Diva tersenyum malu menatap tubuhnya yang penuh dengan kissmark yang dibuat suaminya semalam.
Malam yang indah mereka lakukan berkali-kali tanpa merasa lelah, sampai akhirnya dia yang tertidur.
Diva keluar dari kamar mandi dengan baju santai, hot pants dan baju oversize. Diva duduk di meja riasnya mengeringkan rambutnya yang basah.
Melihat di cermin jika lehernya juga terdapat banyak bekas kissmark dari suaminya. "Ganas banget sih, kalau kayak gini pasti lama hilangnya!" gerutunya.
Tring!
Diva membuka ponselnya dan mendapat pesan dari suaminya.
SUAMI GALAK
sayang, udah makan belum?
Me:
Udah
Diva membalasnya singkat kembali mengeringkan rambutnya, lalu ponselnya kembali berdering bukan pesan melainkan telpon dari Kenzo.
"Hallo, sayang!" Sapa Kenzo dari panggilan via video. Menampilkan wajah sumringah suaminya tidak seperti biasanya yang datar seperti tembok.
"Lagi ngapain?" tanya Diva, dia menyenderkan ponselnya pada meja sedangkan tangannya sibuk mengeringkan rambutnya.
"Kerja." Kenzo membalas singkat dia tersenyum tipis memperhatikan gerak gerik istrinya, sembari melihat karya yang dibuatnya pada leher Diva.
"Tato kamu bagus, sayang!" kekehnya.
Tato ndasmu, batin Diva kesal.
"Hm. Yaudah kalau kamu masih kerja matiin aja telponnya." Diva duduk di ranjang dengan hati-hati, karena jujur saja bagian intinya masih terasa sakit setiap kali dia buat jalan.
"Nanti dulu, aku masih kangen sama kamu." Kenzo tersenyum tipis, tidak ada pembicaraan diantara mereka, keduanya hanya saling diam dengan mata saling menatap.
"Sayang, nanti aku pulang sekitar jam lima. Kamu ada nitip sesuatu nggak?"
"Em, aku pingin makan martabak. Kamu beliin ya rasa kacang cokelat!" Kenzo terdiam beberapa saat lalu matanya memicing.
"Sayang kamu hamil? kamu lagi ngidam? gila cebong aku gercep juga. Baru di tanam semalam udah tumbuh aja!" bangganya.
"Heh!" Diva melotot tajam, yang terlihat lucu di mata Kenzo.
"Anak sendiri di bilang cebong, eh tapi aku belum hamil. Aku cuma pingin aja!" Kenzo mengangguk, dengan senyum tertahan di bibirnya.
"Belum berarti akan segera, pintar-pintar kita aja nanamnya kalau sering pasti cepet jadi kok, yang!" kekeh Kenzo.
"Dih, itu mah maunya kamu!" dengus Diva membuat Kenzo tertawa terbahak. Baru kali ini lelaki itu tertawa begitu lepas.
"Maunya aku tapi kamu juga keenakan kan? Siapa yang semalam bilang faster sayang fas--"
"DIEM!" pelotot Diva dengan muka merah padam. Dia sangat malu jika mengingat kejadian semalam.
Kenzo kembali menertawakannya merasa lucu dengan istrinya, dia merasa terhibur semenjak kedatangan Diva dalam hidupnya.
"Ketawa sekali lagi nanti malam kamu tidur di luar!" Kenzo langsung kicep mendengarnya, bisa mati dia kalau harus tidur di luar kamar.
"Nggak mau, udah jangan ngambek aku cuma bercanda!" Cengirnya.
Diva menatapnya sebal. "Yaudah matiin aja telponnya!" Kenzo mendengus kesal.
"Bentar aku masih kangen sama kamu, itu kamu masih sakit nggak?" tanyanya ambigu.
"A-apaan sih kamu, udah ah matiin aja nggak usah tanya yang aneh-aneh." Kenzo tertawa kecil di sana.
"Masih kan? kalau di coba terus pasti nggak akan sakit. Mau lagi nggak?" godanya dengan kerlingan jahil.
Tit
Diva mematikan sambungan telpon begitu saja, wajahnya sangat merah. Dia masih sangat malu jika harus membahas hal-hal yang berbau seperti itu.
Diva memutuskan untuk turun, dia ingin memakan buah-buahan. Duduk di ruang makan sembari memotongi kecil-kecil buah apel yang dia ambil.
Tring!
SUAMI GALAK:
istirahat sayang, biar nanti malam nggak kecapekan.
Diva menatapnya gemas, ingin sekali dia lempar ponselnya tepat di muka suaminya. Menyebalkan memang!
Duduk sembari menonton tv dan memakan buah-buahan yang dia potong barusan membuat Diva sangat bosan.
"Apa aku ke rumah mama aja ya? udah lama nggak ke sana." Diva ingin mengunjungi rumah orang tuanya rasanya dia begitu merindukan pelukan hangat mamanya.
"Iya, lagian udah nggak kerasa sakit. Aku izin Kenzo dulu deh!" Diva segera mengambil ponselnya dan memilih menghubungi suaminya via Vidio.
"Kenapa sayang? kangen?" Sambutan pertama yang Diva lihat adalah wajah tengil dan menyebalkan Kenzo.
"Aku mau izin keluar."
"Kemana?" tanya Kenzo tak suka. Diva memasang muka seimut mungkin untuk membujuk suaminya.
"Ke rumah mama, aku kangen sama mama. Ya, boleh yaaa!" rengeknya.
"Tapi itu kamu kan masih sakit, masih susah buat jalan. Nggak usah kemana-mana dulu, weekend aja kita ke sana!" bujuknya.
"Mau sekarang!" Diva menatapnya dengan mata berkaca membuat Kenzo menghela nafas panjang.
"Yaudah, sama sopir ke sananya. Nanti sepulang kantor aku jemput sekalian!" Diva mengangguk dengan senyum lebar di bibirnya.
"Makasih sayang!" Kenzo tersenyum, senang rasanya melihat istrinya bahagia.
"Iya, tapi ada syaratnya. Nanti malam proyek buat dedek lagi, haha!" Kenzo tertawa terbahak setelahnya.
"Ish, nggak mau. Masih sakit!" Diva cemberut, menatap kesal ke arahnya.
"Loh katanya udah nggak, gimana sih?" Kenzo menaik turunkan alisnya.
"Lagian kalau di buat itu lagi pasti nggak akan sakit." Kenzo terus menggodanya membuat Diva berdecak kesal.
"Tau ah, kesel aku sama kamu!" Diva mematikan sambungan telpon begitu saja dengan wajah yang kesal.
Dia segera bersiap untuk pergi ke rumah orang tuanya. "Hari ini aku pingin habisin waktu berdua sama mama!" ucapnya senang.
****
"MAMA!" Diva berteriak memasuki rumah dengan banyak kantong kresek di tangannya, sebelum ke sini Diva memang mampir ke toko untuk membelikan sesuatu pada adiknya.
"Diva!" Mamanya segera berhambur memeluknya. Kedua wanita itu saling berpelukan melepas rindu lantaran lama tak bertemu.
"Diva kangen mama!" ujarnya serak.
Revalina---mama Diva mengusap punggung Diva naik turun. Melihat putrinya menangis membuatnya sedih.
"Maafkan mama sama papa nak, maaf karena kami kamu harus mengorbankan masa depanmu!" ucap Revalina sedih.
"Tidak, apa yang mama katakan." Diva tersenyum mengusap air matanya pelan lalu mengusap air mata di wajah mamanya.
"Diva bahagia ma, sangat bahagia! Kenzo sangat menyayangi Diva." Wanita cantik itu berusaha meyakinkan mamanya jika dirinya sangat bahagia.
"Mereka baik, mereka semua sangat menyayangi Diva. Mama sama papa nggak perlu merasa bersalah. Justru, Diva bahagia karena ini semua Diva bisa bertemu dengan Kenzo." Revalina tersenyum, dia merasa lega.
Syukurlah jika Kenzo menyayangi anak gadisnya. Semenjak Diva pergi Revalina selalu merasa sedih, dia dan suaminya merasa bodoh karena telah mengorbankan anak pertamanya.
"Ayo masuk, adikmu pasti akan senang setelah melihatmu!"
Senyum Diva mengembang lantaran melihat adik kesayangannya tengah bermain boneka di kamarnya.
"DIRA!!" teriaknya lalu berlari memeluk tubuh kecil adiknya.
Bocah perempuan itu mengerjab polos masih bingung sebelum bibirnya mengembangkan senyum kala melihat kakak kesayangannya pulang.
"Kakak, Dira kangen!" ujarnya, lalu berhambur dalam pelukan Diva.
"Kakak juga kangen banget sama Dira, lihat kakak bawa apa aja buat kamu!" Dira tersenyum bahagia dengan binar di matanya.
"Dira suka, makasih kakak. kakak jangan pergi-pergi lagi, Dira nggak suka!" ucap bocah kecil itu membuat Diva terdiam.
Diva tersenyum mengacak rambut adiknya gemas. "Iya!" balasnya singkat.
Dira masih berumur lima tahun, pipinya yang tembam membuatnya terlihat sangat menggemaskan.
"Megan ke mana, ma?" tanya Diva setelah menyadari jika di rumah hanya ada, mama, adiknya juga asisten rumah tangga saja.
"Kuliah, dia ada kelas pagi hari ini. Diva, ayo makan hari ini kebetulan sekali mama masak banyak makanan kesukaanmu!" ujarnya, membuat mata Diva berbinar.
"Benarkah, Diva sangat merindukan masakan mama. Cantik, ayo kita makan!" ajaknya pada adiknya.
Dira bersorak senang dalam gendongan Diva, mereka bertiga turun ke meja makan yang sudah tersedia banyak makanan kesukaan Diva yang kebetulan Revalina masak hari ini.
Mereka makan dengan tenang, kebiasaan mereka atau tata tertib mereka ketika ada di meja makan.
Dira dengan manja ingin makan dengan disuapi Diva hal itu membuat Diva sangat gemas dengan adiknya.
Sudah lama Dira tidak bermanja padanya hal itu yang membuat Diva sangat merindukannya. Adiknya yang paling kecil dan yang paling menggemaskan.
"Ayo habiskan makanmu, supaya Dira cepat tumbuh besar seperti kakak!" Dengan lucu dia mengangguk, mulutnya yang penuh makanan membuat pipi cabi itu mengembung.
Revalina tersenyum melihatnya, sungguh dia sangat bahagia melihat kedua anaknya saling menyayangi seperti ini.
"Assalamualaikum, Megan pulang!" Cowok jakun itu tersenyum bahagia setelah melihat ada Diva di sana.
Megan memeluk kakaknya erat, bukti bahwa dia sangat merindukan sosok kakaknya. Kakak yang selalu ada untuknya, yang selalu membantunya, dan tempatnya bercerita kala dia ada masalah.
"Ah, sudah lama kita tidak bertemu kau semakin tinggi saja!" ucap Diva terkekeh kecil, tangannya mengusap gemas kepala adik laki-lakinya.
"Ya, dan kau semakin pendek!" Megan terkekeh meledek melihat tinggi tubuh kakaknya hanya sebatas dadanya saja.
"Kau ke sini sendiri kak?" tanyanya setelah tak mendapati siapapun lagi di rumahnya.
"Iya, Mas Kenzo masih kerja nanti dia akan menyusul ke sini!" Megan mengangguk, menatap wajah polos adiknya yang sibuk dengan mainan baru yang tadi Diva belikan.
"Wih, mainan baru tuh." Megan menggoda adik perempuannya membuatnya kesal.
"Jangan ganggu! aku aduin ke Kak Diva!" ucapnya galak, matanya melotot garang bukan terlihat menakutkan malah terlihat semakin menggemaskan.
Mereka semua terbahak mendengarnya, Diva mengacak rambut adiknya gemas. Selesai makan mereka berdua berkumpul di ruang keluarga.
Bercanda bersama duduk di karpet depan televisi. "Hubunganmu dengan Kenzo baik-baik saja, nak?" tanya Revalina kembali, dia seorang ibu dia hanya ingin memastikan jika selama ini putrinya bahagia.
"Iya, ma. Sangat baik, Mas Kenzo sangat menyayangiku, dia sangat memanjakanku, apapun yang aku mau selalu dia turuti bahkan dia tak memperbolehkanku membersihkan rumah."
"Mama tau, di rumah ada sekitar lima asisten rumah tangga yang setiap hari datang dan saat sore mereka akan pulang, karena katanya dia tidak suka jika ada yang menganggunya."
"Ya karena Kak Kenzo ingin selalu berdua dengan kakak tanpa ada pengganggunya!" seloroh Megan dengan tawa.
"Anak kecil diam!" sahut Diva.
"Tapi Diva tidak suka jika harus berdiam diri di rumah, jadi untuk bagian dapur Diva yang mengerjakan, Diva yang akan masak untuknya. Dan mama tahu, papa mertua kasih Diva rumah sakit untuk Diva kelola!"
Revalina sempat terkejut mendengarnya sebelum senyumnya mengembang mendengarnya membuat dia sangat yakin jika putrinya benar-benar di istimewa kan di sana.
"Syukurlah, mama bahagia jika melihatmu bahagia sayang. Jika ada masalah, selesaikan baik-baik. Karena hal itu wajar dalam hubungan suami istri, jadilah istri yang baik untuk suamimu."
"Iya, ma. Sebisa mungkin Diva akan belajar menjadi istri yang baik untuk Mas Kenzo. Diva ingin seperti mama, yang akan selalu ada buat papa di saat suka maupun duka, dan selalu bersama sampai ajal yang memisahkan!" Revalina tersenyum mendengarnya.
Tangannya mengusap pelan kepala putrinya. "Patuhi semua ucapan suamimu, nak. Jangan pernah membantah, jika suamimu melarang maka jauhilah, jadilah istri yang baik untuknya, suamimu sudah banyak membantu keluarga kita."
Diva memeluk tubuh mamanya, menikmati usapan lembut di kepalanya. "Iya, ma. Sebisa mungkin, Diva akan berusaha buat jadi istri yang baik dan penurut."
"Satu lagi pesan mama, jangan pernah kau umbar aib keluargamu, aib suamimu, sebagai istri kau harus bisa menjaganya. Aib suamimu sama saja dengan aibmu, jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Jika ada masalah bicarakan baik-baik, rumah tanggamu ini masih sangat baru, masih banyak cobaan yang harus kalian lewati bersama."
"Iya, ma. Makasih untuk nasihatnya, Diva beruntung bisa punya mama sehebat mama. Selalu ada buat Diva ya, ma!" ucapnya serak.
"Pasti, mama akan selalu ada buat kamu, selagi mama masih hidup mama akan selalu bersama kamu sayang, jadi jangan pernah merasa sendiri."
Melihat kondisi jika kakanya ingin menghabiskan waktu bersama mamanya membuat Megan undur diri, dia menggendong adik perempuannya yang tengah tertidur pulas.
"Megan bawa adik ke kamar dulu!" pamitnya.
Diva tidur dengan berbantalan paha mamanya memeluk perut mamanya, menikmati usapan lembut di kepalanya.
Ini yang dia rindukan, rindu dimanjakan oleh mamanya, rindu dimanjakan oleh papanya, dan rindu kebersamaan keluarga nya.
"Papa pulang jam berapa ma?" tanya Diva, mendongak menatap wajah Revalina.
"Mungkin nanti sore kalau papamu tidak lembur." Diva mengangguk kembali memejamkan matanya.
Hari ini dia ingin bermanja dengan mamanya dan menghabiskan waktu bersamanya.
****
Karna keasyikan menikmati usapan tangan mamanya membuat Diva tertidur, Revalina terus mengusapnya membelai rambut putrinya, mengusap pipinya pelan.
Putrinya sudah dewasa sekarang, dia sudah menjadi seorang istri. Putri kecil yang dulu dimanjakannya, yang dulu selalu menangis kepadanya saat dia terjatuh.
Kini telah tumbuh dewasa, dulu dua berpisah dengannya saat Diva mengenyam pendidikan di luar negeri selama bertahun-tahun dan sekarang dia harus kembali terpisah dengan putrinya setelah dia menikah.
Tanpa sadar matanya basah, Revalina mengusap air matanya pelan. Dia bahagia melihat binar bahagia di mata putrinya.
"Nyonya Tuan Kenzo datang!" Revalina tersenyum setelah melihat menantunya tiba di rumahnya.
Kenzo menatapnya diam sebelum dia menyalami ibu mertuanya sebagai bentuk penghormatan.
"Diva tidur?" tanya Kenzo, dia tersenyum melihat wajah polos istrinya yang tengah tertidur di paha ibu mertuanya.
"Bagaimana kabarmu, tu--"
"Ma, aku menantumu jangan mengatakan itu. Anggap aku sebagai anakmu!" potong Kenzo saat Revalina akan memanggilnya tuan.
Revalina tersenyum mendengarnya. "Bagiamana kabarmu, nak?" tanyanya.
"Baik, semenjak kedatangan putri mama keadaan saya selalu baik!" Revalina dapat melihat Binar bahagia di mata Kenzo saat menatap wajah putrinya.
"Mama bahagia mendengarnya, bisa kau berjanji padaku?" Kenzo menatap pandangannya.
"Berjanji untuk apa, ma?"
"Berjanjilah untuk selalu membahagiakan Diva!"
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK