Selama di perjalanan keduanya terdiam, hanya suara klakson mobil yang terdengar. Rasa lelah yang Reva rasakan sepertinya tidak membuat Sean perduli. Fikiran Reva seketika melayang, dia memikirkan Fian saat ini. Harus pergi mendadak, meninggalkan di rumah sakit, benar-benar membuatnya tidak enak. Selama ini Fian selalu baik, dan sekarang apa pantas dia berdekatan dengan Fian? Bagaimana kalau Fian mengetahui kelakuannya?
Reva mendesah gelisah. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Menyesal, itulah yang Reva rasakan saat ini. Andai saja malam itu otaknya berfikir jernih, mungkin tidak akan seperti ini akhirnya. Sesekali Reva melirik pria di sampingnya melalui ekor mata. Pria itu tetap diam, matanya sangat fokus menatap ke arah depan.
Bahkan malam ini saja Reva tidak tahu nasibnya akan seperti apa, jangankan itu dia pun tidak tahu mau dibawa ke mana. Puluhan kali Reva bertanya, namun tidak ada respon apapun dari Sean. Jika melihat Sean, bayang-bayang wajah Jihan dan Fian seketika melintas. Kali ini Reva terjebak, dia menyakiti dua hati yang sangat baik.
Hampir tiga tahun Reva bekerja di perusahaan Sean, bahkan Reva saja sampai lupa bagaimana bisa kenal dekat dengan Jihan. Wanita itu sangat baik, dia tidak sungkan menganggap Reva sebagai saudaranya. Bagaimana kalau nanti Jihan tau? Sudah bisa dipastikan dia akan hancur.
"Pak Sean?"
"Jangan panggil saya Bapak, Reva."
"Bapak mau bawa saya ke mana?" tanya Reva lagi, dia sama sekali tidak menggubris perkataan Sean.
Rahang Sean mengeras, wanita di sampingnya benar-benar susah untuk diberi tahu. Susah payah Sean menetralkan emosinya, dia berusaha untuk tetap fokus menyetir tanpa menghiraukan Reva.
"Urusan kita udah selesai, okelah malam ini saya turuti. Tapi ga untuk besok."
"Kalau saya tidak mau? Apa kamu mau, semuanya tersebar? Bahkan saya rasa, orang tua kamu akan sangat marah kalau tahu uang yang mereka pakai hasil dari penjualan tububmu," jawab Sean dengan santai. Dia benar-benar tidak perduli dengan tatapan tajam Reva.
"Saya ga enak sama Jihan, sama aja saya hancurin dia."
Sean memarkirkan mobilnya di parkiran, refleks Reva menoleh ke arah depan dan jendela. Apartemen. Apa Sean akan mengajaknya ke dalam? Masih dalam keterkejutannya, Sean membukakan pintu untuk Reva lalu mengajaknya untuk turun.
Sean berbisik, kalau dia tidak ingin ada kegaduhan di sini. Kalau saja sampai Reva berbuat aneh, dia pun tidak akan segan membalasnya. Reva menghembuskan napasnya perlahan, dia melirik tangan kekar Sean yang kini melingkar sempurna di pinggangnya. Saat keduanya memasuki lift, keadaan tetap hening. Sean tampak menikmati aroma parfum Reva yang sangat menyengat indra penciumannya.
Setelah sampai di lantai dan kamar tujuan, Sean masuk lalu melepaskan rangkulannya. Sedangkan Reva, dia menatap keseliling dengan bingung. Tidak banyak barang, bahkan hanya ada beberapa. Namun semuanya tertata dengan rapih. Apa ini apartemen milik Sean?
Tanpa berkata apa-apa, Sean meninggalkan Reva yang masih diam sambil menatap seisi ruangannya. Tubuh tegapnya lelah, bahkan sudah lengket. Maka dari itu Sean memilih untuk mandi terlebih dahulu. Suara pintu tertutup membuat Reva terlonjak kaget, kini dia tersadar dari lamunannya.
Tidak tahu apa yang akan terjadi, Reva melangkahkan kakinya ke arah sofa lalu duduk sambil menutup wajahnya rapat-rapat. Reva tidak menyangka kalau hidupnya akan terjebak, dan itu sama bosnya sendiri. Bos yang selama ini bersikap biasa saja, bahkan terkesan acuh. Tetapi yang membuat Reva bingung, kenapa Sean bisa berubah sekarang?
Suara dering ponsel yang terdengar membuat Reva buru-buru mengambil, dia menatap nama yang tertera di layar ponselnya.
Fian.
Belum sempat Reva menjawab, sebuah tangan kekar sudah dulu merebut ponsel dari genggamannya. Reva mendongakan wajahnya, dia menatap Sean dengan mata membulat sempurna. Tubuh bagian atas Sean terbuka, membuat Reva mengalihkan pandangannya.
"Kembalikan ponsel saya."
"Bukankah kalian baru saja bertemu? Untuk apa lagi dia menelepon?" Sean menaikan sebelah alisnya menatap Reva yang masih terduduk di bangku.
"Bukan urusan Bapak, bahkan Fian selalu melakukan itu."
Sean tertawa kecil sambil melempar ponsel Reva ke arah ranjang. Sean berjongkok, dia menarik dagu Reva menggunakan jari telunjuknya. "Apa setelah dia tahu perbuatan kamu, dia tidak akan menjauh?"
Pertanyaan Sean sukses membuat Reva membisu. Tanpa aba-aba Sean mengecup bibir Reva yang sejak tadi sangat menggoda. Mendapat serangan mendadak membuat Reva kaget, dia masih diam tanpa membalas sedikitpun. Jangankan membalas, Reva sama sekali tidak memberi akses Sean untuk menjelajah lebih dalam.
"Buka mulutmu, balas semuanya," ujar Sean dengan suara serak.
Refleks Reva mendorong kuat tubuh Sean, lalu dia berdiri dengab wajah memerah. "Apa Bapak bisa janji dulu sama saya? Bapak harus janji, setelah malam ini urusan kita selesai."
"Saya tau kamu butuh uang, Reva. Saya juga tahu perusahaan Ayah kamu sedang jatuh. Saya bersedia untuk bantu sampai tuntas, saya akan menjadi investor besar agar semuanya kembali bangkit. Tapi semua itu ga gratis, ada syaratnya."
Reva masih tidak bergeming sama sekali. Tawaran Sean sangat menarik, itu semua karena dia sangat butuh orang yang mencover. Tetapi kalau Sean orangnya, apa hidupnya tidak akan berantakan?
"Tetap di sini, menjadi simpanan saya. Saya tidak akan segan membantu perusahaan Ayah kamu, bahkan saya bisa menjamin semuanya, termasuk rahasia kita."
***
Puluhan kali mencoba, namun hasilnya tetap nihil. Fian melempar ponselnya kesembarang arah, lalu dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Fikiran Fian benar-benar kacau, bahkan hanya ada satu nama yang terus berputar.
Reva.
Seharian ini sikap wanita itu sangat berbeda, jika biasanya Reva sangat ceria, banyak bicara, sedangkan hari ini dia banyak diam dan melamun. Selain Reva, hari ini bosnya pun tampak beda, dia lebih banyak bertanya soal Reva. Sebetulnya ada hubungan apa mereka berdua?
"Kira-kira Reva ke mana ya? Ga biasanya dia ga angkat telepon gue," guman Fian.
Brak!
Fian terlonjak kaget saat pintu kamar terbuka, dia menatap tiga pria yang masuk sambil tertawa. Siapa lagi kalau bukan teman-temannya? Fian berdecak kesal saat mereka dengan rusuhnya naik ke atas kasur.
"Lo ngapain sih pada ke sini?" Fian menendang kaki Raka, temannya yang kini merebahkan tubuhnya.
"Dih sewot? Bukannya tadi siang kita udah bilang mau ke sini? Lo amnesia atau gimana, Fi?"
"Biasa, efek ngebucin sama Reva terus, Rik," celetuk Raka.
"Eta bener!" timpal Rifqi.
"Bacot lo semua!" Fian melempar ketiga temannya menggunakan bantal.
Mengingat nama Reva membuat otak Fian kembali gelisah. Rasanya seperti aneh, tetapi Fian sendiri tidak mengerti.
"Tapi tadi gue liat Reva naik mobil deh, Fi."
***