Davina tak berani menatap ke arah Rico. Ia bahkan terlihat beberapa kali menggigit bibir bawahnya. Hal itu tentu saja membuat Rico heran.
"Kenapa?" tanya Rico.
Davina gemetaran tak karuan, matanya hampir saja menitikkan air mata karena takut.
"Sini, ikut aku," ujar Rico sambil menarik tangan Davina dan mengajaknya pergi dari sekolah.
Entah kenapa, Davina hanya menurut saja kepada Rico. Ia tak tahu harus bagaimana saat ini.
"Mas," ujar Davina lirih.
Davina melirik ke arah Mading yang masih menjadi bulan-bulanan para siswa. Rico menoleh ke arah Mading dan ia melihat foto yang ditempel di Mading oleh orang yang tak bertanggung jawab.
Rico segera menarik foto itu dari Mading dan mengantonginya.
"Buruan!" ujar Rico.
Mereka segera ke tempat parkir dan meninggalkan sekolah. Davina hanya pasrah saat Rico mengajak Davina naik motor sportnya.
Ternyata, Rico mengajak Davina ke tempat tongkrongannya. Di sebuah rumah kecil yang letaknya tak jauh dari sekolah.
"Siapa, Ric? Yang baru lagi?" tanya salah seorang teman Rico yang ada di tempat itu.
"Berisik. Aku mau ke atas. Jangan ada yang nguping lho, ya," ujar Rico sambil membawa Davina masuk.
"Mas, kita mau apa?" tanya Davina yang tak suka dengan tempat seperti ini.
"Ssst!" Rico hanya memberi tanda telunjuk ke bibirnya agar Davina diam saja.
Mereka lantas masuk ke dalam salah satu ruangan yang lebih mirip dengan kamar di lantai atas. Rico membawa Davina ke dalam dan menutup pintunya.
Ada sebuah ranjang kecil di sana, Rico melempar tasnya dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
"Mas!" pekik Davina. Gadis itu mencoba pergi dari tempat itu. Namun ternyata pintunya sudah ditutup oleh Rico.
"Mas Rico, kenapa aku dibawa ke sini? Aku mau pulang," ujar Davina.
"Sini, sini. Duduk sini dulu sama aku," ujar Rico.
"Mas, aku ... "
"Yang ada di Mading itu kamu sama Ali, kan?" tanya Rico meminta konfirmasi dari Davina.
"Aku engga tahu," sahut Davina menyangkal pertanyaan Rico.
"Ini jelas tangan kamu," ujar Rico sambil mengeluarkan foto yang ada di kantongnya.
Davina buru-buru merebut foto itu dan merobeknya. Matanya terlihat jelas kalau ia ingin menangis. Namun ia berusaha menahannya.
"Makanya kalau pacaran jangan di sekolah. Kalau begini gimana coba? Kalau sekolah tahu kamu bisa dikeluarin," ujar Rico.
Ucapan Rico itu seketika membuat Davina tak bisa lagi membendung air matanya. Ia benar-benar merasa bersalah karena sudah terlena dengan kemesraan yang ia lakukan dengan Ali.
"Malah nangis?" Rico segera berdiri dan menarik Davina ke dalam pelukannya.
Tak ada perlawanan dari Davina. Gadis ini hanya diam saja karena ia benar-benar tak tahu harus bagaimana saat ini.
"Sekarang aku mesti gimana, Mas? Aku takut," ujar Rico.
"Kamu harus omongin ini sama pacar kamu. Jangan kamu pendam sendiri. Kalau aku, aku akan mati-matian lindungi kamu. Sayangnya kamu bukan cewekku," ujar Rico.
"Gimana kalau Ali ngga mau ... "
"Kalau dia sayang sama kamu, dia pasti mau jagain kamu," ujar Rico.
Davina melepas pelukan Rico dan menatap wajah kakak kelas yang berdiri di depannya itu.
Rico tak setampan Ali, namun tak bisa juga dikatakan tak tampan. Ali memiliki postur wajah mirip orang timur tengah. Dan Rico memiliki ketampanan asli dalam negeri.
Rico menghapus air mata di pipi Davina. Sambil ia sedikit mencubit pipi Davina.
"Gemes," ujar Rico.
"Mas, kog pegang-pegang aku sih?" tanya Davina.
"Ouh, sorry. Kebawa perasaan aja. Ya, udah. Kamu udah engga sedih, kan? Sekarang aku mau tidur. Nanti kalau udah jam empat bangunin. kuantar kamu pulang," ujar Rico.
"Kenapa engga pulang sekarang?"
"Aku capek banget, Davina. Aku beneran ngantuk," ujar Rico.
Pria itu lantas merebahkan kembali dirinya di atas ranjang dan memejamkan matanya. Davina lantas berpindah duduk di lantai dan hanya berdiam diri.
Ia tak tahu harus bersikap bagaimana saat ini. Ia bukannya berlari ke Ali untuk menyelesaikan masalah ini. Ia justru terperangkap bersama pria lain di sebuah ruangan.
Davina memeluk lututnya dan merenung. "Andai saja aku engga berduaan sama Ali," gumam Davina.
Hampir jam empat sore, Davina mencoba membangunkan Rico.
"Mas, Mas Rico, bangun, Mas," panggil Davina.
Namun Rico tertidur teramat lelap. Ia tak mau bangun hanya dengan dipanggil oleh Davina. Davina pun memberanikan diri untuk menggoyangkan kaki Rico, namun tetap saja Rico tak mau bangun.
"Mas, Rico!" panggil Davina kesal.
Karena tetap tak mau bangun, Davina pun menepuk pipi Rico beberapa kali agar Rico bangun.
"Eeuuh!" Rico melenguh sejenak. Namun matanya kembali terpejam.
"Maaas!" rengek Davina sambil menggoyangkan seluruh tubuh Rico.
Sontak saja Rico terbangun. Dan dia malah merangkul Davina, sehingga gadis itu berbaring bersamanya di atas ranjang sempit itu.
"Mas Rico!" pekik Davina.
"Masih ngantuk," ujar Rico.
"Lepasin ngga?"
"Heuum," Rico malah menempelkannya keningnya ke kepala Davina.
Dan tentu saja Davina merasa canggung luar biasa. Ia tak bisa lari kemana pun dan hanya bisa menatap wajah Rico, kakak kelasnya.
"Mas, kita engga boleh begini," ujar Davina.
"Kenapa? Takut ketahuan Ali? Dia bukan suami kamu juga, kan?" ujar Rico.
"Bukan begitu. Kita engga boleh begini!" Davina mencoba melepaskan pelukan Rico kepadanya tapi tangan Rico terlalu kuat memeluknya.
Rico membuka matanya yang sejak tadi terpejam. Ia menatap Davina yang berada tepat didepannya.
"Tomboi, kamu itu sebenarnya cantik, lho," ucap Rico yang membuat Davina seketika tersipu.
"Apaan?"
"Sayangnya kamu bukan tipeku." Rico tiba-tiba melepaskan tangannya dan memilih untuk menatap ke langit langit.
Kenapa jantung Davina terasa berdebar saat mendengar ucapan Rico. Rasanya sama seperti saat Ali mengatakan ia menyayangi Davina.
"Mas, ayo pulang," ujar Davina juga sambil menatap langit langit.
***
Keesokan harinya, keadaan kembali normal. Tak ada lagi yang membicarakan tentang gosip kemarin meskipun masih ada satu dua yang iseng.
Davina melihat Ali melintas di depan kelasnya seolah tak mengerti apa-apa.
"Cih," desah Davina.
Saat jam istirahat, Ali ke kelas Davina untuk menemui kekasihnya.
"Kemarin aku engga berangkat kog, kamu engga nengok?" tanya Ali.
"Maaf," jawab Davina dengan enggan.
"Kenapa?" tanya Ali.
"Engga apa-apa," jawab Davina lirih.
"Kakiku sakit," rengek Ali dengan nada manja.
Davina menatap nanar ke arah Ali. Rasanya ingin marah karena Ali tak ada di saat ia benar-benar membutuhkan support.
Tapi melihat cara berjalan Ali yang sedikit pincang, tetap saja ia tak tega.
"Nanti kuantar pulang," ujar Davina.
"Beneran? Ah, Makasih, Sayang," ujar Ali dengan senyum bahagianya
***
Dan seperti yang dijanjikan, Davina mengantar Ali pulang dengan angkutan karena Ali tak bisa membawa motor saat ini.
Davina menemani Ali yang berjalan cukup lambat karena ia sedikit pincang.
"Maaf, ya, kamu jadi repot karena aku," ujar Ali.
"Udah, ah, jangan ngomong begitu," ucap Davina.
Bersambung ...