"Papa jangan pergi tinggalkan aku. Aku tak ingin sendirian di sini. Papa tahu sendiri kan jika aku ini tidak bisa hidup tanpa Papa." Marysa menangis sesenggukan di makam ayahnya. Albert Schyler, ayah Marysa, telah pergi meninggalkan dunia ini. Ia meninggalkan anaknya sendirian di Buitenzorg. Tak ada keluarga atau kerabat yang tinggal di daerah sana. Hanya ada sahabatnya, Diederick van Devries yang ia percayai. Padahal baru kemarin Marysa dan Diederick berbincang-bincang dengan Albert Schyler di teras rumah keluarga van Devries.
Albert berencana untuk bertemu rekan kerjanya di Netherlands, ia ingin mengajak temannya itu untuk datang ke Hindia Belanda dan membantu pekerjaannya. Ingin sekali ia membawa Marysa ke negara kincir angin itu, namun karena perjalanan yang jauh dan membutuhkan waktu berminggu-minggu membuat Albert memutuskan untuk meninggalkan Marysa di Buitenzorg. Menitipkan anak semata wayangnya di rumah keluarga van Devries. Dengan senang hati, keluarga van Devries menerima keinginan Albert. Terutama Kathriena, ia sangat senang saat mengetahui Marysa akan menetap sementara di rumahnya. Entah apa yang dipikirkan Kathriena, tiba-tiba saja ia merasa sangat senang tatkala Marysa akan tinggal di sana. Semua orang yang tinggal di rumah keluarga van Devries benar-benar dibuat kebingungan. Semenjak kehilangan anak keduanya, Kathriena tak pernah mau berbicara dengan siapapun termasuk dengan anak pertama dan suaminya, bahkan ia juga tak mau keluar dari dalam kamar. Holland dan Diederick mencoba menghilangkan kebingungan mereka terhadap sikap Kathriena, mereka merasa senang dan tenang jika Kathriena sudah kembali tersenyum.
Setelah menitipkan anaknya kepada keluarga van Devries, Albert pergi ke pelabuhan di Batavia menggunakan kereta. Namun saat itu juga, kereta yang tengah ditumpanginya lepas kendali, kereta tergelincir dan terguling lalu meledak dengan cepat. Kebakaran hebat pun terjadi saat itu juga. Tak ada yang selamat dalam insiden naas itu, termasuk Albert. Kabar kecelakaan itu pun menyebar dengan cepat, hingga terdengar oleh keluarga van Devries. Tak ada yang bisa mereka lakukan, Diederick terpaksa menyembunyikan kematian Albert dari telinga Marysa. Namun bagaimanapun, Marysa selalu ingin tahu apa saja yang dibicarakan oleh keluarga van Devries. Diam-diam, ia mendengar kabar itu dari kamar Diederick. Saat itu Diederick tengah berbicara dengan Kathriena tentang kematian Albert. Seketika saja terdengar jeritan Marysa yang begitu keras sehingga Diederick dan Kathriena keluar kamar dan melihat Marysa tengah menangis. Mereka tak bisa melakukan apa-apa dan terpaksa menceritakan bagaimana kronologi kematian ayah Marysa.
Satu hari setelah kejadian itu, tepatnya hari ini, Marysa memaksa Diederick untuk membawanya ke hadapan sang ayah. Dengan sangat terpaksa, Diederick menuruti kemauan Marysa. Diederick mengajak Marysa dan Kathriena serta Holland ke tempat di mana Albert terbakar. Jasadnya terkubur di sana, bersamaan dengan penumpang kereta lainnya. Batu nisan dengan nama Albert Schyler terpampang jelas di sana. Marysa memeluk batu nisan itu dan menangis sejadinya.
"Sudahlah, Marysa, kau tak usah menangisi Papamu lagi. Aku yakin Papamu akan bertemu dengan Mamamu dan mereka akan bahagia di alam sana. Sementara kau di sini, tersenyumlah untuk mereka karena menangisi mereka bukanlah jalan yang tepat. Mereka akan tersiksa jika kau terus menangis," ucap Diederick. Memang benar, bukan hanya ayahnya saja yang telah meninggalkan Marysa. Ibunya, Evelien Schyler pun sudah meninggalkannya beberapa bulan yang lalu. Marysa benar-benar terpukul saat itu dan saat ini pula, ia harus kembali merasakan pukulan yang luar biasa untuk kedua kalinya. Marysa memang masih kecil, namun ia sudah mengerti bagaimana sakitnya ditinggal oleh orang-orang yang sangat ia sayangi.
"Yang di katakan Diederick itu benar, Marysa. Kau tak usah menangis lagi, di sini kan ada kami yang akan selalu menjagamu dan menemanimu. Kau tak perlu merasa sesedih itu," kata Kathriena mencoba menenangkan gadis kecil itu.
"Ja, Marysa. Lebih baik kau ikut dengan kami. Kau juga boleh tinggal di rumah kami, jika kau mau. Boleh kan Ma?" tanya Holland kepada Kathriena.
"Natuurlijk," balas Kathriena.
"Ayo Marysa! Kita harus pergi dari sini, aku rasa hujan akan segera turun," ajak Diederick.
"Tinggalkan aku sendiri Tuan, aku mohon!" pinta Marysa. Diederick, Kathriena dan Holland begitu terkejut saat mendengar permintaan Marysa.
"Tapi Mary, hari sudah mau hujan. Jika kau kehujanan dan sakit bagaimana? Aku tak mau melihatmu sakit," ucap Kathriena sembari memegang bahu Marysa mencoba membantu Marysa untuk berdiri.
"TINGGALKAN AKU!" bentak Marysa sembari menghempaskan kedua tangan Kathriena. Kathriena tersentak kaget dan ia hampir terjatuh, untung saja Diederick yang berdiri di belakangnya dengan sigap menahan tubuh Kahriena agar ia tidak terjatuh.
"Baiklah jika itu maumu. Kami akan menunggumu di ujung jalan," ucap Diederick lalu ia pergi bersama dengan Kathriena dan Holland yang ikut meninggalkan Marysa. Mereka akan menunggu Marysa di depan pemakaman ini, mereka tak akan pernah meninggalkan Marysa sendirian. Tanpa mereka sangka, hujan datang dengan cepat. Padahal langit terlihat tidak begitu gelap. Dengan cepat, Holland memutar badannya dan berlari menuju Marysa. Diederick dan Kathiena begitu terkejut dengan tingkah anak mereka. Mereka tidak mencegah Holland, mereka sangat tahu jika anak mereka tidak mudah sakit. Mereka pun memutuskan untuk tetap pergi ke ujung jalan.
Holland terus berlari di bawah tangisan langit. Ia pun mengatur nafasnya ketika ia sudah sampai di hadapan Marysa. Marysa terkejut dan memandang Holland dengan tatapan heran. Kenapa lelaki ini kembali? Mungkin satu pertanyaan itulah yang ada di benak Marysa.
"Untuk apa kau menangisi kepergian Papamu? Apa ia akan kembali jika kau terus menangis? Apa dia akan merasa bahagia jika kau terus di sini dan membiarkan tubuhmu kehujanan? Jika kau menjawab ya, kau salah Mary. Papamu tak akan tenang jika kau bersikap seperti ini. Jika Papamu tak tenang di sana, ia akan turun ke bumi dan mencarimu. Ia akan datang ke dalam mimpimu dengan wujud yang menyeramkan. Apa kau mau melihat Papamu seperti itu, Mary? Aku yakin kau akan menjawab tidak, karena kau adalah gadis penakut. Jika kau tak ingin hal itu terjadi, berhentilah menangis dan ikutlah denganku!" Ucapan Holland malah membuat Marysa menundukkan kepala dan isakkan tangisnya sangat terdengar jelas.
"Kau benar, Holland, aku adalah gadis penakut. Aku tak ingin melihat wujud Papaku, aku sangat takut. Maka dari itu aku tak ingin jika Papa meninggal dunia. Aku tak bisa merelakan kepergian Papaku. Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi, Holland. Papa dan Mama sudah meninggalkanku. Mungkin aku masih bisa menerima kepergian Mama, namun jika Papa yang harus pergi, aku harus berbuat apa? Aku tak bisa menerimanya. Kenapa Tuhan begitu jahat kepadaku? Kenapa Ia mengambil orang-orang yang ku sayangi?" tanya Marysa disela tangisannya.
"Aku pernah merasakan di posisimu, Mary. Aku pun menyalahkan Tuhan atas kepergian calon adikku. Namun aku kembali sadar, sebaiknya kita tak usah menyalahkan Tuhan. Tuhan itu baik, ia mengambil orang yang kita sayangi karena Tuhan ingin mereka berada di sisi-Nya."
"Benarkah begitu? Jika benar, berapa banyak orang yang berada di sisi Tuhan? Apa Papa dan Mamaku termasuk orang yang berada di sisi-Nya?" tanya Marysa dengan polos.
"Natuurlijk, Mary. Mereka pasti ada di sisi Tuhan. Percayalah! Kau tak usah menangis lagi, aku, Mama dan Papaku akan menemanimu sepanjang waktu. Kau tak akan merasakan kesepian, Mary. Jika kau mau, anggap saja kedua orang tuaku adalah orang tuamu. Kau boleh memanggil Papaku dengan kata Papa dan Mamaku dengan kata Mama. Semua terserah kepadamu, Mary. Aku hanya ingin kau tersenyum, aku tak ingin terus melihat gadis jelek sepertimu menangis. Asal kau tahu, kau terlihat sangat jelek jika kau menangis," ejek Holland sembari cekikikan.
"Kau jahat Holland. Aku ini gadis cantik, walaupun aku menangis, pasti aku akan terlihat cantik. Mama dan Papamu saja mengakui jika aku ini memanglah cantik," balas Marysa. Perlahan ia mulai mendongakkan kepala. Holland terkejut melihat raut wajah Marysa yang berubah. Ia terlihat kesal.
"Haha. Baiklah gadis cantik. Sekarang kau ikutlah denganku," ajak Holland sembari mengulurkan tangan. Marysa tersenyum lebar sembari menghapus air matanya dan ia pun menerima uluran tangan Holland. Holland menarik tangan Marysa lalu membawanya pergi dari kuburan ayah Marysa. Holland membawa gadis itu ke hadapan Diederick dan Kathriena. Pasangan van Devries begitu terkejut melihat keakraban mereka. Holland masih menggenggam erat tangan Marysa, begitupun sebaliknya. Mereka sama-sama tersenyum manis di hadapan pasangan van Devries. Lalu mereka memutuskan untuk pergi dari pemakaman itu.
Bersambung...
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.