Suasana rumah sakit cukup tenang sehingga Kirana bisa tidur pulas dengan begitu lama. Di hari keempat Kirana dirawat, Zayn masih setia menemaninya. Sejak kedatangan Adrian ke rumah sakit, tidak sedikit pun Zayn beranjak meninggakan Kirana, karena dia yakin jika Adrian ataupun keluarganya pasti akan mendatangi Kirana kembali.
Kirana membuka mata karena cahaya sinar matahari menerobos masuk, dan menyilaukan wajahnya. "Lama sekali aku tidur, aku jadi lapar!" ucap Kirana pelan, sambil melirik ke arah jam dinding.
"Tidurmu sangat pulas. Aku tidak berani untuk membangunkanmu." Zayn duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.
"Mungkin karena efek obat yang aku minum, jadi tubuhku juga terasa lebih bugar. Ngomong-ngomong kapan aku bisa diizinkan pulang? Aku sudah bosan di sini mencium bau rumah sakit membuatku sedikit mual," ungkap Kirana.
"Nanti kita tanyakan kepada dokter yang merawatmu! Tadi kamu bilang lapar tapi jam makan siang masih satu jam lagi. Apa sekarang kamu ingin makan sesuatu? Aku bisa memesan makanan untukmu," tanya Zayn.
"Iya aku lapar. Nasi tim yang kamu beli dua hari lalu itu sangat enak, aku ingin makan nasi tim lagi."
Zayn ingat dengan nasi tim yang ia beli di restoran samping rumah sakit beberapa waktu lalu. Sayang sekali dia tidak tahu nomor telpon untuk pesan antar di restoran itu.
"Itu nasi tim yang aku beli di restoran sebelah. Aku akan membeli untukmu, jadi tunggulah sebentar!" Setelah mengatakan itu dia langsung pergi meninggalkan Kirana.
Kirana yang sendirian di ruangan itu, merasa bosan. Dia lalu turun dari ranjang dengan membawa tiang infus berjalan mendekati jendela. Dia teringat kembali atas tindakan bodoh yang hampir saja merenggut nyawanya sendiri, dan calon buah hati yang ada di dalam rahimnya. Andai saja Zayn tidak datang tepat waktu, mungkin kini dirinya hanya tinggal sebuah nama.
Menatap kota dari ketinggian membuat Kirana bisa melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi. Seolah-olah saling berlomba mencengkau langit yang tidak ada habisnya. Tentu saja semua tidak terlepas dari tangan-tangan manusia yang ada di bawahnya, seluruh pemikiran, seluruh tenaga bahkan hati, mereka korbankan. Akhirnya mereka dibutakan oleh ambisi, seperti yang dilakukan oleh keluarga Adrian pada keluarganya.
"Kamu sudah membaik rupanya!"
Kirana menoleh pada pemilik suara yang sudah memberaikan lamunan. Seketika perasaan jengah mencuat pada sosok yang ada di hadapannya.
"Mau apa kamu datang kemari?" tanya Kirana dengan sinis.
"Tentu aku ingin melihat keadaanmu, sekaligus aku ingin mengucapkan terima kasih."
"Terima kasih, untuk apa?" tanya Kirana. "Bukankah kamu seharusnya meminta maaf?"
"Aku tidak tahu apa yang kamu katakan kepada suamiku kemarin, tapi sikapnya padaku menjadi lebih hangat. Dan tentu kamu tidak mengatakan kalau aku yang membawamu ke klinik itu kan? Aku hanya menyetir mobil saat itu, jadi memang aku tidak mempunyai andil dalam rencana mertuaku." Sintia berkata tanpa merasa bersalah.
"Kalian sama saja. Bisa-bisanya memutar balikan kenyataan fakta! Aku tidak habis pikir dengan semua akal licik kalian."
Sintia tidak sempat membalas ucapan Kirana, karena Zayn muncul di antara mereka. Sintia melirik ke arah Zayn lalu mengatakan, "Kalian begitu dekat, apa dia juga punya andil atas kehamilanmu Kirana?" Dia bertanya dengan memalingkan wajah ke arah Kirana.
Mendengar pertanyaan yang menyudutkan dirinya, Kirana berkata, "Kamu jangan bicara sembarangan, Sintia!"
"Oh oke, aku lupa bahwa sekarang kamu tidak jadi hamil," cibir Sintia. "Aku turut prihatin," lanjutnya.
"Jadi apa tujuanmu datang kemari?" Zayn bertanya sambil meletakan nasi tim di atas meja.
"Aku hanya ingin menjenguk Kirana dan mengucapkan terima kasih, itu saja. Kalau begitu aku permisi takut menggangu kalian berdua. Kirana semoga kamu cepat sehat kembali!" Sintia melangkah menjauhi Kirana, yang masih berdiri di dekat jendela.
Sebelum Sintia mencapai pintu keluar, tiba-tiba Zayn mengatakan sesuatu yang membuat ia menghentikan langkahnya, "Kamu jangan melupakan sesuatu! Wajahmu terlihat jelas di CCTV klinik meskipun tak ikut masuk ke dalam."
Rupanya sebelum masuk, Zayn sempat menguping pembicaraan antara Kirana dan Sintia. Kemudian dengan sedikit senyum dia melanjutkan, "Jika aku menyerahkan rekaman CCTV itu pada suamimu, maka giliran dia yang akan berterima kasih padaku karena mengetahui siapa pembunuh anaknya yang sesungguhnya."
Tanpa merespon ucapan Zayn, Sintia pergi meninggalkan ruangan itu. Sepanjang koridor rumah sakit dia terus merutuk ucapan Zayn. Mengapa Sintia tidak memikirkan itu sebelumnya? Lagi pula dia tidak tahu jika ada CCTV di sana.
"Aku heran ada apa denganku? Padahal aku tidak mengusik mereka sama sekali, tetapi mereka tidak ada puasnya menggangguku," ucap Kirana, setelah Sintia pergi sambil berjalan perlahan menuju ranjang.
"Karena kamu lebih dari mereka!"
Kirana tersenyum kecut, "Aku bahkan bodoh karena ditipu orang seperti Adrian."
"Dia yang bodoh karena menipumu. Kamu bisa lihat, dia tidak ingin melepaskanmu sekarang!"
"Sudahlah, aku lapar." Kirana enggan membahas Adrian lebih lanjut.
Zayn mengeluarkan nasi tim yang dipesan Kirana. Sengaja dia membeli dua nasi tim sekaligus, untuk santapan makan siangnya sendiri.
"Apa kamu memiliki bukti CCTV itu?" tanya Kirana penasaran.
"Aku hanya menggertaknya saja, tidak ada CCTV di sana!" ungkap Zayn, sembari memberikan sendok kepada Kirana.
Sintia mengunjungi Adrian di kantornya dengan membawa beberapa makanan. Saat itu, Adrian tidak ada di ruangannya karena sedang berada di ruang rapat. Karena bosan menunggu, Sintia melihat-lihat ke sekeliling ruangan suaminya. Dulu dia tidak leluasa saat mengunjungi Adrian di kantor, karena saat itu Adrian masih bertunangan dengan Kirana dan Almarhum Hermawan pun berada di perusaahan yang sama dengan Adrian.
Namun, kini dia sudah bebas mengunjungi Adrian kapan saja, termasuk melihat-lihat seluruh isi ruangannya. Sintia duduk di meja tempat suaminya bekerja, ia melihat-lihat isi meja dan membuka laci, tangannya terhenti ketika dia menemukan satu bingkai foto dalam posisi terbalik. Sintia mengambil foto itu. Foto Adrian bersama Kirana dengan wajah mereka yang sedang tersenyum, seketika Sintia merasakan perasaan panas di hatinya.
Tidak lama kemudian, Sintia mendengar langkah kaki mendekati pintu. Segera dia mengembalikan foto tadi ke tempat semula, dan menutup kembali laci meja. Dia berdiri menyambut Adrian yang sudah kembali dari rapat.
"Kmi tidak bilang akan datang," ucap Adrian, setelah tahu Sintia berada di ruangannya.
"Aku hanya mampir dan membawakanmu makanan ringan," timpal Sintia, dia duduk dengan menyilangkan kaki di sofa yang berhadapan dengan Adrian.
Adrian melirik ke arah kotak makanan yang di bawa Sintia, lalu melanjutkan kembali pekerjaannya.
"Aku mendengar kabar dari Mamamu tentang Kirana yang melakukan aborsi." Sintia memancing reaksi Adrian, tapi lelaki itu tampak tidak menggubris ucapan Sintia seolah masih fokus dengan pekerjaan.
Kemudian Sintia melanjutkan, "Aku pikir dia benar-benar gadis lugu, baik hati seperti yang pernah kamu bilang, ternyata dia sanggup berbuat itu."
"Aku sudah tidak ingin mendengar tentangnya." Adrian seolah acuh.
Mendengar itu Sintia tersenyum, "Baguslah, kamu seharusnya lebih memperhatikan aku dan calon anak kita. Lagi pula aku ragu jika Zayn baru mengenal Kirana. Mereka terlihat sangat akrab, seperti sudah saling mengenal dengan lama ...."
"Sintia, tolong berhenti membahas dia! Jika kau ingin terus membicarakannya, lebih baik kamu pulang saja, agar tidak menggangu aku bekerja!" Adrian terlihat kesal.
"Oke ... aku tidak akan membicarakan Kirana lagi, karena aku harus pergi. Kamu terlihat sangat sibuk." Sintia bangkit dari duduknya, dan menghampiri Adrian lalu mencium sebelah pipi suaminya itu.
"Nanti malam jangan pulang terlambat ya!" pesan Sintia, ketika di pintu sebelum pergi.
Adrian tidak menjawab karena masih fokus terlihat fokus dengan pekerjaannya. Setelah mendengar ketukan sepatu Sintia semakin menjauh, dia memukul meja dengan kepalan tangannya.
"Kirana, Zayn, sialan kalian!"
Foto yang dilihat Sintia ada di Coments