Télécharger l’application
85.71% Peaceful life / Chapter 6: Fear of Disappointing Others

Chapitre 6: Fear of Disappointing Others

Pukul 18.20...

Mobil hitam masuk ke halaman rumah mewah itu. Analise turun dan langsung berjalan dengan cepat ke kamarnya. Ternyata ia tidak langsung pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Ternyata ada keadaan darurat di perusahaan yang mengharuskan Papanya untuk segera. Jadi mau tidak mau ia ikut dengan Papanya ke kantor.

Angelina menghampiri Pak Windiarto, lalu meminta ia melepaskan jas yang ia kenakan dan memberikannya.

"Apa Analise baik-baik saja di sekolah?" Tanya Bu Angelina atau lebih sering di panggil Angel.

"Aku tidak menanyakan hal itu padanya. Seharusnya ia tidak membuat masalah pada hari pertamanya." Ujar Pak Windiarto.

"Sayang..." Panggil Bu Angel.

"Kenapa? Apa ada masalah?" Pak Windiarto mengamati ponselnya. Memastikan tidak ada email atau pesan penting.

"Ini soal Analise," Bu Angel berusaha merangkai kata-kata agar tidak terlalu menyinggung. "Apa kamu bisa lebih ramah padanya saat pagi hari?" Ujar Bu Angel. "Aku tahu kamu selalu sibuk saat pagi hari. Tapi setidaknya bersikaplah lembut."

"Apa aku melakukan kesalahan?"

"Kenapa kamu bertanya hal itu? Bukankah kau harus menyadarinya sendiri? Analise merasa tertekan saat kau bicara dengan nada seperti itu padanya."

"Aku hanya mengatakan hal yang biasa saja. Memangnya ada yang aneh?"

"Apresiasi prestasinya. Walau bukan dari akademik."

"Aku mengapresiasi prestasinya. Tapi aku lebih berharap ia bisa lebih unggul dalam akademik." Nada suara Pak Windiarto sedikit meninggi, namun tetap terdengar lembut.

"Kalau begitu hampiri dia!! Apa kau tahu, tadi pagi dia salah paham dengan sikapmu yang tegas!!" Bu Angel berusaha menjelaskan dengan rinci apa yang ia lihat dari sikap putrinya tadi pagi. "Kau ingat kata spikiater, kan? Jadi lebih baik hampiri dia, makan malam sudah siap"

Pak Windiarto menghela napas, dan menuruti permintaan istrinya untuk menghampiri Analise. Memang sudah seharusnya. Karena ia pernah memukul Analise sampai membuatnya menjadi seperti ini, sudah sepantasnya ia lebih memperhatikan Analise.

Analise melempar tubuhnya di atas kasur putih yang empuk. Tubuhnya lelah harus menghadapi hari yang cukup panjang. Ia merenungi nasibnya yang menyedihkan. Papa nya yang tidak peduli dengan dirinya, prestasi yang tidak pernah diakui oleh Papanya. Walau sesekali ia berharap bisa sekali saja Papa akan tersenyum padanya seperti dulu.

Tok...Tok...Tok...

Analise langsung bangkit dari kasurnya, suasana hatinya sedang buruk. Semoga saja art (asisten rumah tangga) itu tidak datang hanya untuk mengganggunya. "Siapa?" Nada suara Analise terdengar sedikit kesal, namun tetap terdengar lembut karena ia berusaha menahan rasa kesalnya.

Sejenak tidak ada jawaban, lalu suara laki-laki terdengar lembut dari balik pintu. "Ini Papa, nak."

Mendengar suara lembut pria itu, Analise langsung melompat dari kasurnya dan membuka dengan ceria. Akhirnya ia bisa melihat Papanya tersenyum hangat padanya. Benar kata Mama, setelah pulang kerja Papanya menjadi lebih lembut.

Itulah yang dipikirkan olehnya, namun saat ia membuka pintunya. Wajah pria dihadapannya tetap saja terlihat dingin.

Pak Windiarto membuka mulutnya, namun suaranya tidak juga keluar. "Papa? Ada apa?" Suara putrinya menyadarkan Pak Windiarto, ia merasa sedikit lega. Namun tidak yakin apa benar-benar lega.

"Sudah saatnya makan malam. Ayo kita makan bersama." ajak Pak Windiarto. Analise terdiam. Otaknya terus memikirkannya apa yang sedang Papanya rencanakan. Namun tidak ada pencerahan.

Analise tersenyum dan mengangguk setuju, mengikuti Papanya dari belakang menuju ruang makan. Mamanya sudah menunggu mereka datang, dan menyambut dengan senyuman. "Kalian sudah datang. Ayo kita makan."

"Mama. Kakak dimana?" Tanya Analise. Satu orang yang selalu Analise cari, yaitu kakaknya. Ia selalu mencairkan suasana, meskipun Papanya tidak pernah menanggapi.

"Ah... Hari ini kakak akan pulang terlambat. Kita makan dulu saja."

Mereka bertiga makan dengan suasana hening. Tidak ada yang berani memulai percakapan duluan. Angelina menatap suaminya dan menunjuk Analise menggunakan dagu. Menandakan meminta sang suami untuk mengobrol dengan putrinya.

Pak Windiarto meletakkan alat makannya, dan menyatukan dua tangannya. "Analise. Bagaimana hari pertamamu di SMA? Apa baik?" Pak Windiarto, berusaha mengatur nada suaranya agar terdengar lembut dan tidak mengintimidasi. Namun yang terdengar di telinga Analise justru bukan seperti itu.

Nada suaranya masih terdengar cuek dan dingin seperti biasanya. Analise merasa kesal dan marah, namun ia juga merasa gemetaran saat mendengar suara Papanya yang dingin. "Baik?" katanya. Bahkan di hari pertama SMA, Jika saja bukan karena gadis bernama Lunar itu datang dan membelanya. Mungkin saja sudah ada perkelahian, entah apa yang ia pikirkan saat itu. Cara menghabisinya? Membuatnya malu? Atau justru menjahit mulutnya agar tidak bisa bicara padanya?

"Semuanya baik-baik saja, Pa. Tidak ada yang istimewa." Ujar Analise. Ia tidak yakin jika mengatakan masalah yang baru saja ia alami akan membuat orang tuanya khawatir atau marah. Terutama Papanya. Ia tidak bisa membaca ekspresi wajahnya dan membaca jalan pikirannya.

"Jadi, nak. Mengenai kau yang akan menjadi penerus- Auh!!" Bu Angel langsung menendang tulang kering suaminya sedikit keras sampai merintih pelan. Menandakan seharusnya ia tidak membicarakan hal itu.

"Papa kenapa?" Tanya Analise.

"Ti-tidak. Tidak apa-apa."

"Jadi Papa benar-benar ingin aku menjadi penerus, ya." Ujar Analise. Bu Angel melotot pada suaminya, seharusnya ia tidak membahas hal itu. Namun karena sudah terlanjur, tidak mungkin mengalihkan pembicaraan.

"Iya, nak. Jadi mungkin kamu mau pergi ke kantor, dan mulai belajar tentang perusahaan." Ujar Pak Windiarto. Istrinya kembali melototi dirinya, rasanya ia seperti serba salah saat berbicara dengan putrinya. "Ah!! Tentu saja jika kau mau. Tapi jika kau kelelahan lebih baik istirahat saja."

Analise kembali memikirkan tentang dirinya. Apakah dia layak untuk menjadi penerus perusahaan? Dengan pengetahuan yang pas-pasan seperti ini.

"Baik Papa. Aku akan belajar lebih giat lagi, agar tidak mengecewakan papa." Ujar Analise.

"Terima kasih sudah mau berjuang untuk menjadi penerus. Tapi kau tidak perlu memaksakan diri." Jelas Pak Windiarto. Ia masih tidak bisa mengerti jalan pikir putrinya. Putrinya tidak pernah sekalipun menolak permintaan dirinya, padahal sangat jauh dari kemampuannya.

"Iya, papa."

Seorang pemuda datang ke ruang makan dengan penampilan sedikit berantakan, datang setelah latihan. "Hei adik kecilku. Apa kabarmu? Bagaimana sekolahmu, hem?"

Wajah ceria Analise kembali muncul saat kakak laki-lakinya datang. Namun membuat Pak Windiarto merasa kurang nyaman. Beliau menatap putranya dengan sinis. Pakaian berantakan, rambut acak-acakan, jaket di letakkan di sandaran kursi.

"Kenapa jaketmu, kau letakkan di sandaran kursi?" Tanya Pak Windiarto dengan nada tegas.

"Ayolah, Pa. Jangan khawatir, aku tidak akan lupa menaruhnya di almari lagi nanti." Pemuda itu langsung mengambil makanan yang tersedia dan meletakkan di atas piringnya.

"Dio. Ini ruang makan. Bukan kamarmu, jadi seharusnya kau bisa meletakkan jaketmu di kamarmu terlebih dahulu sebelum ke sini." Tegas Pak Windiarto. Alasan kenapa Putranya selalu membangkang adalah karena Papanya terlalu disiplin. Saat sudah lelah tidak bisa mengatur putranya, tanpa sadar ia melampiaskan kemarahannya pada putrinya, selama berbulan-bulan. Tepat setelah libur semester ganjil saat putrinya kelas 1. Penyesalan yang tidak bisa ia lupakan adalah terlalu mendisplinkan putrinya yang terlalu penurut, tidak. Anak gadis yang dulunya ceria menjadi pendiam karena kesalahannya. Dan saat putrinya sudah kehilangan kesabaran dan akal sehat, ia justru memperparah kondisi mentalnya dengan menghukumnya. Tidak menyangka, niat ia untuk mendisplinkan anaknya justru berujung padahal gangguan mental yang dialami putrinya.

Analise langsung berdiri saat amarah Papanya akan menaik. Sebelum Papanya marah-marah, ia ingin segera pergi saja. "Papa. Aku sudah selesai makannya, aku akan kembali ke kamarku." Tanpa berbalik lagi, Analise langsung berlari menuju kamarnya dan mengunci pintunya.

Pak Windiarto menutup wajahnya, merasa pusing. Semakin hari putrinya justru terlihat tidak semakin membaik.


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C6
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous