Lantaran pekerjaan Ferry yang tidak bisa ditinggal lama, oleh sebab itu suami Tias memutaskan untuk kembali lagi ke Lampung, dua jam setelah sampai di Cilegon. Sehingga, di meja makan hanya ada Tias dan Eza, sedang menikmati makan malam. Ada Arga--masih dalam satu ruangan, tengah duduk di atas kuda karetnya, sedang menonton televisi sambil disupai oleh bu Itum. Sedang pak Tono memilih duduk di teras, mencari udara segar, bersama beberapa karyawan yang nantinya akan dipercayai untuk mengurus cabang baru di Cilegon.
Suasana makan malam antara Eza dan Tias, terasa sangat tenang. Yang terdengar hanya suara dentingan sendok, beradu dengan piring.
"Kirain, mama mau ikut kalian," ucap Eza setelah meneguk segelas air mineral--menyudahi makan malamnya.
"Aku kira juga gitu, cuma kata mama nanti aja." Tias meneguk air mineral. Wanita itu juga sudah menghabiskan makan malamnya. "Oh iya Za, aku besok ke mall ya. Aku mau nyari sesuatu buat keperluan aku di sini. Sekalian pengen jalan-jalan bentar sama Arga."
Eza mengangguk, "boleh," ucapnya.
Tias tersenyum simpul. Setelahnya ia membereskan piring yang baru saja digunakan makan malam oleh mereka.
"Ayah!"
Suara Arga membuat Eza dan Tias lantas menoleh ke arah anak kecil itu.
"Kenapa sayang?" Sahut Eza.
"Aga mau bobo cama mami Tias," kata Arga dengan mulut yang masih penuh makanan.
"Nggak boleh, mami Tias capek. Bobo sama ayah aja."
Mendengar itu kedua pipi Arga menggembung. Dari raut wajahnya, terlihat sekali kalau bocah kecil itu sedang merajuk.
"-kalau bobo sama mami Tias, besok nggak diajak jalan-jalan ke mall." Lanjut Eza mencoba membujuk putranya. "Pilih mana, jalan-jalan apa bobo sama mami Tias?"
"Jalan-jalan," sahut Arga cepat.
Eza dan Tias tersenyum simpul.
Sebenarnya Tias merasa tidak keberatan kalau Arga tidur bersamanya, hanya saja ia tahu, untuk urusan tidur, Eza terlalu pelit. Kadang Tias harus memohon terlebih dahulu supaya sahabatnya itu, mengizinkan anaknya menginap di rumahnya. Malam ini, Tias sedang tidak ingin memohon.
"Yas..." panggil Eza kemudian.
"Kenapa?"
"Aku mau ngobrol sebentar di ruang tengah, bisa?"
Tias menunjuk piring kotor yang sudah ia tumpuk di hadapannya. "Aku nyuci ini bentar, ya."
"Ya udah, aku tunggu." Eza beranjak lalu berjalan ke arah ruang tamu, melewati sang anak yang masih duduk di atas kuda karetnya. "Makan yang banyak, biar endut kaya om Ferry." Setelah mencium sambil mengsap puncak kepala Arga, Eza melanjutkan perjalanannya.
***
"Ada apa, Za?"
Eza menggeser posisi duduknya, memberikan tempat supaya Tias medudukkan diri di sampingnya.
"-Apa ada masalah, soal cabang baru kita?" Tanya Tias kemduian.
"Sebenarnya bukan soal kerjaan."
"Terus, soal apa?" Tias menatap tanya pada pria di sebelahnya.
"Soal mama," jawab Eza to the point.
"Mama?" Kening Tias berkerut. "Emang mama kenapa?"
Eza menghela napas panjang, sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. "Aku enggak tau, ini cuma perasaanku aja, atau mungkin mama emang udah tahu soal cincin yang aku pake-"
Manik mata Tias melirik ke telapak tangan sahabatnya. Wanita itu membuang napas lembut, melihat cincin dengan huruf A masih melingkar di jari manis Eza.
"-waktu aku berangkat kemaren, mama liatin cincin ini terus," tutur Eza melanjutkannya.
Pria itu sudah sangat dewasa, tentu saja ia bisa membaca bagaimana cara ibunya melihat cincin itu di jarinya.
Lagi, Eza menghela napas. "Perasaanku aja kali ya?" Pria itu menoleh ke arah Tias yang juga sedang menatapnya datar. "Menurutmu gimana?"
"Eum," gumam Tias. Wajahnya mendadak terlihat salah tingkah. "Za... sebenarnya, mama emang udah tau_"
Deg.
Mendengar itu tubuh Eza mendadak terasa lemas. Tentu saja ia terkejut. Pria itu selalu menyimpan rapat prihal cincin dan bagaimana perasaannya, selama ini.
"-maafin aku Za," ucap Tias cepat, sebelum Eza mengatakan sesuatu. "Aku nggak bisa bohong sama mama. Aku enggak tahan didesak terus-terusan." Wanita itu menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan. "Aku terpaksa cerita semuanya sama_"
"Termasuk alasan, kenapa aku cerai sama Mira?" Potong Eza.
Tias menggigit bibir bawah sambil menganggukkan kepala. Raut wajahnya terlihat sekali, kalau wanita itu sedang ketakutan--cenderung merasa bersalah.
Membongkar rahasia besar yang sudah dititipkan, adalah kesalahan fatal. Kemungkinan yang akan terjadi setelahnya, sebuah kepercayaan yang sudah diberikan, akan luntur detik itu juga.
Pengakuan jujur Tias membuat Eza menghela napas. Pria itu memutar kepalanya--menatap plapon ruangan. Guratan kecewa terlihat jelas di raut wajahnya. "Aku sengaja nggak kasih tau mama, aku cuma enggak mau dia kecewa." Nada suaranya terdengar datar.
Telapak tangan Tisa meraih pergelangan sahabatnya dalam genggaman. "Za, plis aku minta maaf," mohon Tias.
"Nggak apa-apa," sahut Eza pasrah. "Mungkin mama emang harus tau. Tapi jujur, aku malah jadi lega sekarang. Seenggaknya, aku nggak harus susah payah, ngasih tau soal ini sama mama."
Eza menoleh ke arah Tias. Pria itu memberikan senyum semanis mungkin, supaya sahabatnya terbebas dari perasaan bersalah.
"-aku enggak marah sama kamu," jujur Eza mencoba mencairkan keadaan. "Jangan tegang gitu."
Dan itu sukses membuat Tias akhirnya menghela napas legah. "Aku kan takut Za," ungkapnya.
"Tapi, mama kenapa nggak pernah nanya sama aku, ya?"
"Nggak mungkin mama tanya sama kamu. Itu terlalu sensitif, mama juga jaga perasaan kamu," ujar Tias. "Bagi mama, yang penting anaknya bisa bahagia."
Setelah mengatakan itu, Tias mengalihkan perhatiannya pada cincin berhuruf A di jari manis sahabatnya. "Aku juga baru tau, kamu pake lagi cincin itu," komentarnya kemudian.
Eza hanya mengulas senyum, sambil menatap langit-langit ruangan. Pria itu juga bingung harus bagaiaman menjelaskannya.
"Za..." panggil Tias. "Kamu seirus masih nungguin dia__eum maksudku, kamu masih berharap ketemu sama dia?"
"Aku enggak tau Tias." Menggunakan lima jari tangan, pria itu menunjuk dada bidangnya. "Yang jelas... dia masih di sini."
"Udah lima tahun lebih lho Za. Aku tuh masih enggak percaya, kalau orang seperti kamu bisa kejebak sama masalah perasaan." Tias menatap heran kepada sahabatnya. "Coba liat kamu Za... Kamu itu laki-laki yang matang, sukses! Kamu enggak pantes kalau harus terbelenggu sama masalah hati. Apalagi__maaf, yang bikin kamu kayak gini, itu laki-laki."
"Mungkin itu kelemahanku," serga Eza. Setelahnya ia menghela. "Aku juga manusia biasa."
"Tapi mau sampai kapan kamu kayak gini, Za?" Pungkas Tias. "Kamu kayak lagi nungguin bulan jatuh tau nggak? Nyiksa diri kamu sendiri. Bisa aja kan, sekarang dia udah lupa sama kamu. Paling, dia juga udah bahagia sama hidupnya sekarang. Punya istri sama punya anak. Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar, Za." Tias mendesis sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. "Lha kamu, ngrobanin diri sendiri, bahkan pernikahan kamu. Kenapa dulu kamu harus nikah sama Mira coba?"
"Jawabnya itu tadi, aku manusia biasa Tias. Mungkin nikah sama Mira itu kesalahan terbesarku, karena akhirnya aku enggak bisa bertahan. Tapi menurutku ini jauh lebih baik, dari pada aku bertahan sama pernikahan, tapi hati sama pikiranku, masih ada dia." Tegas Eza menatap seirus kepada sahabtanya. "Gimana perasan kamu kalau jadi Mira?"
Tias menghela napas panjang sambil meraih pergelangan Eza. Sorot matanya menatap teduh wajah Eza yang juga sedang menatap dirinya. "Aku tau Za tapi kamu itu temenku. Kita udah belasan tahun bersahabat. Aku peduli sama kamu. Ayolah Za, coba mulai hidup baru, buka hati kamu buat orang lain. Banyak Za yang_"
"Tias," pangkas Eza memotong kalimat sahabatnya. "Aku enggak mau ngulang kesalahan yang sama. Kamu jangan khawatir, aku juga enggak pernah minat sama laki-laki lain. Aku bisa jaga diri dan aku__"
Aku cuma sayang, cuma cinta sama dia. Sebenarnya kalimat itu yang ingin dilanjutkan oleh Eza. Namun sayang, tiba-tiba saja pria itu seperti tersedak--menahan sesak. Kalimat itu hanya mampu sampai di tenggorokan, lalu menghilang, bersama ludah yang ia telan.
***
Tias tersenyum simpul melihat tawa riang Arga, yang sedang bermain di Timzone, arena bermain yang ada di salah satu mall kota Cilgon. Wanita itu melihat arlogi yang melingkari pergelangannya. Waktu sudah menunjukan pukul 14.20. Tias baru sadar kalau sejak tadi ia hanya menemani Arga bermain, dan belum membeli apapun kebutuhan pirbadi nya.
"Ya ampun, aku belum belanja sama sekali. Mbak Tum, tolong tungguin Arga di sini aku mau ke carefoor bentar."
Ibu Itum mengangguk. "Iya, bu."
"Jangan kemana-mana sebelum aku balik lagi ke sini, ya."
Setelah menyampaikan itu, Tias bergegas meninggalkan Timezino, berjalan tergesa menuju Carefoor yang masih berada di dalam satu Mall.
Tias mengambil keranjang belanja yang tersedia di dekat kasir. Lantaran khawatir meninggalkan Arga di arena bermain, wanita itu lansung menuju ke rak atau etalase yang menyediakan kebutuhan pribadi.
Setelah memasuki beberapa lorong Carefoor, keranjang belanja Tias kini sudah di penuhi barang-barang yang ia butuhkan. Wanita itu menghela napas. Merasa lega karena sudah berhasil berbelanja dalam waktu yang luamyan singkat, tidak seperti biasanya.
Perasaan tidak tenang lantaran takut Arga menangis, memaksa wanita itu bergegas menuju kasir, guna menyelesaikan pembayaran.
Ditengah perjalanan ke kasir, wanita itu memperlambat langkah. Ia sedang mengecek kembali belanjaan di dalam keranjang. Sekedar memastikan, semua kebutuhan sudah ia beli tanpa ada yang terlewat.
Namun hal itu malah membuat wanita itu tidak memperhatikan jalan. Hingga akhirnya brak Tias menabrak seseorang di hadapannya, hingga menjatuhkan keranjang berisi belanjaannya.
Mengabaikan belanjaan yang sudah tercecer, mata Tias membulat menatap orang itu yang sedang terkejut menatapnya.
Tias terbengong, matanya yang membulat, menatap dengan teliti wajah pria yang baru saja membuat belanjaannya berantakan. Pada detik berikut berikutnya, wajahnya berkerut dan bibirnya mulai bergetar.
Sesaat kemudian tanpa berkata apapun, Tias mengayunkan telapak tangan, hingga plaak! tamparan kuatnya mendarat tepat di wajah pria tersebut.
Tias mematung. Bola matanya yang berkaca menatap geram pada pria yang masih memegang bekas tamparan di wajahnya. Beberpa detik kemudian, wanita itu memangkas jarak, mendekati pria tersebut. Saat jarak sudah begitu dekat, Tias menghamburkan tubuhnya, memeluk erat pria berbadan atletis itu.
"Arga... kamu kemana aja sih?!" Isak Tias ditengah pelukan yang berlangusng. Banyak sekali rasa yang sedang di rasakan oleh Tias saat ini. Antara senang, terharu, bahagia, kesal, dan juga rasa-rasa lain, ikut bergabung di hatinya.
Tbc