Akhirnya aku mengerti, warna merah yang disebut Adel kemarin ternyata adalah pria itu. Walau hanya melihatnya sekilas di mimpi, aku merasakan hawa yang sangat dominan berasal dari pria itu. Tapi yang ada dibenakku adalah, apa makhluk yang berwujud ular merah tersebut memiliki hubungan dengan pria yang berjubah merah?. Aku menjadi penasaran akan hal tersebut. Soalnya aku sudah tiga kali berturut-turut mengalami mimpi yang berawal dari tempat sama. Dan anehnya apa yang dikatakan Adellia yang mungkin saja seorang indigo, sepertinya berkaitan dengan mimpiku.
Saking penasaran, aku ingin mencoba untuk tidur kembali dengan harapan bisa bermimpi dan bertemu makhluk itu lagi. Aku memejamkan kedua mataku dan mencoba memposisikan tubuhku senyaman mungkin. Hingga beberapa lama kemudian, kesadaranku pun lenyap.
Suara alarm handphoneku yang berbunyi berhasil menyadarkanku bahwa pagi telah tiba. Saatnya aku bangun dan bersiap-siap untuk mengikuti ospek terakhir di kampus. Aku masih mengingat tentang mimpi kemarin dan merasa kesal kenapa mimpi itu tidak muncul saat aku sedang mengharapkannya.
Pada hari terakhir ospek, aku berangkat ke kampus bersama Steven dan Adel. Untungnya tubuhku sudah mulai pulih, jadi aku tidak perlu dipapah lagi saat sedang berjalan. Saat memasuki kampus, aku menyadari banyaknya pandangan mata yang mengarah kepada kami. Sebagian besar dari orang yang memandangi kami adalah para panitia ospek. Rata-rata dari mereka menatap kami dengan sinis, sementara yang lainnya menatap kami dengan raut wajah yang penasaran.
"Kayaknya kita udah terkenal nih di kampus, jadi serasa artis yak hahaha." ucap Steven dengan ceria.
Adel tersenyum mendengar ucapannya, sedangkan aku hanya bisa menepuk jidat sambil menggelengkan kepalaku. Sebab, sebenarnya aku tidak ingin mengundang banyak perhatian dari orang lain, apalagi itu para senior.
Sembari berjalan menuju lokasi kegiatan ospek, aku melihat seorang wanita berjalan menuju arah kami. Saat jaraknya sudah dekat, aku baru sadar ternyata dia adalah panitia ospek yang membela kami saat Arif mengganggu.
Setelah berhadapan dengan kami, dia langsung memerintah kami dengan berkata
"Kalian bertiga, ikutin aku sekarang juga." ucapnya dengan tegas.
"Baru kemarin diingetin, kalian udah bikin masalah baru. Kalian ga bosen bikin keributan ya?" tambahnya dengan nada kesal.
Kami bertiga hanya bisa diam dan mengikutinya dari belakang. Beberapa saat kemudian, ternyata kami dibawa ke ruangan panitia ospek dan ditanyai mengenai kejadian sebenarnya sewaktu kemarin. Setelah menjelaskan dan membela diri dengan panjang lebar, akhirnya panitia ospek itu mengerti akan kejadian dan situasi sebenarnya. Sehingga dia memutuskan dan memperbolehkan kami untuk tetap mengikuti kegiatan ospek.
Saat kami beranjak keluar ruangan, tiba-tiba panitia itu berkata
"Kenalin namaku Riska, kalo Arif masih coba cari masalah ke kalian, langsung kabarin aku aja ya."
"Iya kak, makasih udah mau ngertiin situasi kita." balasku
"Sama-sama, balik ke kelompok kalian gih, ospeknya udah mau mulai soalnya." ucapnya dengan ramah
Tanpa banyak basa-basi, kami pamit dan langsung bergegas pergi menuju lokasi kelompok ospek kami masing-masing. Sesampainya bergabung dengan kelompok kami masing-masing, aku merasa aku dan Adel masih menjadi pusat perhatian. Baik itu dari para mahasiswa baru ataupun panitia ospek. Perhatian dan pandangan mereka membuatku merasa sangat tidak nyaman. Beberapa dari mereka yang kepo mencoba untuk bertanya kepadaku dan Adel, tapi aku hanya menjawabnya dengan singkat karena malas untuk menjelaskan dan menanggapinya.
Setelah proses kegiatan yang cukup lama beserta pidato penutup dari ketua pelaksana ospek selesai, akhirnya kami diperbolehkan pulang. Ini menjadi sebagai penanda bahwa masa-masa kegiatan ospek telah berakhir. Selama kegiatan ospek ini berjalan, aku hanya mengingat nama dari tiga mahasiswa baru saja. Ketiga orang yang kumaksud itu adalah anggota kelompok ospekku sendiri. Aku jadi merasa miris akan sifat anti sosialku yang tak kunjung berkembang. Tapi apaboleh buat, sifat dan kebiasaan seseorang memang tidak gampang untuk diubah.
Hari demi hari berlalu, setelah masa-masa ospek telah selesai, aku mulai menjalani kehidupan kampus sebenarnya. Yang pastinya terasa sangat berbeda dibandingkan kehidupanku saat di bangku SMA dulu. Aku merasa seperti memasuki dunia yang baru, dimana aku harus beradaptasi dengan gaya hidup kampus yang lebih bebas. Mulai dari pakaian, gaya belajar dikelas, dan pergaulan yang serba bebas. Karena bertemu dengan banyak orang dengan berbagai jenis sifat dan latar belakang yang berbeda, aku bisa membuka diriku walau sedikit demi sedikit.
Sementara itu, hubunganku dengan Adel menjadi lebih dekat seiring waktu berjalan. Kebetulan aku dan dia berada dikelas yang sama, jadi kami lebih sering berangkat dan masuk kelas bersamaan. Sedangkan Steven berada di kelas yang berbeda dari kami. Sebab di semester pertama, kelas maba ditentukan langsung dari fakultas, jadi kami belum bisa memilih kelas sesuai dengan yang kami inginkan.
Adel tidak lagi membicarakan hal-hal yang berbau mistis, sejak dia mengetahui bahwa aku tidak bisa melihat makhluk astral. Begitu juga denganku yang tidak terlalu tertarik dengan hal yang berbau mistis. Berhubung masih mahasiswa baru, aku disibukkan oleh tugas dan jadwal perkuliahan yang sangat padat. Jadi tidak ada waktu bagiku untuk memikirkan hal-hal lain selain tentang perkuliahan.
Sampai suatu ketika, saat aku sedang fokus mengikuti mata kuliah di pagi hari. Tak sengaja dan dalam waktu sekilas, aku melihat sinar berwarna biru yang menyelimuti keseluruhan tubuh dosenku. Begitu juga dengan beberapa orang yang berada didepanku, tubuh mereka juga diselimuti oleh sinar dengan warna yang berbeda-beda.
Aku sangat terkejut karena sinar itu muncul secara tiba-tiba. Disaat aku mencoba memandang mereka lagi, entah kenapa sinarnya menghilang. Aku mulai panik dan bertanya-tanya, sebenarnya apa yang kulihat barusan. Aku tak lagi memerhatikan dosen yang sedang menerangkan didepan kelas. Yang ada dipikiranku adalah, aku ingin mencoba bertanya ke Adel, siapa tau dia mengerti akan apa yang kualami barusan.
Saking merasa penasaran, kelas yang harusnya berakhir dalam waktu dua puluh menit, terasa seperti akan berakhir dua jam lagi bagiku. Detik demi detik berlalu, hingga tiba saatnya kelas berakhir, aku langsung mengajak Adel ke tempat yang lebih sepi untuk menanyakan tentang apa yang kulihat dikelas tadi.
Sesampainya di sudut taman kampus, kami berdua duduk di bangku yang berseberangan. Lalu aku perlahan-lahan menjelaskan tentang apa yang kulihat dikelas tadi.
"Yang kamu lihat itu namanya aura Ram. Sebenarnya itu bisa dibilang pancaran energi dari dalam objek itu sendiri. Objek yang aku maksud itu bisa jadi manusia,hewan,atau bahkan benda mati. Kalau masalah warna, itu sih tergantung sama sifat dari objeknya." jelas Adel
"Hmmm, kalau aura manusia sih aku pernah denger Del. Mungkin hewan juga masih masuk akal karena termasuk objek yang hidup, tapi kalau benda mati itu gimana ceritanya kok bisa sampai punya aura?" tanyaku dengan bingung
"Biasanya sih kasusnya benda mati itu ada yang huni atau diisiin makhluk astral Ram. Atau bisa jadi benda-benda tua yang memiliki banyak kenangan dan memori otomatis energi didalemnya itu lebih kuat. Intinya sih sebenarnya selama benda itu punya energi, udah pasti objek itu punya aura."
"Terus fungsi dari aura itu untuk apa sih Del?" tanyaku penasaran
"Fungsinya sih untuk semacam identifikasi Ram, kalau aku sih biasanya gunainnya buat membaca kondisi si objek. Dari aura objek yang nampak, aku bisa tau keadaan mood dan sifatnya. Tapi kalau melihat aja hasilnya ga bakal terlalu akurat. Karena misalnya ada aura yang sama-sama warna merah, tapi sifatnya itu beda. Contohnya ada merah yang artinya berani atau ketegasan, ada yang bisa jadi artinya haus darah. Makanya aku gabisa tau cuma dari ngeliat aja, tapi butuh ngerasain juga." jelas Adel
"Ohhh, tapi kok durasi penglihatanku tadi cuma sebentar ya Del?" tanyaku dengan bingung.
"Itu karena kamu panik Ram, fokus kamu buyar karena terlalu banyak mikir." jawabnya
Adel tiba-tiba berdiri dan memposisikan dirinya didepanku.
"Coba rileks dan fokusin pandangannya ke aku Ram" ucapnya pelan
Duh, gimana mau fokus coba, kalau posisinya saling tatap-tatapan kayak gini, ucapku dalam hati. Perlahan aku mencoba untuk rileks dan menatap figurnya. Tapi perasaan dan pikiranku tak bisa sinkron. Di satu sisi pikiranku ingin mencoba untuk fokus, tetapi di sisi lain perasaanku sangat gugup saat menatap wajahnya yang sempurna itu.
"Kok muka kamu jadi merah gitu Ram? hahaha." tawa Adel terbahak-bahak
Rasanya aku ingin mengubur wajahku dalam-dalam saking malunya. Spontan, aku memalingkan wajahku agar tak terlihat olehnya. Tapi tak berhenti disitu saja, Adel tiba-tiba bergerak mendekatiku lalu memegang kedua bahuku sambil berkata "Santai aja kali Ram, jangan malu-malu kucing gitu dong." ucapnya sambil tertawa.
"Udah ah, jangan ngejek-ngejek lagi dong Del." balasku kesal bercampur malu
"Lucu tau ngeliat ekspresi kamu kalo lagi malu." ucapnya
Lalu perlahan Adel mendekat dan duduk tepat disampingku, lengkap dengan senyum jahil yang terpapar di wajahnya. Aku refleks bergeser menjauh darinya, tetapi Adel tetap saja mencoba mendekatiku lagi. Hingga saat aku berada pada ujung kursi dan tak bisa menjauh lagi, samar-samar aku melihat seseorang yang sedang mengintip di balik pohon. Semakin lama kupandang, semakin aku menyadari bahwa pandangan matanya mirip seseorang yang kukenal.
Ternyata dia juga menyadari bahwa aku sedang memandanginya. Dia meresponku dengan mengacungkan jempolnya, dan disaat itulah aku menyadari siapa orang yang sedang mengintip itu. Ternyata dia adalah Steven.
Secara spontan, aku langsung memelototinya dan menunjuk jari telunjukku ke arahnya.
"Lanjut aja Ram, sorry kalo ngeganggu." teriak Steven sambil melarikan diri.
Bersambung...