Begh... begh...!
Arga menatap marah kepada pria berbadan tipis, yang baru saja ia berikan pukulan kuat di wajahnya. Dada telanjangnya bergerak naik turun, akibat napas yang memburu. Rahang tegasnya yang mengeras, menunjukan bahwa ia sedang marah basar.
"Aku udah bilang, aku nggak bisa!" Arga menatap tajam pria yang sedang membersihkan dara di sudut bibirnya--menggunakan ibu jari.
Pria yang belum diketahui namanya itu mendesis--menatap remeh kepada Arga. "Memang apa bedanya oral sama anal? Apa kamu pikir, kamu jadi terlihat suci karena tidak mau melakukan anal?" Cibir pria tersebut. "Prinsip kamu enggak akan ngerubah pandangan orang terhadap kamu. Melakukan anal atau enggak, kamu tetep pelacur! Murahan__"
Begh...!
Kalimat pria itu tertahan pada saat telapak kaki Arga menendang kuat perutnya. Pria itu meringis menikmati rasa sakit yang luar biasa.
Arga menjatuhkan tubuhnya, duduk berlutut di samping pria yang sedang terlentang di lantai. "Denger, aku emang pelacur, tapi aku tetep pegang prinsip. Aku emang enggak suci, enggak ada bedanya seperti anda yang suka menyewa pelacur."
Arga kembali berdiri sambil memungut pakaiannya yang tercecer di lantai. Setelai menutupi tubuh telanjang bulatnya dengan pakaian, Arga keluar kamar tanpa berpamitan.
"Brengsek!" Arga mengumpat setelah ia membanting pintu kamar hotel.
Ia benar-benar kesal terhadap pria yang mencoba memaksanya ingin melakukan anal. Yah, meski mendapat julukan seorang pelacur, Arga menolak keras jika pelanggannya ingin melakukan itu. Memang aneh, tapi kesepakatan itu selalu ia ajukan kepada setiap pelanggan yang ingin menyewa jasanya. Ia juga selalu berpesan kepada madam supaya menyampaikan syarat itu, sebelum kesepakatan terjadi. Semahal apapun bayaran yang ditawarkan, Arga tidak segan-segan menolak jika pelanggan ingin melanggar syaratnya.
Sejak pertama ia menjadi seorang pria penghibur, hingga detik ini, Arga berhasil mempertahankan prinsipnya. Selain itu, ia juga sangat menghindari pelanggan yang berjenis kelamin perempuan. Mungkin itu juga yang menjadi faktor kenapa ia bisa bertahan dengan prinsip anehnya.
Arga berjanji, ia akan melakukan penyatuan tubuh hanya dengan orang yang ia cintai.
***
Sang mentari sudah mulai terbit dari ufuk timur. Cahayanya yang cerah mengubah dunia yang gelap menjadi terang benderang.
Burung-burung terlihat berterbangan, seolah menari menyambut datangnya siang. Manusia di muka bumi sudah terlihat sibuk melakukan rutinitas nya masing-masing. Ada yang ke kantor, ada yang pergi ke sekolah, dan ada yang ke sawah bagi mereka yang berprofesi sebagai petani. Semua sibuk dengan aktifitas sehari-hari.
Cuaca kota Cilegon hari itu terlihat sangat cerah. Kendaran berlalu-lalang melintas disepanjang jalan kota. Suara mesin kendaraan, dan klakson terdengar bersahutan, mengalun tanpa henti seperti musik, yang selalu berkumandang setiap detik.
Cilegon memang kota kecil. Namun kota ini memiliki banyak industri terbesar di ASIA. Sehingga banyak perantau yang datang ke kota itu, untuk mengadu nasib. Bahkan telah tercatat, pemerintah kota Cilegon memberikan upah minimum rakyat--UMR terbesar di Indonesia. Itu sebabnya banyak sekali perantau dari seluruh Indonesia, datang untuk menggapai mimpi. Tidak terkecuali Arga.
Kemiskinan dalam hidup Arga, memaksa ia pergi ke kota Cilegon. Namun siapa sangka? Takdir telah mempertemukan ia dengan sosok Madam.
Madam adalah seorang yang berjiwa perempuan, namun ia merasa jiwanya itu telah terjebak dalam tubuh laki-laki. Meski begitu Madam adalah seorang pengusaha yang sukses, di dunia hiburan malam. Ia memiliki beberapa clup malam yang sangat terkenal di kota Cilegon.
Lalu pikiran buntu, dan tidak mempunyai pilihan, yang memaksa Arga akhirnya menerima tawaran Madam untuk bekerja di salah satu clup malam, miliknya. Sebenarnya, awalnya Arga hanya bekerja sebagai pelayan biasa, di clup itu. Namun wajahnya yang tampan, dan berkharisma, membuat banyak pengunjung diskotik, lantas merasa jatuh hati padanya.
Hal itu membuat madam merasa tertarik untuk menjadikan Arga seorang gogo dance. Dengan iming-iming bayaran yang tinggi madam sukses membuat Arga tidak mampu menolak. Tidak hanya berhenti sampai di situ. Aksinya yang memukau, dan wajahnya yang tampan sukses membius para pengunjung diskotik. Berkat Arga, diskotik Madam, berkembang sangat pesat.
Lagi-lagi berkat wajahnya yang rupawan, banyak pengunjung diskotik yang ingin merasakan tidur bersama Arga. Seperti biasa, dengan bayaran yang tinggi Arga menerima tawaran itu, namun dengan syarat.
Meski syarat yang diberikan Arga sangat aneh, namun tetap saja, Arga selalu menjadi incaran. Dan siapa sangka, ternyata syarat itu yang membuat pelangganya menjadi semakin penasaran padanya.
Singkat cerita, berkat profesi barunya itu kehidupan Arga berubah seratus delapan puluh derajat. Kini ia mampu membeli kendaraan pribadi roda empat, dan sedang mencicil satu unit perumhan untuk dirinya tinggal.
Suara panggilan telfon yang masuk berulang-ulang, membut Arga terbangun dari tidur nyenyak nya. Dengan mata terpejam, telapak tanganya meraba, mencari HP yang sejak tadi berdering nyaring.
Arga membuka mata, begitu benda persegi empat sudah berada dalam genggamannya. Pria itu mendengkus, melihat tulisan Madam memanggil, tertera di layar HPnya.
Menggeser tombol jawab, sebelum akhirnya Arga menempelkan benda berbentuk persegi empat itu di telinganya.
"Lonte.....!"
Terikan dari seberang sana membuat kening Arga berkerut sambil menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Seperti biasa, Madam selalu mengusik tidur nyenyaknya.
Arga menempelkan kembali HP itu ke kupingnya. "Ada apa Madam?" Jawabnya kemudian.
"Ya ampun dasar pelacur. Udah jam berapa ini baru bangun? Eyke telfon dari tadi nggak di angkat."
"Ada apa?" Sahut Arga tidak ingin berbasa-basi.
"Biasa ada pelanggan baru pengen booking kamu. Nanti aku kirim alamat dia."
Arga mendesah. "Hem."
"Eh tunggu, kamu apaain pelanggan baru kamu itu? Dia marah-marah sama aku?"
"Madam pasti udah tau alasanya?" Jawab Arga malas.
"Arga kamu kapan sih mau bertahan sama prinsip aneh itu? Kamu udah terlanjur terjun ke dunia malam. Jadi jangan nanggung, harus total. Kalau kamu mau, pasti__"
Tidak ingin mendengar ocehan lebih lama, Arga menutup telfon secara sepihak. Untuk apa? Pria itu sudah hafal dengan kalimat-kalimat yang akan diucapkan oleh madam.
Arga menggeliat, dengan rasa malas karena masi ngantuk, Arga bangun dari tempat tidurnya. Ia berdiri di samping tempat tidur--berolahraga kecil, melemaskan otot-otot nya yang terasa kaku.
Pria itu terdiam saat tidak sengaja pandanganya menangkap sebuah bingkai yang ia pajang di dinding--di sampung atas kepala ranjang.
Ia tersenyum simpul menatap foto yang terpasang pada bingkai tersebut. Telapak tangan nya mengulur, meraba gambar wajah yang sangat ia rindukan hingga saat ini.
"Za..." ia bergumam. "Kamu apa kabar? Pasti udah lupa ya sama aku. Tapi enggak apa-apa aku seneng. Paling, kamu udah bahagia kan, sama istri dan anak kamu. Tau nggak? Sampai sekarang, aku belum bisa lupain kamu."
Entahlah, lima tahun sudah berlalu, tapi bayang-bayang pria dalam foto itu tidak bisa ia lupakan begitu saja. Rasanya sangat sulit melupakan cinta pertamanya, pada seorang pria. Yang membuat semakin sulit dan sakit, ia harus pergi meninggalkan kekasihnya, di saat perasaan cinta sedang tumbuh bersemi di hatinya. Di saat rasa sayang itu, sudah mendarah daging dalam dirinya.
Dan sebenarnya, pria dalam foto itu adalah satu-satunya alasan tak terucap, mengapa ia selalu memberikan syarat kepada setiap pelanggannya.
Arga menghela napas panjang, mengusir rasa sesak tiap kali ia menatap terlalu lama foto itu. Tidak ingin larut menahan sesak, Arga memutar tubu berjalan ke arah kamar mandi. Tugas dari madam sedang menunggunya.
Tbc