Dari sepulang bekerja hingga menjelang petang, Stefan merasakan hal yang ganjil. Biasanya kedatangannya disambut oleh putri kesayangannya. Namun untuk sore ini, Carissa tak terlihat sama sekali batang hidungnya.
"Carissa dimana, May?" tanya Stefan pada istrinya yang sedang duduk santai di ruang keluarga.
"Tidak tahu, mungkin ada di kamarnya," jawab Maya acuh tak acuh.
Stefan pun segera memeriksa keberadaannya di kamar. Ia melihat Carissa yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya di meja belajar.
"Ayah kira kau ada dimana," ujar Stefan sekaligus menyapanya. Namun Carissa hanya diam dan fokus mengerjakan tugasnya.
Stefan mengambil kursi dan duduk di sebelahnya. Melihat anak kesayangannya yang terlihat sangat sibuk mengerjakan tugas sekolahnya.
"Sepertinya tugasmu banyak sekali, apa aku bisa membantumu?"
Tiba-tiba Carissa meletakkan alat tulisnya, kini pandangannya mengarah pada Stefan.
"Ayah? Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"
"Tentu, sayang. Ada apa?" ucap Stefan lembut.
"Menurut Ayah, apakah aku anak yang manja?"
Sebenarnya Stefan tahu, ini pasti gara-gara perdebatan di malam itu ketika ia menemani Carissa sebelum tidur.
"Tidak bagiku. Menurutku kau anak yang paling cerdas yang pernah Ayah miliki," jawab Stefan.
"Ayah bohong, kan?"
"Tidak, aku sungguh-sungguh. Memang seperti itulah dirimu, Carissa,"
Tapi Stefan merasa bahwa jawaban itu tidak membuat Carissa terkesan sama sekali, mengingat perkataan Ibunya bahwa Carissa adalah anak yang manja.
"Memangnya siapa yang menyebutmu anak manja? Jujur padaku?" tanya Stefan serius.
"Maaf, Ayah, aku harus tidur, karena besok pagi aku harus sekolah," sembari mengemasi buku dan perlengkapan sekolahnya ke dalam tas.
"Jawab pertanyaan Ayah, Carissa. Siapa yang menyebutmu anak manja?" tegas Stefan.
Detak jantung Carissa berdegup kencang, sebab ia mengingat perkataan Ibunya yang mengancam apabila ia mengadu soal itu ke Ayahnya. Akhirnya Carissa hanya bisa menangis tanpa suara. Stefan merasa bersalah padanya. Ia pun merengkuhnya ke dalam pelukan.
"Maafkan aku. Aku tak bermaksud untuk memaksamu seperti ini. Aku hanya ingin kau berkata jujur padaku, itu saja," jelas Stefan.
"Lupakan saja, istirahatlah, ya?" lanjut Stefan sambil membelai rambutnya.
Carissa mengangguk pelan.
***
Keesokan paginya sebelum berangkat, Stefan memanggil salah satu pembantu di rumahnya.
"Ya, Tuan Maroni?"
"Saya minta tolong, titip Carissa disini jika saya sedang tidak ada di rumah. Jika sesuatu terjadi dengannya atau siapapun menyakitinya, segera hubungi saya ya."
"Baik, Tuan Maroni," lalu pembantu itu kembali bekerja.
Pagi ini Stefan juga sengaja tidak berpamitan dengan istrinya saat berangkat bersama Carissa. Maya merasakan perbedaan dari suaminya pagi ini sejak ia mengancam Carissa. Ia juga yakin bahwa Carissa lah yang merubah suaminya menjadi seperti ini. Pandangan sinis pun terpapar jelas di wajah Maya ketika melihat mereka berdua pergi keluar dari pagar rumah dengan mobilnya.
"Kok Ayah tidak berpamitan pada Ibu barusan?" tanya Carissa saat di perjalanan.
"Sudah, tadi," jawab Stefan singkat.
"Ayah bohong,"
Stefan menghela nafasnya.
"Itulah yang aku takutkan, ini semua salahku," ujar Carissa merunduk.
"Tenang saja, kau tidak perlu takut lagi. Karena Ayah pasti tahu jika ada hal yang terjadi padamu saat Ayah tidak ada di rumah," balas Stefan.
"Maafkan aku, Ayah. Aku sudah membuat Ayah bertengkar dengan Ibu," ucapnya lirih.
"Ini bukan salahmu, sayang. Tidak perlu kau pikirkan. Lagipula Ayah tidak bertengkar dengan Ibu. Yang terpenting sekarang kau sekolah, gapai semua cita-citamu," jawab Stefan sedikit menenangkannya dan membuat Carissa tersenyum kembali.
Siang hari saat jam istirahat kerja, Stefan menemui salah satu perawat dari panti asuhan Foster di restoran. Perawat itu bernama Claire. Sekedar menanyakan segala hal yang berhubungan dengan Carissa, selama ia tinggal disana dan juga tentang keluarga Carissa yang sebelumnya sambil makan siang.
Nyatanya selama ini, Stefan juga mengetahui segala hal yang Carissa sukai dari Claire sendiri. Itulah sebabnya Carissa sangat nyaman dengan Stefan daripada Maya yang selalu membuatnya tertekan.
"Saya sangat berterima kasih karena sudah memberikan saya pencerahan tentang Carissa, anak saya. Karena jujur saja, saya baru pertama kalinya mengurus anak kecil, sebelumnya saya belum pernah sama sekali, suster Claire," ujar Stefan.
"Itu sudah kewajiban saya, Tuan Maroni, malah saya sangat senang anda bisa merawatnya dengan baik seperti anak sendiri. Padahal menurut saya, Carissa itu anak yang sangat rumit dari yang lainnya. Sampai dia butuh penanganan khusus dari saya. Bisa saya maklumi juga dari masa lalu yang dia alami, Tuan Maroni," jelas perawat wanita berdarah Turki itu.
"Memangnya apa yang terjadi pada Carissa di masa lalunya? Jika saya boleh tahu?" tanya Stefan penasaran.
"Intinya, sejak Ibu kandungnya menikah lagi, keluarganya menjadi berbeda, tidak seperti dulu lagi. Ayah tirinya peminum berat, pecandu. Sementara Ibunya sibuk dengan bisnis kulinernya," jawab Claire.
"Lalu, bagaimana Carissa bisa diserahkan ke panti asuhan? Dia kan masih memiliki orang tua," rasa penasaran Stefan semakin tinggi.
"Sebelum Carissa di serahkan pada kami, Ayah tirinya menyerahkannya di sebuah sekolah luar biasa dengan alasan Carissa mengalami gangguan jiwa. Kami sempat tidak percaya dengan alasan itu, karena pada saat itu Carissa masih berusia 6 Tahun. Sampai akhirnya pihak sekolah menyerahkannya pada kami. Karena menurut pihak sekolah, anak itu ternyata baik-baik saja, tak mengalami gangguan mental apapun,"
Dari penjelasan Claire, Stefan merasa sedih dan kasihan mendengar kisah dari Carissa yang sebenarnya. Namun ia sangat beruntung ketika anak itu sudah berada di tangannya. Ia pun berjanji akan merawatnya dengan baik dan tidak menyia-nyiakannya seperti kedua orang tuanya dahulu.
Namun Stefan tidak berhenti disitu saja, ia bahkan berniat untuk mengunjungi kedua orang tua Carissa untuk menanyakan apa yang terjadi sehingga mereka begitu tega menyerahkan putrinya sendiri ke sekolah luar biasa.
Sore hari sebelum pulang ke rumah, Stefan mengunjungi sekolah luar biasa itu untuk menanyakan tentang keberadaan orang tua Carissa, hingga ia berhasil mendapatkan alamat rumah mereka.
Sementara itu, Carissa juga masih belum pulang ke rumahnya hingga sore hari menjelang. Ia memang sengaja mengajak supir pribadinya untuk jalan-jalan di taman bunga alun-alun pusat kota.
"Ehm, Nona Carissa? Apakah sebaiknya Nona tidak pulang saja dulu? Ini sudah sore, Nona," tanya supirnya yang terlihat gugup.
"Tidak mau, aku tidak mau pulang sebelum Ayah pulang kerja," jawabnya sembari bermain-main di taman bunga.
Kemudian supir pribadinya melihat layar handphone-nya yang penuh dengan panggilan tak terjawab dari Maya. Ia terpaksa mengabaikan telepon dari majikannya itu karena Carissa memang menyuruhnya, sebab ia takut dengan Maya jikalau ia tinggal dirumah berdua dengannya.
"Tapi, Nona, Ibu Maya terus menghubungi saya, saya bingung harus bagaimana?"
Lalu Carissa meminjam Handphone supirnya untuk menghubungi Stefan. Disaat yang sama, Stefan sedang dalam perjalanan menuju alamat rumah kedua orang tua Carissa.
"Halo, Carlos? Ada apa?" jawab Stefan sambil mengemudikan mobilnya.
"Ini aku, Ayah," balas Carissa.
"Carissa? Mengapa kau masih bersama Carlos? Apa kau baru pulang dari sekolah?" Stefan memeriksa jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 4 sore.
"Ayah ada dimana sekarang? Apa Ayah belum pulang? Aku takut mau pulang, Ayah,"
"Sekarang kau ada dimana ini?" tanya Stefan cemas.
"Aku ada di taman bunga alun-alun, Ayah," jawab Carissa.
Stefan mendengus kesal.
"Tolong berikan handphone-nya pada Carlos," Carissa pun menurutinya.
"Tuan Maroni, saya mohon maaf, saya..."
"Antar Carissa pulang sekarang juga." potong Stefan dengan tegas.
"Baik, Tuan Maroni,"
Carissa sampai dirumah hampir pukul 5 sore. Maya sudah menunggu kedatangannya di depan pintu rumah sedaritadi dengan tatapan mengancam padanya.
"Masuk!" mendorong kasar tubuh Carissa hingga hampir terjatuh.
"Darimana saja?!" bentak Maya.
"Maaf, Ibu," ucap Carissa menangis ketakutan.
"Maaf maaf! Ini sudah jam berapa?! Kau tahu kan aturan disini?!" kedua mata Maya terbelalak, sehingga membuat Carissa semakin gemetar ketakutan.
Kemudian Maya menyeret Carissa masuk ke dalam kamarnya, lalu mengunci pintunya dari luar. Sementara Carissa menangis tersedu-sedu di dalam sana.