Télécharger l’application
32.14% The Among Us / Chapter 9: Buka mata batinmu, dan lihatlah sekeliling!

Chapitre 9: Buka mata batinmu, dan lihatlah sekeliling!

Gendra masih diam di tempat, seperti ada paku di kakinya yang membuat dirinya tak bergerak dari tempatnya.

Impostor itu menghentikan aktivitasnya, membiarkan mayat Evan terbaring di lantai sampai ada yang menemukannya.

Dia menyeringai lebar, menghampiri Gendra seraya menyembunyikan pisaunya di punggung, di balik pakaiannya.

"Jangan bicara macam-macam, pingin hidup 'kan?"

Gendra diam saja ketika impostor itu menepuk-nepuk pundaknya sebelum pergi ke cafetaria, tempat diskusi dan voting.

Ternyata orang itu termasuk impostor, pantas saja perilakunya mencurigakan.

•••

"SIAPA YANG BUNUH REI?! SIAPA YANG TERAKHIR SAMA DIA?!"

"K-kak Nares, tenang dulu..."

Nares marah, tak terima sahabat sejak kecilnya mati terbunuh di sini. Siapa yang membunuhnya? Kenapa harus dia?

Nares lewat electrical karena ingin mencari Gendra yang hilang entah kemana. Tak disangka, dia malah menemukan mayat Evan bersimbah darah di lantai dengan kondisi mengenaskan.

Nadi di leher dan pergelangan tangan tersayat pisau, itu tandanya si pelaku sengaja agar Evan mati dengan cepat. Tak hanya itu, pipinya bolong, begitu juga perutnya.

Tama takut melihat kakak sepupunya yang jarang sekali marah, bahkan bisa di hitung dengan jari marah meledak-ledak seperti ini. Walaupun dia yakin kalau Nares masih menahan amarahnya saat ini.

Lalu, Gendra yang ada di electrical kemana? Dia sudah pergi lebih dulu ke ruang diskusi.

"Woi panda jelek, bangun gak lo!"

"Kak, udah..."

Ah, Nares teringat sesuatu. Matanya menatap tajam Tama, terlihat setajam silet yang bisa mengoyak kulit kapan saja.

"Bukannya lo... diajak Rei?"

Tama meneguk salivanya. Oh tidak, sekarang dia harus bagaimana?

"Rei mati... dan lo sama dia, kan?" Tanya Nares dengan nada suara yang berbeda, lebih berat dari biasanya.

"G-gue emang sama dia, ta-tapi..."

"Tapi apa?! Jangan bilang lo tinggalin dia kayak lo tinggalin gue sebelumnya?!"

Tama diam, tanda membenarkan pertanyaan sang kakak sepupu. Kepalanya menunduk, tak berani menatap manik Nares yang tak berhenti menatap tajam dirinya.

Nares terlihat menyeramkan.

"Kalau lo kayak gini terus, gue gak bisa jujur seperti apa yang lo minta, Pratama."

Hati Tama mendadak sakit. Kalau Nares menyebut nama depannya, itu tandanya Nares memang marah padanya.

"Emangnya apa sih yang lo rahasiain dari gue selama ini, Kak? Gue ini adik sepupu lo!" Serunya tak terima.

Tawa Nares pecah. Bukan, bukan tawa yang biasanya, tapi tawa penuh emosi.

"Lo cuma adik sepupu gue, bukan adik kandung gue. Dan ingat, kalau gue gak dateng saat itu, lo gak akan hidup sampai sejauh ini."

•••

"Kak Nares sama Tama, kemana?" Tanya Yetfa karena dua orang itu tak kunjung datang.

Acio menggeleng tanda tak tahu, mungkin saja mereka berdua sedang membahas sesuatu yang privasi.

"Kita vote Acio, kan? Tadi gue liat dia gak lakuin apa-apa," tanya Galaksi santai.

Ketika Acio hendak menyangkal, Aksa lebih dulu menyela. "Gak ada voting untuk saat ini."

"Loh, kenapa?!"

Aksa mengangkat selembar kertas lalu menunjuk angka lima. "Di sini tertulis, jika peserta tersisa sembilan orang, permainan akan di hentikan sementara. Dalam kata lain, kita di kasih waktu istirahat sampai pagi. Sekarang jam sembilan malam, kita di kasih waktu untuk tidur."

"Tidurnya di tempat tadi, ya..." gumam Asahi dengan senyum yang sulit di artikan.

"Gue gak yakin kita aman," kata Yetfa. "Impostor bisa bunuh kita disaat kita tidur, apalagi mereka bergerak secara halus dan gak ada yang tau. Sejauh ini, cuma Kak Nares yang bisa perhatiin gerak-gerik kita semua secara detail. Tapi gue yakin dia bakal tidur paling pulas diantara kita, terus gimana caranya dia perhatiin orang-orang?"

"Pake mata batin," celetuk Asahi yang entah kesambet apa mau bercanda di saat seperti ini.

Aksa terkekeh, Asahi orangnya unik ya...

"Kak Gendra, kenapa diem aja? Sariawan?" Tanya Galaksi bingung.

Gendra menggeleng, memilih memainkan flashdisknya daripada ikut beragumen seperti yang lain. Nanti kalau salah bicara akan berbahaya.

Acio memperhatikan orang itu, lalu terkekeh pelan. Ternyata... Gendra penurut juga ya.

"Maaf terlambat."

Semuanya menoleh ke pintu. Nares masuk lebih dulu lalu duduk di samping Asahi di sofa. Tama datang setelahnya dengan kepala tertunduk dan kedua tangan terkepal.

Nares melirik Acio sekilas, lalu membuang muka. Dari arti tatapan matanya, sepertinya mereka habis bertengkar.

"Lo ngapain ngeliatin Kak Nares sampai segitunya?" Galaksi tiba-tiba bertanya. "Mau lo jadiin korban selanjutnya, ya? Wah, gak salah sih gue curiga sama lo."

"Galaksi, bisa diam?" Kesal Aksa, jangan sampai ada baku hantam lagi di sini.

"Ckckck, nih ya, lo semua harus tau apa yang dia lakuin. Tadi, disaat gue mau kesini, gue liat dia mainin cicak terus dia tarik ekornya sampai putus."

Aksa syok, apa-apaan itu. Sebagai orang penakut, tentu saja dia merinding.

"Emang kenapa? Cicaknya lucu," balas Acio enteng, terlihat tak mempermasalahkan hal itu.

"Lo sakit jiwa, ya?" Duga Galaksi.

Nares menoleh dengan dingin. "Bisa dijaga omongannya?"

"Loh, gue bener 'kan?"

Asahi meremas kuat pundak Nares, menggeleng menyuruh pemuda itu menahan emosinya. Dia tahu Nares akan bangun menghampiri Galaksi, itu akan memperkeruh suasana.

"Kok lo belain Acio terus?" Galaksi terlihat curiga. "Kalian berdua kerja sama? Kalian berdua impostor yang tersisa?"

"Lo pikir gue bakal diem aja liat lo nyudutin Acio? Tolong berpikir dengan kepala dingin, jangan asal nuduh orang hanya karena sahabat lo di bunuh di sini."

Tatapan Galaksi menajam. "'Hanya' lo bilang? Lo gak tau gimana rasanya!"

"Lo pikir gue gak ngerasain?! Evan dibunuh tadi, tapi gue gak bersikap kayak lo tuh."

"Bisa diam gak?!" Teriak Aksa emosi. "Sekarang kita tidur, dikasih waktu bukannya bersyukur malah berantem."

Galaksi berdecak. "Ck, jangan salahin gue kau impostornya emang Acio."

•••

Asahi tak mengalihkan pandangannya dari sudut ruangan. Bukan, bukan Gendra yang ia lihat.

Tapi arwah Yoshi dan Mashiho yang menatapnya tajam, dengan darah mengalir deras di luka mereka.

•••

"Pst."

Panggilan dari belakang membuatnya berbalik. Terlihat pemuda dengan jaket hitamnya memberi kode untuk mendekat.

Dia menoleh kedepan, orang-orang terus berjalan menuju tempat di mana mereka bisa beristirahat. Merasa tak ada yang menyadari, dia bergegas menghampiri pemuda itu.

"Kenapa, Kak?"

Pemuda berjaket hitam itu berkacak pinggang. "Mau sampai kapan?"

Ah, jadi ini yang akan di bicarakan.

"Biarin aja, nanti takutnya lo kena tuduh juga," jawabnya serius.

"Tapi gue gak bisa—"

"Gak apa-apa elah, gak usah merasa bersalah begitu."

Pemuda itu menatap sang lawan bicara dengan cemas. "Kalau begini terus, lo bakal di vote."

"Ya, terus?"

Plakk!

"Lo bakal mati anjing."

"Ya, iyalah. Kematian kan gak ada yang tau. Santai aja napa sih, pokoknya lo turutin permintaan gue."

"Tapi—"

"Udah ya, gue duluan. Kalau ada apa-apa, jangan merasa bersalah."

Setelah itu dia pergi meninggalkan pemuda itu sendirian, di tengah keheningan lorong di sertai senyum getirnya.

"Maaf, gue gak yakin bisa nahan diri lagi."


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C9
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous