Sementara itu, pagi hari di kediaman keluarga Stella. Dean Taylor yang tak lain adalah suami dari Stella, menyampaikan pesan dan memberikan kartu nama Stefan padanya.
"Stefan Evaness Maroni? Pemilik Minevan Corps?"
"Ya, sebenarnya ia ingin berbicara langsung denganmu soal bantuan dana untuk usaha kulinermu. Apa sebelumnya kau pernah mengajukan itu padanya?" tanya Dean.
Stella ragu untuk menjawabnya. Karena sebelumnya ia memang tidak pernah mengajukan apapun soal bantuan dana pada siapapun. Namun berhubung itu soal dana untuk usahanya, akhirnya ia berniat untuk menghubungi nomor Stefan yang telah tertera di kartu nama tersebut suatu saat nanti.
***
Sinar matahari yang menembus permukaan jendela kamar tengah membuat Stefan terjaga. Sempat melihat arah jam yang telah menunjukkan pukul 6 pagi, lalu ia kembali tidur karena masih tak kuasa membuka kedua matanya.
Kemudian Stefan membuka kedua matanya kembali dan,
"Dor!" teriak Carissa mengejutkan Stefan di hadapannya.
"Hah! Shit!" Stefan terjingkat hingga terjatuh dari ranjangnya. Carissa tertawa terbahak-bahak melihatnya.
Namun setelah ia mendengar Stefan yang mengeluh kesakitan memegang kepalanya, Carissa merasa cemas.
"Ayah? Maafkan aku, Ayah tidak apa-apa, kan?"
Lalu Stefan mempunyai ide, ia berpura-pura pingsan di depannya.
"Ayah? Ayah?! Ayah bangun, Ayah!" pekik Carissa cemas dan pada akhirnya menangis lalu memeluknya.
"Ayah bangun, maafkan aku,"
"Dor!" Stefan pun tertawa karena berhasil mengejutkannya.
Sementara Carissa masih menangis lalu memukul tubuh Stefan berkali-kali.
"Ayah jahat!"
"Hei, siapa dulu yang mulai? Kita sekarang impas, bukan?" balas Stefan yang masih menertawakannya.
Carissa terlihat marah mengerucutkan bibirnya. Kemudian Stefan menghapus sisa air mata di pipi Carissa yang memiliki lesung indah disana.
"Jangan menangis, nanti bedakmu luntur," melihatnya yang sudah siap pergi ke sekolah dengan penampilan yang sungguh berbeda dari biasanya.
"Apa kau menggunakan lipstik?" ketika Stefan melihat bibirnya yang tampak merona.
"Ini bukan lipstik, Ayah. Lip Gloss," sambil menunjuk ke arah bibirnya.
"Tunggu dulu, darimana kau mendapatkan Lip Gloss itu? Aku tidak pernah membelikanmu Lip Gloss, make up atau sejenis itu,"
"Dari kamar Ibu," dengan wajah polosnya.
Stefan berdengus dan menepuk dahinya.
"Carissa, dengarkan Ayah. Jangan lagi pakai riasan Ibu ya, karena aku tidak ingin ketika Ibu kembali dia akan memarahimu soal itu, paham?"
"Ya, Ayah," ucap Carissa menunduk.
"Jadi sewaktu kita makan malam, kau sudah memakai riasannya?"
Carissa mengangguk penuh sesal.
"Jangan seperti itu lagi ya, karena aku tidak ingin kau disalah-salahkan lagi olehnya. Itu juga perbuatan tidak baik, menggunakan kepunyaan orang tanpa ijin terlebih dahulu," jelas Stefan serius.
"Aku tidak marah padamu, hanya saja aku tidak ingin kau terlihat buruk di depan orang lain termasuk Ibu," lanjutnya.
Perasaan bersalah Carissa semakin mendalam setelah Stefan menjelaskan semuanya. Ia hanya diam dan merunduk. Akhirnya Stefan memeluk Carissa, mencoba meredakan semua ketegangan itu.
"Maafkan aku, Carissa. Aku hanya ingin kau menjadi gadis yang baik, itu saja,"
"Ini bukan salah Ayah, ini salahku. Aku takut Ayah marah padaku, jadi aku tidak ijin untuk memakai riasan Ibu," ujar Carissa lirih.
"Sebenarnya kau sudah cantik, Carissa. Bahkan kau tidak perlu memakai riasan itu. Karena cantik bukan dari wajah, melainkan dari hati,"
Akhirnya Carissa tersenyum kembali.
"Aku sangat menyayangimu, Ayah," memeluk Stefan lebih erat lagi.
"Aku juga, sayang,"
***
Kini seisi ruang kantor Stefan hampir mirip dengan sekolah taman kanak-kanak. Disana penuh dengan wahana kecil seperti rumah plastik, perusutan plastik, boneka-boneka teddy dan juga rak kecil dengan koleksi buku-buku dongeng. Tidak lupa dengan alas karpet lembut berbentuk puzzle jigsaw warna-warni.
Wahana itu sengaja Stefan ciptakan agar Carissa merasa betah pada saat berada di kantor bersamanya, sekaligus menyenangkan putri kesayangannya. Sepulang sekolah, Carlos selalu mengantarkannya langsung ke kantor Stefan.
"Ayah?" sapa Carissa saat melihat Ayahnya yang sedaritadi diam mengerjakan laporan di depan laptop.
"Hm?"
"Apa setiap harinya Ayah selalu seperti ini ya?"
"Ya, sayang. Ini memang pekerjaan Ayah setiap harinya," sambil mengetik.
"Apa Ayah tidak bosan?"
"Tidak, bagaimana denganmu?"
"Aku tidak merasa bosan selama dengan Ayah,"
Stefan tersenyum sekilas mendengarnya. Kemudian menghentikan aktifitasnya.
"Aku tahu kau bosan, bagaimana jika kita memesan pizza?" ungkap Stefan sambil menaik-turunkan alisnya.
"Aku tidak suka pizza, aku sukanya..."
"Bubur ayam?" potong Stefan.
Carissa manggut-manggut sambil tersenyum manja
"Kau tidak bosan dengan makanan itu?"
"Aku tahu semua orang tidak suka makanan itu, termasuk Ayah. Tapi aku suka," jawab Carissa sembari memainkan boneka teddy bear-nya.
"Baiklah, aku memesan pizza dan kau aku pesankan bubur ayam, setuju?"
"Setuju! Sama es krim coklat, Ayah!" sahut Carisaa antusias.
Seiring Stefan akan memesan makanan via online, seseorang menghubunginya lewat handphone. Ia pun keluar dari kantornya sejenak untuk menerima telepon itu.
"Halo, selamat siang?"
"Siang, apa benar ini nomor Tuan Maroni?"
"Ya, betul, dengan siapa saya berbicara?"
"Ini saya, Stella Virkin,"
Stefan terpaku sesaat setelah mengetahui bahwa seseorang itu ternyata Ibu kandung Carissa.
"Oh, Nyonya Stella? Ehm, sebetulnya saya ingin sekali berbicara langsung pada anda mengenai bantuan dana tersebut, tapi pada saat itu Nyonya sedang tidak ada di rumah,"
"Ya, kebetulan saya masih sibuk menangani usaha saya kemarin. Tapi, mohon maaf sebelumnya, Tuan Maroni, saya tidak pernah mengajukan persyaratan apapun untuk bantuan dana itu, maka dari itu saya percaya tidak percaya dengan ini, mohon maaf,"
"Kita bicarakan saja segera, Nyonya Stella. Saya tunggu di restoran Boulevard sebentar lagi, pukul 1 siang,"
"Baik, Tuan Maroni,"
Sayang sekali makan siang bersama Carissa harus batal karena hal itu. Sebelum berangkat, tak lupa Stefan berpamitan pada Carissa, lalu menyuruh asisten manajernya untuk membelikan Carissa bubur ayam.
Sesampai di restoran Boulevard, Stefan menunggu Stella selama hampir 15 menit dari jam yang sudah ia tentukan. Jujur saja ia merasa harap-harap cemas pada saat menunggunya. Karena semua ini berkenaan dengan Carissa, yang selama ini Stella lupakan begitu saja.
"Maaf, Tuan Maroni, saya agak terlambat sedikit, saya masih mengatur karyawan-karyawan saya untuk menangani beberapa pesanan makanan," ujar Stella gelagapan saat tiba disana.
"Tidak apa-apa, Nyonya Stella. Pekerjaan harus diutamakan terlebih dahulu. Mari, silahkan duduk," balas Stefan ramah tamah.
Setelah memesan makanan dan minuman, tiba-tiba saja Stefan memberikan Stella sebuah cek yang bertuliskan nilai uang sebesar 500 juta rupiah.
"Ehm, maaf, Tuan Maroni, ini apa?" tanya seorang wanita yang berusia 50 Tahun itu.
"Itu dana yang saya bicarakan. Saya harap, anda bisa pergunakan sebaik-baiknya untuk usaha kuliner yang anda miliki." jawab Stefan.
"Tapi, Tuan, hanya begitu saja? Tanpa harus tanda tangan berkas, mengurus sesuatu atau semacamnya?"
"Tolong panggil saya Stefan saja. Karena usia saya lebih muda dari anda, saya jadi merasa tidak enak," ujar Stefan terkekeh.
"Baiklah, Stefan, maaf jika saya belum terbiasa," Stella pun terlihat semakin akrab dengan Stefan.
"Nyonya Stella? Bolehkah saya bertanya?"
"Ya, tentu, apa saja, silahkan," jawab Stella dengan senyum cerahnya.
"Apakah anda mempunyai anak?"
Wajah cerah Stella tiba-tiba saja berubah menjadi mendung setelah Stefan menanyakannya soal anak. Stefan melihat Stella menelan salivanya berkali-kali, seperti seseorang yang sedang khawatir akan sesuatu.
"Nyonya Stella? Anda baik-baik saja?"
Stella pun tersadar, lalu menatap Stefan dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.