Sesampainya di depan loker Siti, Pak Saleh merasa aneh dengan stiker gambar tas, sepatu, dan lain sebagainya yang tertempel di dinding loker.
"Target selanjutnya," gumam Pak Saleh dengan tulisan dekat stiker. "Apa ini maksudnya ya?" Pak Saleh melihat ke Angga.
"Mungkin itu semua yang belum dia punya," jawab Angga yang sedang memegang catatan dan bolpoin.
"Iya Siti memang suka sekali belanja. Hampir setiap bulan pasti dia akan memamerkan barang barunya," ucap Pak Mus menjelaskan.
"Tolong buka Pak," perintah Pak Saleh kepada Pak Mus.
"Baik Pak," jawab Pak Mus langsung membuka loker dengan kunci yang dia pegang.
Setelah terbuka semua terkejut dengan perintilan aksesoris berwarna ungu. Dari jepitan rambut, tempat bekal makanan, semuanya berwarna ungu.
"Sepertinya dia suka sekali warna ungu ya," ucap Pak Saleh membawa semua barang milik Siti untuk di jadikan barang bukti dengan memasukkannya ke dalam kantong plastik bening.
"Iya , apa yang membuatnya memberi barang-barang seperti ini," jawab Anggan menggaruk kepalanya bingung.
"Baiklah kami akan pergi dulu, nanti jika ada informasi lain. Saya mohon anda untuk cepat melapor. Di mohon untuk kerja samanya Pak Mus" pinta Pak Saleh dengan memberikan kartu namanya.
"Siap Pak," jawab Pak Mus penuh hormat.
Setelah selesai menyelidiki Pak Saleh dan Angga keluar untuk pergi, semua staff yang melihat menjadi saling bergosip lagi tentang Siti dan Rohani.
"Parah ih! Kalo misalnya bener gitu si Siti bunuh Rohani karna pengen beli barang-barang mewah," ucap salah satu staff Wanita yang sedang bergosip bersama tiga wanita lainnya.
"Bukan parah lagi itu mah setan! Psikopat!" jawab teman satunya dengan tatapan sinis.
"Sudah lebih baik kita lanjut bekerja saja, aku takut nanti arwah Rohani datang lagi kesini," teman yang lainnya membubarkan teman yang lainnya.
Di mobil Pak Saleh menghubungi Rio, untuk menanyakan kondisi di tempat tinggal Siti. Rio yang masih dalam perjalanan karna macet dengan segera mengangkat panggilan dari komandan timnya.
"Ada apa komandan?" tanya Rio melihat Rangga yang sedang menyetir.
"Bagaimana kondisi di sana?" tanya Pak Saleh sambil melihat kondisi jalanan.
"Belum sampai sana Ndan, jalanan disini macet banget. Soalnya melewati area pasar," jelas Rio dengan raut wajah pusing melihat kemacetan yang ada di depannya.
"Ya sudah. Jika sudah sampai sana, kamu harus mengabariku," perintah Pak Saleh mematikan panggilannya.
Setelah menutup panggilan telfon Pak Saleh teringat ucapan Pak Handoyo yang ingin menurunkan jabatannya, jika kasus ini belum juga menemukan titik terang. Membuat dia menjadi gelisah tak menentu. Angga yang sedang menyetir, merasakan kegelisahan komandan timnya.
"Kenapa Ndan? Wajahnya terlihat gelisah seperti itu," tanya Angga sesekali melihat wajah Pak Saleh.
"Tidak aku baik-baik saja, mungkin karena kasus ini aku jadi kelelahan," jawab Pak Saleh merahasiakannya.
"Jangan lupa makan Ndan, biar kita tidak mudah sakit. Bagaimana mau menangkap pelakunya, jika ketua timnya saja kelelahan," Angga tersenyum menyemangati Pak Saleh.
"Lihat perutku! Tidak mungkin aku melupakan jam makan. Jika itu terjadi Nyonya rumah akan menyeringai memarahiku," Pak Saleh menunjukkan perutnya.
Dalam benaknya terus bertanya-tanya, bagaimana cara menemukan pelaku.
"Aku harus menemukan pelakunya, jika aku ingin tetap menjadi ketua tim," batin Pak Saleh melihat keluar jendela mobilnya.
Di rumah kost Siti, Rio dan Rangga meminta ijin kepada pemilik kost untuk melihat kamar Siti.
"Permisi Bu, apa benar ini tempat Siti tinggal?" tanya Rio melihat Pemilik kost yang sedang menyapu.
"Iya benar, Siti SPG bukan?" tanya balik Bu Cici sembari memegang sapu lidi. "Perkenalkan saya Cici pemilik kost disini," lanjut Bu Cici melihat mereka penuh curiga.
"Perkenalkan kami dari pihak kepolisian, ingin melihat kamar Siti yang sedang kami selidiki sebagai tersangka," ungkap Rangga menunjukkan id card.
"Hah! Siti jadi tersangka bagaimana Pak?" tanya Bu Cici terkejut. "Dia anaknya baik, ramah, jadi gak mungkin tersangka," Bu Cici seolah tidak percaya.
"Maaf Bu, saya tidak bisa menjelaskan secara detail. Karena itu masih dalam penyelidikan pihak kami," jawab Rio membuat Bu Cici mengerti. "Jadi bagaimana Bu, bisa kami melihatnya sekarang?" tanya lagi Rio melihat Bu Cici yang masih terkejut.
"Ya sudah. Mari masuk Ibu akan tunjukan kamarnya Siti," jawab Bu Cici berbalik untuk masuk ke dalam rumahnya yang banyak kamar para anak kost. "Kamarnya ada di atas," ucap Bu Cici menaiki tangga.
"Baik Bu," jawab Rio mengikuti Bu Cici yang berjalan di depannya.
Sesampainya di depan kamar Siti, Bu Cici langsung membukanya dengan kunci cadangan yang dia miliki sebagai pemilik rumah. Disana Rio dan Rangga masuk kedalam, dan meminta Bu Cici tunggu saja di luar.
"Ibu jangan masuk ya, tunggu saja disitu," pinta Rangga mengikuti Rio yang sedang melihat kamar sepetak itu.
Rio melihat banyak tas mewah, jam tangan, dan sepatu yang harganya mungkin mahal. Rangga membuka lemari yang ada laci kecil, dan menemukan kertas transaksi di dalamnya. Setelah selesai memeriksa, dan mengambil foto barang milik Siti. Mereka pamit untuk pergi dari kamar kost Siti.
"Baik Bu, kami akan kembali ke kantor. Terima kasih atas kerja samanya," ucap Rio kepada Bu Cici yang menunggu di depan pintu.
"Iya Pak sama-sama,' jawab Bu Cici.
Mereka pergi menuruni tangga, untuk kembali ke mobil yang terparkir di depan gerbang kost.
Di mobil Adamma membayangkan kejadian tadi di ruang penyidik dengan Siti yang mengaku menyembunyikan handphone yang di pakai olehnya untuk berhubungan dengan pelaku. Arya yang melihatnya menjadi sangat penasaran dengan yang ada di pikiran Adamma.
"Sebenarnya kita akan kemana?" tanya Arya yang sedang menyetir mobilnya.
"Ikuti saja," jawab Adamma kepada Arya.
Sesampainya di rumah kosong dekat dengan area kost, mereka masuk ke dalam rumah itu secara perlahan. Arya semakin dibuat penasaran oleh Adamma yang menyembunyikan sesuatu darinya. Lalu dia menarik tangan Adamma hingga berbalik mendekati wajahnya. Membaut mereka saling salah tingkah.
"Maaf, bukan maksudku," ucap Arya melepas tubuh Adamma.
"Ada apa sih?" tanya Adamma dengan salah tingkah di hadapan Arya.
"Aku penasaran kenapa kita harus ke rumah kosong?" tanya Arya ingin tahu melihat Adamma.
"Aku menekan Siti dengan tuduhan-tuduhan yang aku sendiri belum jelas, dan juga aku sengaja mengucapkan apa yang di di hatinya. Sehingga dia terkejut dan mengucapkan hal "Handphone itu pasti tidak dapat dia temukan, tidak mungkin! Sehebat apapun dia aku sudah menyembunyikan itu di rumah kosong," lalu aku terus sengaja memojokkan dirinya hingga dia mengaku dan berbisik padaku," jelas Adamma kepada Arya.
"Ya sudah sekarang lebih baik kita mencarinya," ajak Arya dengan antusias.
"Sekarang giliran kamu yang antusias. Dasar!" gumam Adamma tersenyum lalu mengikuti Arya ke dalam rumah kosong.
Di dalam rumah kosong yang sudah tidak di huni puluhan tahun, mereka masuk dan menemukan meja yang sudah rapuh. Adamma dengan cepat menuju laci itu dan membukanya. Arya menghentikan Adamma yang akan membuka laci itu.
"Biar aku saja," ucap Arya berlari mendekatinya.
Adamma melihat Arya yang mengambil plastik hitam yang ada di dalam laci dan membukannya. Plastik yang berisikan ponsel tersebut membuat Adamma semakin bergairah untuk menemukan jaringan hitam yang telah banyak memakan korban, tapi Arya menemukan hal lain yang membuat dia terkejut.
"Ada sesuatu disini," ucap Arya mengambil kartu nama Pak Gunnar dari dalam laci dan menunjukkanya kepada Adamma..