"Jie, bangun. Ini sudah pagi. Ayo kita makan." Yena mencubit pipi pria itu pelan. Jie tidak sulit bangun, ia membuka matanya dan langsung disambut oleh senyum cemerlang Yena.
Senyum yang setengah palsu.
"Jie, kau sudah tidak sedih 'kan? Aku minta maaf yah." Yena memeluknya erat.
"Tidak perlu minta maaf. Aku mengerti."
"Tidak. Aku salah. Seharusnya aku tidak boleh merasa begitu," desah Yena dengan penuh sesal.
"Tidak boleh bagaimana? Kau berhak merasa kehilangan dan kosong. Aku hanya setitik jiwa yang berperan untuk mengisi sedikit kekosonganmu dan menjagamu. Kalau kau merindukanku, peluklah jiwa ini. Meski tidak sempurna, tetapi setidaknya aku nyata 'kan?"
Yena tersenyum haru. Meski nada bicaranya tanpa ekspresi, meski wajahnya selalu kaku seperti patung, tetapi benar, setidaknya ia nyata.