya deh yang udah punya butik sendiri, yang apa-apa tinggal gesek kartu."
"Lo juga harus sadar diri juga kali, lo kan anak tunggal kaya raya. Pewaris tunggal keluarga Bima. Uang yang dikumpulin kakek sama bapak lo juga gak bakalan habis buat hidup lo sama anak-anak lo nanti."
Setelah mendengar percakapan mereka yang tidak akan ada habisnya, aku langsung memotong dan berbicara dengan mereka untuk menghentikan perdebatan itu. Karena aku juga tidak terlalu suka dengan orang-orang yang selalu berbicara. Dan yang pling tidak aku sukai adalah orang-orang yang suka membual tentang kehidupannya.
"Udahlah nggak usah debat terus, kita kan sama-sama tahu kalu kita itu punya penghasilan senndiri. Dan kita juga memiliki keluarga yang broken. Lebih baik kalau kalian anterin gue ke kantor guru. Karena kakak gue gak mau nganterin. Jadi sekarang gue luntang lantung nyariin itu kantor ada dimana."
"Yaudah lo sama kita aja, nanti biar kita juga bisa satu kelas. Pasti seru tuh kalo kita semua jadi satu."
"Yaudah sekarang anterin gue kesana, lagian kenapa kalian di luar kelas? Bukanya sekarang pelajaran udah dimulai ya?"
"Lo kaya nggak tahu kita aja, kan dari dulu kita itu nggak pernah ikut pelajaran sampai satu hari penuh. Kalau kita di kelas terus, bisa-bisa otak kita pada keluar asep dengerin pelajaran."
"Iya juga sih, tapi kayaknya sekarang gue nggak bisa deh buat nakal di sini. Apalagi ada kakak gue juga. Pasti dia akan ngelaporin gue ke nyokap kalau sampai gue bikin olah. Lagian dia juga nggak tahu kalau gue itu sebenarnya udah lulus S2. Kan gue ngerahasiain semua itu dari keluarga gue."
"Iya kita tahu kok, kan karena itu juga kita disini. Lagian dulu kita juga lulus dari universitas bareng. Karena tahu kalau lo mau ngulang jadi murid SMA, gue sama yang lain juga ikut-ikutan deh. Dan ternyata seru juga ya. Ternyata lompat kelas itu ada enaknya dan juga enggak."
Kita mengobrol bersama sambil berjalan menuju ke kantor guru yang katanya ada di ujung koridor ini. Kami memang dulu sudah berteman. Karena kami adalah siswa yang paling jenius di kota kami.
Jadi kita berkumpul di satu tempat dimana kita semua adalah anak-anak jenius. Sebenarnya kami juga berasal dari kota yang berbeda. Aku juga mengenal mereka saat kita berkumpul di salah satu asosiasi yang menangani anak-anak jenius dari berbagai kota di Indonesia.
Saat itu usiaku masih 10 tahun. Diundang secara rahasia oleh staf di sana untuk mengikuti event tersebut. Dan aku juga merahasiakan hal itu dari semua keluargaku termasuk juga kembaranku sendiri.
Karena aku tidak mau kejeniusanku terdengar ditelinga mereka. Dan hingga saat ini rahasia itu masih tersimpan rapat olehku dan juga dengan teman-temanku yang lainnya. Kamu sudah berteman sejak saat itu hingga sekarang. Kamu sudah lulus dari Universitas lebih awal.
Lebih tepatnya kami lulus S2 saat usia kami masih 15 tahun. Di mana anak-anak pada usia ibu masih duduk di bangku SMP, kami sudah sudah menyelesaikan studi kami.
Dulu aku dan juga teman-temanku berkuliah di universitas luar negeri yang sangat terkenal. Tetapi kami tidak menetap di sana, dengan koneksi yang kami gunakan, aku dan teman-temanku yang lainnya bisa melakukan pembelajaran di tempat kami masing-masing. Kita tidak perlu jauh-jauh hanya untuk berkuliah.
Dan itu hanya bisa dilakukan oleh kami dan juga asosiasi yang menaungi dan juga mendukung kami. Karena kebijakan Universitas juga tidak memperbolehkan mahasiswanya untuk melakukan pembelajaran jarak jauh.
Dan sekarang kamu sudah memiliki ijazah, dan kami juga sudah mendirikan usaha kami sendiri tanpa bantuan dari siapapun. Keluargaku juga tidak tahu kalau aku sudah mendirikan perusahaan dengan namaku sendiri dan kerja kerasku sendiri.
Aku mendapatkan semua koneksi yang aku butuhkan ketika masih berusia belasan tahun yang lalu, disaat keluargaku menghadiri pesta oleh orang-orang yang memiliki pengaruh besar terhadap ekonomi di Indonesia.
Di situ aku mempelajari bagaimana kerjanya sebuah perusahaan, dan aku mulai membangun bisnis ku sendiri saat itu. Aku juga tidak menyangka bahwa sekarang usahaku sudah sangat maju bahkan perusahaan yang akan dirikan sudah lebih besar dari perusahaan yang ayahku rintis.
Tentu saja semua itu berkat bantuan dari teman-teman dan juga staf asosiasi yang yang menaungi kamu juga mendukung semua yang kami lakukan. Sesuatu itu seperti sebuah organisasi yang memberikan beasiswa kepada anak-anak tertentu.
Tentu saja semua anak yang mereka pilih adalah anak-anak yang sangat jenius dan diatas rata-rata. Di sana kami juga diajarkan untuk mengembangkan pengetahuan kami lebih luas. Tentu saja ada timbal balik yang harus kami berikan kepada mereka.
Setelah kami mendapat dukungan penuh dari mereka, dan kami juga sudah lulus dari pendidikan kami. Kami diwajibkan untuk mengurus organisasi selama satu tahun penuh. Di sana kami juga harus mencari anak-anak jenius yang melebihi rata-rata untuk dijadikan anggota baru.
Aku juga tidak tahu bagaimana mereka mendapatkan uang itu untuk membiayai kami semua. Dan aku juga tidak tahu siapa pemimpin mereka sebenarnya. Karena ketika aku disana hanya ada beberapa staf yang mengarahkan kami untuk melakukan sesuatu.
Dan pemimpin itu masih misterius sampai sekarang, bahkan aku juga sudah menghilang hacker untuk mencari tahu identitas orang tersebut. Tetapi hasilnya tidak ada satupun yang memuaskan. Bahkan aku tidak mendapatkan petunjuk apapun.
Saat aku masih bergelut dengan pikiranku sendiri ternyata kami sudah sampai di depan pintu kantor guru. Temanku yang menyadarkan aku dari lamunanku sendiri.
"Hei, kita sudah sampai, lo mau masuk sendiri apa kita anter?"
"Gue masuk sendiri aja, kalian tunggu gue disini aja. Nanti kita masuk ke kelas bareng."
"Oke kalau gitu, lo jangan lupa ya, minta ditempatin di kelas XII IPS 5. Biar nanti kita bisa satu kelas bareng. Lo bakal suka sama kelas kita."
"Yaudah kalau gitu gue masuk dulu deh, lagian sebenarnya gue juga belum daftar masuk ke sekolah sih. Ini mau langsung aja. Kalian kalau mau balik dulu gapapa. Nanti biar gue nyusul ke kelas. Takutnya nanti kalian kelamaan nungguin gue."
"Lo kaya sama siapa aja, kita kan bestie, jadi kemanapun harus bareng-bareng. Dan kita juga harus buat circle kita sendiri. Kalian setu apa nggak. Biar kita juga punya kekuasaan di sekolah kita. Lagian gue juga nggak suka sama kakak kelas yang sok itu."
"Kakak kelas siapa sih emangnya?"
"Ada pokoknya, kakak kelas yang judes dan mukanya tuh kaya ondel-ondel. Penuh dengan dempul yang menutupi pori-pori. Gue kalau lihat dia tuh bawaannya mau gue tendang aja itu muka. Bikin gue enek soalnya."
"Nanti kalian kasih tau gue ya yang mana orangnya. Gue jadi penasaran gimana si wajah kakak kelas itu."
"Lo pasti mual kalau lihat wajahnya, dan dia itu sok-sokan banget mau jadi penguasa disekolah ini. Dan nggak jarang juga kalau dia itu sering ngebully anak-anak yang dari kalangan menengah ke bawah."
"Bener banget tuh, kadang gue juga kalau melihat kejadian itu langsung gue larai. Tapi mereka masih ngelakuin itu tiap hari. Dan sasarannya itu pasti anak-anak miskin dan juga adik kelas mereka sendiri. Terus lo harus tahu, kalau kakak kelas itu naksir sama abang lo. Siapapun yang ngedeketin kakak lo pasti bakalan berurusan sama dia."
"Tapi kakak l selalu menghindar dari dia. Bahan kakak lo ngeacuhin kakak kelas itu. Tapi kakak kelas itu nggak pernah menyerah sama sekali. Dia selalu nempel sama kakak lo setiap ada kesempatan."