Tidak ada yang berubah setelah sebuah fakta terbongkar. Selembar demi selembar kata mulai mengisi putih yang sebelumnya dibiarkan kosong.
Tanda terima dari sebuah perusahaan ternama telah diberi pada sebuah keluarga sederhana yang diangkat derajatnya oleh putri tercinta.
"Apakah tidak terlalu mahal untuk kami?"
Kedatangan Kakrataka bukan tanpa alasan. Ternyata sebuah kejutan mencengangkan dihadirkan. Sebuah mobil mewah berharga ratusan juta rupiah dengan keglamoran yang melekat.
"Memang saya ingin menghadiahkan ini sedari lama. Sebagai tanda terima kasih saya pada putri Bapak dan Ibu yang telah berperan besar dalam kemajuan perusahaan saya. Selama tiga tahun belakangan ini, keuntungan begitu banyak saya dapatkan. Dan itu semua berkat kerja keras Kirana," tutur Kakrataka dengan penuh semangat.
Dipuji bagaimana pun itu, Kirana akan merasa dirinya terbang sampai ke angkasa. Namun, tak pernah lupa jika sepasang kaki masih tetap menapak di tanah.
"Tanpa kerja keras Pak Bos dan seluruh keluarga di perusahaan, kita tidak bisa maju," sahut Kirana seraya tersipu.
"Dan semua kebanyakan adalah tanganmu yang bekerja," balas Kakrataka seraya menoleh pada gadis yang tengah menahan malu.
Mereka berdua layaknya memiliki dunia dalam satu genggam. Tak peduli jika ada orang tua Kirana yang lengkap tengah menyaksikan.
"Hanya terima kasih yang dapat kami haturkan pada Anda. Selebihnya hanya bisa berdoa supaya Tuhan membalas seluruh budi baik Anda kepada kami." Ayah dari Kirana yang bernama Arda tersebut mewakili seluruh kalimat syukur yang terhatur.
"Iya, Pak. Terima kasih banyak," sahut Karin--Ibu dari Kirana--yang kini tengah berbadan dua.
"Sama-sama, Pak, Bu," jawab Kakrataka.
***
"Kirana pandai sekali memasak. Dia berbeda dari banyak perempuan lain. Bukan berdandan yang menjadi prioritas, tetapi memasak juga karirnya yang selalu dijunjung tinggi."
Satu fakta yang membuat Kakrataka spontan menoleh ke arah dapur. Di sana berdiri seorang wanita tengah berpakaian santai ditambah dengan celemek yang melekat di tubuh.
Kakrataka tersenyum singkat, kemudian kembali fokus dengan dua orang yang tengah mengajaknya berbincang banyak hal.
"Saya baru tahu hal itu," ungkap Kakrataka sembari tersenyum simpul.
"Pak, dia juga sering membicarakan kebaikan Anda," bisik Karin menyela kalimat yang akan diucapkan suaminya.
"Oh, ya?" Kakrataka terlihat mulai penasaran dengan topik pembicaraan yang tengah dibawakan oleh Karin.
"Iya. Asal Anda tahu, Kirana mengidamkan se--"
"Se apa, Mah?" tanya Kirana menyela. Gadis itu sudah berdiri di belakang mereka sejak beberapa waktu yang lalu. Mendengarkan pembicaraan yang sedikit berbahaya jika diteruskan.
Karin, Arda, dan Kakrataka menoleh. Saling menunjukkan raut wajah datar supaya terlihat biasa saja dan tak pernah terjadi apa-apa.
"Masakanmu nanti gosong," sahut Kakrataka.
"Kalau ingin membicarakan Rara, jangan keras-keras. Nanti Rara dengar." Ia berlalu, bersamaan dengan senyumnya yang merekah tanpa diketahui oleh semua orang yang ada di ruang keluarga.
***
Wanita. Makhluk paling hebat yang kodratnya menjadi tulang rusuk. Amat dijaga keberadaannya. Kelembutan hati yang dipunya juga mahkota yang harus dijaga sampai waktunya tiba. Tidak boleh sembarang memberi harga diri.
Berbicara tentang rasa. Wanita tak pantas untuk meminta, menjaganya hingga saat yang dinanti tiba. Walau kadang rasa itu menggebu layaknya bara api dalam tungku. Namun, satu yang harus diingat. Memberi rasa tidak salah, tetapi harus tahu batas. Supaya tak berakhir dengan patah yang menyiksa pada akhirnya.
"Kita akan pergi ke mana lagi?"
Berakhirlah mereka di sini. Kembali berada dalam satu mobil. Kakrataka belum puas menikmati hari liburnya. Berbeda dengan Kirana yang mulai merasa lelah, tetapi memaksa diri supaya bisa menemani Kakrataka berkeliling ke sana-kemari.
"Berkeliling kota."
"Kapan pulang?"
"Nanti setelah matahari tenggelam."
Buru-buru Kirana mengecek jam berwarna merah muda yang melingkar di tangan kirinya. Masih pukul dua siang. Berarti mereka akan menghabiskan waktu selama empat jam ke depan.
"Astaga, saya lelah, Pak," ucap Kirana mulai mengeluhkan apa yang kini ia rasa.
Lampu merah. Kakrataka sengaja mengerem mobilnya mendadak. Membuat Kirana terlempar ke depan.
"Sakit, Pak ...," rengeknya dengan nada kesal.
"Sakit, ya?"
Diraihnya kepala Kirana. Kakrataka meniup bagian kening yang spontan memerah karena kulitnya putih. Terbentur bagian keras akan sangat cepat mengubah warna kulit Kirana.
"Huh." Tiupan lembut membuat gerak spontan pada urat mata Kirana. Gadis itu menutup kedua mata dengan sangat rapat. Menikmati sapuan hangat tiup yang beberapa kali terasa di wajahnya.
Tin! Tin! Tin!
Suara klakson mobil menghentikan kegiatan keduanya. Kakrataka baru sadar jika lampu lalu lintas telah berubah warna menjadi hijau. Mereka mendapat demo dari banyak pengemudi lain karena tak kunjung jalan.
"Maafkan saya," ucap Kakrataka setelah berhasil mengemudian mobilnya kembali.
"Ti-tidak apa." Seperti biasa, saat gugup, Kirana akan menjawab terbata. Tiada kelancaran kalimat saat dirinya berusaha sebaik mungkin untuk tetap biasa saja.
Tidak tahu mau dibawa ke mana oleh Kakrataka. Kirana terus diam dan mengusap keningnya yang mulai tumbuh benjolan.
"Saya dengar, kau ahli dalam memasak dan mengurus rumah." Tiba-tiba saja kalimat itu dirilis saat tengah dalam keadaan diam.
"Pak Bos tahu dari mana?"
"Papa dan Mama."
"Papa dan Mama?"
"Iya, orang tuamu."
"Ah, mereka cerita tentang hal itu ternyata?"
Yah, Kirana tak pernah sungguh menguping pembicaraan. karena itu bukan ranahnya. Selama bekerja di perusahaan Kakrataka, ia benar-benar belajar banyak mengenai adab dan norma yang harus ditaati supaya menjadi manusia yang lebih baik.
"Iya dan saya kagum ...," lirih Kakrataka, setengah berbisik.
"Apa, Pak? Kagum?"
"Kau mengada-ngada, ya, May?" Kakrataka berbalik tanya.
Sepasang alis Kirana bertaut. Jawaban lelaki itu tak sesuai ekspektasi.
"Pak, libur minggu depan bisa antarkan saya ke Dokter?"
Sekilas menoleh untuk memastikan. Kakrataka kemudian bertanya, "Memangnya kau sakit apa?"
"Mungkin telinga saya perlu pembersihan agar tak terus salah dengar," jawab kirana dengan gamblang.
Pembicaraan mereka terhenti bersamaan dengan mobil yang direm perlahan oleh si pengemudi.
Kirana hafal dengan sebuah tempat yang menjadi pemberhentian mereka kini.
"Bukit?" gumamnya.
"Iya. Mau turun?" tanya Kakrataka.
"Tentu," pungkas Kirana seraya melepas sabuk pengaman dan meraih pintu mobil untuk dibuka.
Ramai sekali pengunjung yang datang. Mungkin karena hari libur tiba dan bertepatan dengan waktu yang hampir menunjukkan jingga dari senja.
"Ramai sekali."
Kakrataka bertanya, "Iya, tidak suka?"
Kirana menggeleng. "Suka," jawabnya.
Tujuan awalnya adalah di ujung bukit sana. Tempat paling diminati oleh semua lapisan pengunjung. Spot paling tepat untuk menikmati mentari yang kembali ke peraduan.
"Wih, cantik, nih. Sama saya aja, jomlo, 'kan?"
Dengan tidak sopan, seorang pria menyenggol pantat Kirana. Membuat gadis itu benar-benar marah karena perbuatan tak senonoh.
"Anda kira wanita itu bahan untuk pemuas nafsu setan? Anda kira harga diri wanita bisa dijadikan bahan untuk permainan? Anda kira, saya sebagai wanita tak pernah menjaga harga diri? Sampai-sampai Anda berbuat tak senonoh di hadapan umum?"
Kakrataka yang sudah berada di depan sana menoleh kembali. Mendengar keributan yang terjadi. Benar saja, Kirana tengah disentuh oleh pria hidung belang yang penampilannya tak sekalipun menunjukkan bahwa ia berandalan.
"Kalian pikir saya adalah WANITA MURAHAN? Tidak habis pikir dengan pria yang suka bermain dengan wanita tanpa jijik, padahal tidak ada hubungan apa-apa. ASAL ANDA TAHU! SAYA WANITA YANG MENJUNJUNG TINGGI KEHORMATAN SAYA. JANGAN MENGIRA SEMUA WANITA ITU SAMA. Iblis berkedok manusia." Satu tangan hampir menyentuh pantatnya kembali, tetapi dengan sigap Kirana menarik tangan itu. Membalik tubuh pria itu dalam satu sentakan, hingga berakhir pada pembaringan beralas tanah untuk pria tidak tahu tentang norma kesopanan. Serta tak paham betul mengenai kehormatan wanita.