Télécharger l’application
55.81% Pasangan Beda Usia / Chapter 24: Bab 22

Chapitre 24: Bab 22

[2 tahun kemudian]

Hap!

Dengan tepat Belle menangkap bola yang William lempar ke arahnya, kini mereka tengah bermain di taman. Dua tahun sudah berlalu. Keduanya masih hidup mandiri tanpa peranan lelaki hebat dalam rumah tangga. Di sini meski Belle bergantung kepada Liam, dokter itu tak meminta timbal balik. Sosoknya sangat dermawan.

Terkadang hati kecil Belle mengaku malu. Ingin pergi jauh dari kehidupan Liam, tetapi William membutuhkan kasih sayang ayah. Mengingat mereka sudah cukup dekat bahkan lebih. Itu membuat Belle berat meninggalkan. Walau tidak terikat dengan dirinya, Liam menyayangi William sungguh tulus seperti anak kandung.

Bukan sebuah keberuntungan, tetapi keajaiban dari Tuhan yang menatap seluruh kejadian menyakitkan dulu. Tuhan mengirim Liam sebagai antar perantara untuk kedamaian William. Belle harap akan tetap seperti ini. Dia bahagia sekalipun terluka oleh masa. 2 tahun bukan waktu yang sebentar. Rasa sakit itu terus menganga lebar. Tiada henti.

"Aduh!" Belle mengaduh kencang saat bola menghantam wajahnya, dokter Liam yang melihat itu menghampiri.

"Kau tak apa?" tanya Liam perhatian, seraya membantu Belle membuang noda di pipinya, lalu meniup pelan.

"Terima kasih." Sesaat menepis Liam, Belle berlari mendekati William yang menangis hebat.

Rupanya anak itu sadar telah berbuat satu kesalahan. Seperti anak kecil pada umumnya, senjata paling ampuh agar dimaafkan menangis. Padahal sekalipun tidak meminta maaf, Belle tak akan memarahi William. Cekrek! Di depan mereka Liam telah berhasil mengambil potret Belle dan William.

"Dokter, berikan kameranya?!" jerit Belle sambil mengejar Liam, entah bagaimana dia tahu jika itu aib.

Tidak ingin ketinggalan, William ikut mengejar di belakang, tawanya pecah melihat kedua manusia dewasa lari-larian layakan anak kecil. Ketakutan William berubah menjadi keceriaan. "Mommy, tunggu William."

Menoleh ke belakang, mau tak mau Belle melupakan Liam, lantas berlari pada William. Mengangkat tubuhnya, dan mereka tertawa lepas bersama. Sejak kehadiran si kecil hidup Belle jauh lebih baik dari sebelumnya. Hati berkata sakit, namun bibir masih bisa tersenyum lebar. Ajaib bukan?

"Bell, apa kau tidak bosan hidup bersembunyi?" tanya Liam tiba-tiba, setelah sekian lama tak mengungkit.

Kini mereka tengah mengobrol ringan di halaman belakang selama William tidur siang. Rumah antik yang Liam belikan untuknya jauh dari kota.

"Kurasa tidak."

"Apa kau tak takut jika Marlon tahu?" Lagi Liam menekan Belle, terkesan menggencet dirinya.

"Berhentilah membahas ini, paman tidak akan pernah tahu kecuali kau yang memberitahu keberadaanku."

Membuang muka Belle mati-matian menahan diri agar tidak menangis. Perjuangannya untuk bersikap wajar sejauh ini patut diberikan apresiasi. Yakni Belle harus menunjukkan pada Marlon suatu saat nanti bila mereka bisa berbahagia tanpa hartanya. Jika itu yang dia pikirkan dulu. Hanya saja Belle tidak tahu entah kapan? Ketika melihat William pasti beliau meminta hak, sebagai seorang ibu dia tak rela.

"Kau masih mencintainya Bell, kau tak bisa berbohong." Sekali lagi Liam berargumentasi, membuat Belle kian panas hingga meledak.

"Baiklah! Jika kau keberatan dengan ini semua aku akan pergi. Aku juga tahu diri, tidak bisa terus menerus bergantung padamu. Terima kasih atas seluruh bantuanmu, Dokter. Untuk sekarang aku tak punya apa-apa, jadi belum bisa membayarnya karena kuanggap hutang." Dengan nada emosi Belle berkata, lalu bangkit mengambil William di kamar.

"Bell ..."

"Selamat tinggal." Final! Belle telanjur sakit hati dengan perkataan Liam.

Secara tidak langsung Liam memaksa Belle agar bersedia menerimanya, dia pikir segampang itu?

***

Di dekat jendela Marlon menghirup udara kotor sambil mengisap rokok secara bertahap, mengharapkan ajal segera menjemputnya tanpa toleran. Dulu Marlon tak pernah sekacau ini, sejak kepergian Belle semua berubah. Emosinya tak bisa dikontrol bahkan sering memukul orang yang berbuat sedikit kesalahan. Suka bermain judi. Mabuk-mabukkan. Taruhan. Segala jenis permainan yang mengancam kebangkrutan hingga jatuh miskin.

Marlon tidak peduli lagi dengan harta. Berliannya hanya Belle.

Tapi sekarang gadis itu telah pergi.

"Marlon, aku butuh uang. Ada iklan menarik yang menjanjikan." Wajah Candice mendadak muncul, tatapan matanya memelas. Menggelanyut manja.

"Uang kemarin sudah habis?"

"Sudah, kau tentu tahu perawatanku mahal bahkan masih kurang."

Tanpa berpikir Marlon memberikan cek kosong pada Candice, lalu bangkit. "Tulis berapa pun yang kau ingin."

Seakan-akan menang undian Candice melompat kegirangan, memeluk lelaki di depannya dengan kebanggaan. Tak ingin dipeluk, Marlon menyingkirkan Candice secara paksa. Demi Tuhan! Di antara banyak gadis yang pernah ada di sisi ranjang Marlon, tidak seburuk dirinya.

Mengambil kunci mobil di atas meja, seketika pikiran Marlon tertuju pada keluarga sederhana Belle. Tidak ada salahnya dia datang berkunjung. Tiga bulan terakhir Marlon sempat datang bersama Rose, namun keponakannya itu sekarang berbeda. Membeli buah tangan tidak lupa dia juga membawa buku bacaan untuk adik iparnya, dan memberikan beberapa potong kain.

Damon dan Ernest menyambut sangat baik, seperti biasa. Mereka mengobrol membicarakan banyak hal. Termasuk merundingkan cara mencari Belle. Di mana rasanya sudah lelah. Keinginan bertemu masih kuat mengasa rindu. Marlon menyesap teh hangat jamuan Ernest, meredakan tenggorokan dari pahitnya kenyataan meski tak ampuh. Apakah dia telah berbahagia sehingga enggan berpulang? Oh, tidak pernah.

Kebahagiaan gadis itu hanya ada pada dirinya seorang, bukan yang lain.

"Paman, apa kakak tertua kami telah kau temukan?" tanya salah satu adik Belle, tatapannya penuh harap. Bukan memberi jawaban Marlon malah lari dari pertanyaan dengan mengalihkan.

"Lihat! Paman membawakan oleh-oleh untuk kalian. Semoga suka ya." Mengangkat tinggi bingkisan, sontak keempat adik Belle berseru senang.

Saat berhasil melupakan mereka dari Belle, itu menjadi suatu kebanggaan bagi Marlon. Apalagi sampai memberikan kebahagiaan, rasa puasnya berlipat. "Suka?"

"Suka, Paman, ini bagus sekali."

Di balik pintu gubuk tanpa diketahui Marlon ada sepasang bola mata yang mengintip.

Orang itu adalah Belle. Dalam diam mengamati keluarganya begitu dekat dengan paman Marlon. Kenapa baru sekarang? Batin Belle meringis ngilu. Menyayangkan jika dirinya tidak bisa ikut bergabung.

Enggan merusak kebersamaan yang telah tercipta, Belle balik badan. Kini semua kebutuhan keluarganya tercukupi berkat paman Marlon. Ini bukan waktu yang tepat untuk pulang. Belle tidak ingin kepulangan dirinya menjadi pengacau. Si ular Candice membolehkan paman Marlon datang juga karena tidak ada Belle di gubuk.

Biarlah paman untuk Candice, tetapi tidak dengan William. Sosoknya bisa saja digantikan namun kebahagiaan? Belle mendekap erat anaknya ke dada, mengecup ringan, tanpa sadar air matanya menetes mengenai bibir. Tatkala mengakibatkan si buah hati William merengek hingga membuat orang yang berada di gubuk ke luar.

Spontan Belle kalang kabut. Belum sempat melarikan diri Ernest dapat mengenalinya, dan berseru haru. "Belle, anakku!"

"Belle?" Marlon angkat suara, tidak membiarkan orang itu pergi. Dia berlari ke depannya dengan kilat.

Tatapan mereka bertemu.

Untuk seperkian detik dunia seakan berhenti berputar, Belle membuang muka sesaat paman Marlon merosot, berlutut di bawahnya. Tangis William meledak. Dikagetkan oleh situasi yang mendramatisir.

"Maafkan aku." Tanpa bisa dicegah sejumput air mata keluar, Marlon memeluk kedua kaki Belle sebagai bentuk permohonan.

Tolong jangan pergi, rintihnya dalam.


Chapitre 25: Bab 23

"Beri aku kesempatan, Bell."

Masih kekeuh Belle tetap menggeleng. Sekarang hanya tinggal mereka berdua, Ernest sudah membawa William ke dalam gubuk. Di dada ini rasanya masih penuh, bukan Belle tidak sudi memaafkan, wajah ketus Gloe seakan terus menghantui. Bukankah jika suatu hubungan tak direstui akan sia-sia, untuk apa dipertahankan?

"Baiklah, apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku?" tanyanya sambil menyeka sebutir air mata yang keluar, menatap Belle dengan sabar.

"Aku ingin kau mengurus perceraian kita, aku tidak ingin kembali."

Serius? Oh, ya Tuhan! Kepala Marlon rasanya hendak pecah. Pernyataan itu sangat di luar dugaan. Dia pikir Belle akan meminta sesuatu yang bersifat menghibur. Seperti dulu. Tidak pisah.

"Berpisah denganmu adalah pilihan terakhir yang tidak aku harapkan ketika maut mendekatiku. Jadi jika kita cerai itu sama saja bunuh diri." Kendati alasannya mengapa bertahan hingga detik ini karena Belle. Dia selalu berharap di waktu dekat mereka dipertemukan.

"Tidakkah kau kasihan padaku? Aku ini masih suamimu. Suami yang telah kau sakiti karena kebodohan dirinya di masa lalu. Sekarang aku menyesal. Lihat aku Bell? Tubuhku tak terawat. Setiap hari aku memikirkanmu, aku mencemaskanmu, dan anak kita." Di mata Belle penampilan Marlon mulai terlihat beda setelah dirinya berkata demikian, tampak menyedihkan.

Bola mata Marlon terlihat redup, tak seperti biasa seakan memendam luka serius. Hidungnya memerah, pipinya tirus, dan jenggot yang tidak dicukur. Namun, semua itu tidak berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan rasa sakit di hati, ditinggal istri terkasih selama bertahun-tahun. Sungguh.

Bagaimanapun Marlon tidak akan pernah melepaskan Belle. Titik.

"Kau boleh mengataiku, menghinaku sepuasnya seperti dulu dengan kata si Tarzan tua, berbulu lebat, apapun itu. Tapi tolong ... jangan tinggalkan aku."

Lagi, Belle menggeleng, ketika hatinya berkata iya. Akalnya menolak keras.

Awalnya Belle pikir menikah dengan paman Marlon adalah pilihan terbaik. Selain menyelamatkan keluarga besar Chambell dari kekurangan, dia bakal hidup bahagia penuh kasih sayang. Di waktu itu Belle memang menyangkal, namun seiring waktu berjalan setelah cinta tumbuh masalah pun menguji. Ketika Candice datang dan Gloe lebih berpihak padanya Marlon berubah.

Belle sudah cukup sabar posisi yang pertama Candice ambil secara paksa, tetapi kesabaran itu habis saat Marlon menuduhnya selingkuh dengan Liam. Mundur beberapa langkah keputusan Belle telah mantap untuk mengalah. Membiarkan paman Marlon bersama Candice demi kebahagiaan ibunya Gloe.

"Belle, tolong katakan sesuatu?" desak Marlon setengah menangis, Belle tak menggubris. Malah berbalik dan lari.

Di balik pintu tubuh Belle merosot ke lantai, isak tangisnya pun pecah saat William datang sambil menyerahkan sapu tangan. Membelai penuh kasih. Belle tak tahu lagi harus bagaimana? Selain menangis sejadi-jadinya tanpa diketahui paman Marlon. Terus terang dia terpukul melihat keadaan lelaki itu sekarang, jauh dari kondisi baik.

Tapi di lain sisi Belle juga belum bisa menerima paman Marlon. Tidak akan pernah bisa seperti dulu lagi karena semua telah berbeda dan berubah. "Terima kasih Sayang."

***

Marlon meremas rambutnya yang semakin lama kian memanjang, merutuk dan menangis dalam hati. Sudah tiga botol minuman dia telan. Orang-orang terlihat bodoh bahkan melakukan permainan konyol. Mata lelaki itu melemah. Tidak ingin mati mengenaskan di sini Marlon angkat tangan meminta bill sebelum pulang.

Membayar lalu pergi, begitu rencana Marlon, tetapi pandangannya goyang. Tidak fokus sehingga melihat pelayan ada tiga, bahkan menjadi Belle. Huh! Menepis tangan nakal pelayan tadi, Marlon beranjak dengan kepala seberat 1 ton. Dia tak akan bisa hidup jika tanpa cinta Belle dan William. Di hatinya hanya ada satu nama, Belle. Apakah dia tidak mengerti?

Demi Tuhan, Marlon menyesal. Belle cinta pertama dan terakhir. Dia sangat membutuhkan gadis itu di hidupnya, tapi kenapa sulit mendapatkan maaf. Sementara semua perubahan sudah terlihat jelas bahwa dirinya terluka. Menumpukan tangan pada stir, dahi Marlon mengernyit saat mendengar tawa Belle.

Tok! Tok!

Langkah Belle terhenti. Dia baru saja menidurkan William dengan sebuah lagu yang berjudul twinkle-twinkle. Di saat hendak membuat susu ketokan pintu mengalihkan Belle, dengan cepat dia putar arah untuk menyambut.

"Oh, astaga! Paman ..." Spontan Belle menekap mulut saat melihat Marlon mabuk parah, matanya mengerikan ditambah bau alkohol menyengat.

"Bell, ikutlah denganku, aku tak bisa hidup tanpamu." Marlon menangis, tidak peduli lagi dengan harga diri, yang jelas ini sangat menyakitkan. "Kita akan bahagia. Aku berjanji tidak menyakiti dirimu lagi."

Sesaat Marlon ambruk di depan Belle, bola mata gadis itu membeliak. Semua orang sudah tidur termasuk William. Kebetulan Damon dan Ernest sedang di luar, bekerja sama di sebuah pesta menjaga parkir yang menjanjikan. Di sini Belle sendirian, tidak, melainkan dengan anak juga ke empat adiknya. Tapi mereka tidak bisa dimintai tolong.

"Paman, yaampun, bangunlah!" jerit Belle sembari mengguncang pundak Marlon yang keras dan tak bergerak. "Aku tak bisa mengangkatmu, lekas bangun, di sini bukan tempat tidur."

Setengah bertopang, Marlon menatap Belle dengan kelopak mata tertutup. "Nggh, kau mau tidur denganku?"

"Tidak, ayo bangun, nanti disemutin."

"Kalau begitu, aku tidur di sini saja."

"Paman!"

Lagi, Belle menekap mulut manakala Marlon menjatuhkan kepalanya, dan sengaja tidur di bawah kaki gadis itu. Saat Marlon mulai meracau tak jelas. Belle pun melebarkan kuping beliau, kemudian berbisik rendah beberapa kali hingga berhasil. Menyebalkan. Paman Marlon bangkit, menyeretnya ke dalam seperti tidak ada kejadian.

"Kepalaku sakit, tolong pijitin." Mata Marlon mengerling, menyuruh Belle duduk di tepi ranjang. Bukan mematung.

"Sekarang?"

"Tahun depan."

Hmm, baiklah, tahun depan.

Belle balik arah menuju William, membelai rambut lebatnya sebentar, sebelum keluar meninggalkan paman Marlon yang rebahan telungkup. Itu sebenarnya bagian Belle, tetapi tidak masalah dia akan istirahat di depan. Di lantai beralaskan tikar sederhana.

Tak berselang lama Marlon beranjak, memutar bola mata mencari si kecil Belle, sialnya dia begitu cepat menghilang dan tidak ada di mana-mana. Dengan demikian Marlon mengambil bantal, lantas menutup wajahnya dan tertidur lelap bersama William. Tanpa sadar Belle mengintip keduanya dari bilik kayu yang tersekat, tersenyum, lalu pergi dengan hati sedikit tenang.

"Selamat pagi Sayang," sapa Belle di kuping William, rutinitas setiap pagi yang wajib dia lakukan.

"Pagi Sayang." Marlon menyahut, dia bangkit untuk menjangkau Belle. Mengecup bibir gadis itu singkat.

Sontak Belle membatu, sebelum lari ke cermin mengusap bibirnya kasar.

"Karena kau sudah membuka pintu untukku, bahkan mempersilakanku masuk, kuartikan kita resmi baikan."

Belle tidak merespon apa pun, terlalu malas menyuarakan pikirannya, yang ada malah membuat si gemas William menangis karena perdebatan mereka. Melipat tangan di dada, Belle menatap paman Marlon yang sedang membelai William. Bukan apa-apa sih. Dia hanya takut jika baby boy William diambil.

"Kenapa aku baru menyadari, bahwa William lebih banyak mengambil gen dariku daripada kau ibunya." Hah?

Meski jengkel Belle tak berkomentar, dia tetap pada posisi sambil menatap. Tidak berpaling sedikit pun atau dia akan kehilangan William.

"Ayah ..." Tiba-tiba William tersentak, memanggil ayah sambil menangis.

"Iya Sayang ini ayah, cup, cup!"

"Tidak, Mommy di mana ayah William?"

Marlon dan Belle melotot bersamaan, bahkan keduanya saling memandang dengan pikiran masing-masing. Satu minta penjelasan, yang lain ingin memastikan reaksi beliau.


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C24
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank 200+ Classement de puissance
Stone 0 Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous

tip Commentaire de paragraphe

La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.

De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.

OK