"Seandainya kamu tidak diperintah Shem untuk membunuh Putri Serafin, aku mungkin sudah kau bunuh juga, kan?" jawab Adaline, sedangkan Abraham terdiam tak mampu menjawab.
"Saya adalah apa kata Tuanku, Putri. Saya juga mengerti perasaan Tuan Putri, apalagi saya dari kecil sidah kehilangan orang tua dan keluarga, tapi hidup tetap berjalan. Kita harus memikirkan masa depan, bukan masa lalu," nasehatnya kepada Masyayel.
"Kamu sama seperti Shem, dia juga mengatakan demikian." Gadis itu menyeka air matanya.
"Kami dididik dalam waktu yang bersamaan, tumbuh dan besar dalam lingkungan juga guru kami sama, saya dan Pangeran Shem memang banyaj kesamaan, karena itu kami selalu beriringan, tidak pernah ada perdebatan," jelas Abraham.
"Memang kalian memiliki banyak kesamaan dalam hal sikap dan tujuan hidup. Abraham, apa kamu tidak takut? Karena kesamaan kalian itu? Apakah kalian tidak takut jika tiba-tiba mencintai gadis yang sama?" celetuk Masyayel sambil tersenyum kecil.
"Hahaha, tidak mungkin Tuan Putri, Pangeran sudah mencintai anda sejak belia, sudah enam tahun anda mengisi hati Pangeran. Sedangkan saya masih sendiri sampai kini." Abraham tertawa. Baru kali ini ia melihat panglima yang misterius itu bisa tertawa.
"Katakan Abraham, gadis seperti apa yang bisa menembus hatimu?" goda Masyayel
"Saya tidak tahu, belum pernah bertemu gadis yang membuat hati saya merasakan sesuatu," jawab Abraham singkat.
Masyayel tersenyum mendengar jawaban dari Abraham karena untuk lelaki seusianya biasanya sudah memiliki tanda pubertas ketika masih usia belasan tahun dan ada rasa ketertarikan terhadap seorang perempuan? Apa harus menunggu merasa sesuatu baru bisa dinamakan jatuh cinta? Gadis itu mencoba mengingat-ingat kapan ia merasakan sesuatu terhadap Shem? Bahkan Masyayel pun lupa sejak kapan hatinya merasakan sesuatu ketika dirinya dekat dengan Shem? Yang ia tahu ia pertama bertemu adalah sangat usil dan benci dengan tamu baru, lalu tiba-tiba mereka saling mengenal, lalu entah kapan tidak disangka Shem tiba-tiba menciumnya pertama kali dibawah rerimbunan pohon. Itupun Masyayel yang kala itu sebagai Putri Adaline bahkan tidak merasakan sesuatu. Justru ia takut dengan perasaan dan hatinya sehingga ia buru-buru menceritakan kepada Ibunya. Sang Ratu Librivia.
"Apakah menunggu merasakan sesuatu untuk mengetahui kita suka pada seseorang atau tidak Abraham? Aku sudah mencoba mengingat tapi juga tak ingat sama sekali. Kapan hatiku merasakan sesuatu sehingga aku bisa bersamanya dan memilihnya. Tiba-tiba saja kami saling mengenal lalu kami dekat dan tiba-tiba juga dia mencium aku pertama kalinya yang aku sama sekali tak merasakan apa-apa kala itu, tapi aku juga tanpa sadar sekarang sudah terjebak dalam hubungan dengannya dan aku sudah jatuh cinta kepadanya," ucap Masyayel sambil berjalan mengitari lahan luas beralaskan rerumputan yang sedang tertiup angin.
"Ya, Pangeran banyak bercerita tentang anda, Putri. Sejak pertama bertemu, bagaimana saat kalian bertengkar dan saling usil lalu ketika bertambah usia Pangeran mulai terpesona dengan anda yang mulai menawan, sepertinya memang Pangeran yang menyukai Putri duluan, dan mungkin juga sesuatu itu ada dan hanya dirasakan oleh seseorang yang dirinya jatuh cinta terlebih dahulu kepada seseorang, itulah sebabnya anda tidak merasakan sesuatu terhadap Pangeran pada awalnya, namun sekarang anda telah menyambut cintanya, itulah yang belum pernah saya rasakan Tuan Putri" jawab Abraham.
"Oh ya? Aku baru tahu kalau kamu juga menjadi teman curhatnya. Wkwkwk, lucu juga ya Shem? Hehehe," jawab Masyayel sambil tertawa menutup mulutnya.
"Iya Tuan Putri, dulu sejak kecil kami berbagi bersama, saling bertukar cerita, ketika masa belia juga masih, tapi seiring bertambah dewasa usianya, Pangeran sudah tidak pernah lagi menceritakan tentang cerita hidupnya lagi, apalagi urusan pribadinya." Abraham berkata selanjutnya.
"Mungkin memang karena kedewasaannya sehingga ia berfikir ada kalanya sesuatu harus ia simpan sendiri dan ada hal yang ia sampaikan kepadamu," ucap gadis itu.
"Sejak itu memang tidak ada cerita lagi yang kami tukarkan, hanya urusan perang dan perintah saja yang Pangeran sampaikan kepadaku. Begitu juga sebaliknya." Abraham mengelap pedang kami lalu menyarungkannya.
"Mari kembali Tuan Putri, aku yakin Pangeran tak akan suka seandainya melihat kita mengobrol selain tentang latihan pedang. Apalagi tentang cerita masa belia Pangeran. Pasti beliau akan marah." Abraham mengajak gadis itu kembali ke istana karena latihan telah usai. Abraham juga memberitahu Masyayel bahwa Pangeran tak akan senang melihat gadisnya bercakap-cakap tentang bukan hal penting dengan siapapun. Meskipun dirinya adalah orang kepercayaan Pangeran.
Keduanya kembali ke istana dan Masyayel telah berada jauh dan terpisah jarak dengan Pangeran Shem selama tiga hari. Pangeran tidak mengatakan apa-apa mengenai kepergiannya. Berapa lama dan kapan kembalinya tak ada yang tahu. Masyayel kembali ke ruangannya. Dia tinggal satu kamar dengan paman Elliot yang memang sudah ia anggap sebagai pamannya.
"Bagaimana latihanmu Masyayel?" tanya Paman Elliot.
"Menyenangkan, Paman. Aku semakin paham bagaimana menggunakan pedang, Abraham sangat sabar mengajariku." Ungkap gadis itu snagat senang. Dia segera duduk di dekat Pamannya, sedangkan sang paman masih mengupas bahan herbal untuk minuman kerajaan besoknya.
"Paman, aku mau tanya. Apakah Paman menyaksikan orang tua dan adikku dihukum penggal? Bagaimana situasi saat itu? Aku sangat ingin tahu Paman, karena Pangeran dan Abraham tidak ada di istana saat pelaksanaan hukuman itu." Masyayel langsung memutar badannya seakan ia serius hendak mendengarkan kisah yang mungkin semasa hidupnya takkan pernah bisa dia lupakan.
"Apa kamu yakin ingin mendengarnya? Itu sangat memilukan, apalagi mereka orang-orang yang sangat kamu cintai," ucap Paman Elliot.
"Aku sudah siap mendengarkan cerita itu Paman, aku ingin tahu seperti apa akhir hidup keluargaku. Aku sudah memyiapkan mentalku, buktinya aku bisa menjalin hubungan cinta dengan Pangeran Shem, karena aku sudah menerima takdirku ini. Memang Ayahku melakukan kesalahan meskipun tak termaafkan, meskipun sangat kecewa dan sangat sedih dengan kisah yang sangat tragis itu. Bahkan pasti seumur hidupnya takkan bisa dilupakan. Seorang Raja membunuh semua keluarganya tetapi harus melawan rasa sakitnya itu karena setiap saat hatinya mencintai sang putra mahkota dari seorang Pembunuh keluarganya.
"Semua orang penting hadir untuk menyaksikan kejadian yang tidak biasa itu, Keluargamu sudah pasrah dengan sanksi yang akan mereka terima, wajah-wajah mereka semuanya telah ditutup oleh karung kecil agar mereka tidak menyaksikan kematian mereka sendiri,"
Paman Elliot menjelaskan lagi, bahwa Pangeran sudah memperjuangkan hukuman mereka semua agar diringankan, bahkan Ratu juga sudah menghadap Raja, tapi keputusan Raja sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat lagi, maka tetap terjadilah sebuah panggung pertunjukan pesakitan itu. Rakyat dari segala arah turut menyaksikan seolah sebuah pertunjukan istimewa yang belum pernah ada selama ini. Tanpa rasa iba atau rasa sedih, mereka menunggu saat itu tiba.