Eza sedang sibuk sendirian mondar-mandir, dari dalam kamar, ke teras depan guna memindahkan beberapa travelback miliknya, dan juga milik Arga.
"Selesai..." pemuda itu berkacak pinggang, melihat travelback yang sudah ia susun rapih. "Tinggal nunggu taxi." Eza bergumam sebelum akhirnya ia kembali masuk ke dalam rumah.
Hari ini tepat dimana Eza dan Arga sudah harus kembali ke kota mereka di Bandar Lampung, lantaran tugas yang diberikan sudah selesai. Setelahnya, kantor yang akan melanjutkan hubungan kerjasama dengan beberpa klien di kota tersebut.
Sementara itu--Arga, yang tidak bersemangat kembali ke kota mereka, sejak tadi hanya mondar-mandir tidak jelas, membiarkan kekasihnya sibuk sendiri, tanpa ada niat ingin membantunya. Pemuda itu malah asik mengambil gambar tiap sudut ruangan--menggunakan kamera di HP nya.
"Kamu ngapain?"
Teguran yang dibarengi dengan sentuhan telapak tangan pada pundak, membuyarkan konsentrasi Arga yang sedang mengambil gambar dibagian dapur.
"Ngagetin aja." Dengus Arga. Ia menoleh sekilas pada pemuda yang sedang merangkul pundaknya, lalu kembali fokus menatap layar HP nya.
"Moto apaan si?" Kening Eza berkerut, menatap layar HP kekasihnya. Ia tidak melihat sesuatu yang menarik di layar HP tersebut.
"Moto dapur," sahut Arga tanpa menoleh.
"Buat apa?" Eza menatap geli wajah Arga yang terlihat serius.
"Soalnya aku pasti bakalan kangen sama semua ruang di rumah ini. Kamu tau nggak? Bagi aku, semua ruangan di rumah ini, itu tempat paling indah yang pernah aku temui. Bahkan lebih indah dari tempat-tempat wisata di seluruh dunia. Sunset on the beach aja kalah. Tempat ini, banyak nyimpen kenangan tentang kita."
Eza mendesis--tertawa singkat. "Ada-ada aja kamu." Ia melepaskan rangkul nya di pundak Arga, lalu berjalan ke arah sofa seraya menggelang heran.
Eza mendudukan pantatnya pada sofa di ruang tamu. Ia mengehela napas sambil menyandarkan punggungnya. Mengangkat beberapa koper sendiri dalam jumlah banyak, cukup membuatnya kelelahan. Istirahat sejenak, sebelum taxi online yang dipesan tiba, adalah pilihan tepat untuk dirinya.
Took... took... took...
Suara ketukan pintu, memaksa Eza reflek menoleh pada sumber suara itu berasal, lalu mendapati dua orang tengah berdiri di ambang pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi.
"Eh, pak Gunawan." Eza beranjak dari duduknya, menyambut kedatangan sang pemilik rumah sewa, bersama salah satu pegawainya. "Masuk pak, bu..."
"Wah, udah siap semua toh mas?" Ucap bu Parni setelah ia berdiri di samping Eza.
"Apa ndak pingin liburan dulu, masih banyak tempat wisata yang bagus di kota Jogja lho?" Imbuh pak Gunawan.
Eza tersenyum simpul, sambil mempersilahkan dua orang itu duduk. Bersamaan dengan itu, Arga menghentikan aktifitasnya, lalu berjalan ke arah sofa duduk di samping pemuda kesayangannya.
"Soalnya kita sudah harus pulang pak, masih banyak tugas yang menanti dikerjakan."
Pak Gunawan dan bu Parni mengangguk. Senyum ramah ikut menyertai anggukan nya.
"Ooh, kalau gitu langsung aja ya mas Reza. Soalnya, saya mau berangkat kondangan sama istri." Pak Gunawan membuka map yang sejak tadi ia bawah. Dari dalam map tersebut, pria yang memakai kemeja batik itu, mengelaurkan sesuatu, seraya berkata, "sebenernya saya ndak ada niat buat menjual rumah ini. Rumah ini memang sengaja saya siapkan khusus untuk disewa saja."
Arga menoleh, dan menatap Eza dengan pandangan mata penuh tanda tanya. Pemuda itu masih belum mengerti dengan apa yang baru saja disampaikan oleh pak Gunawan.
"Tapi... berhubung mas Reza ini membeli dengan harga tinggi, yah terpaksa istri saya memaksa supaya dijual aja." Lanjut pria tua tersebut. "Lumayan, kan bisa buat nambahin kondangan."
Gurauan pak Gunawan mengundang gelak tawa. Suasana yang tadinya tenang, berubah menjadi berisik.
Kecuali Arga. Pemuda itu hanya tersimpul menatap Eza. Sepertinya, ia sudah mulai mengerti maksud perkataan pak Gunawan.
"Ini silakan di chek sertifikat rumah ini, sama BPKB motor yang sering mas Reza dan mas Arga pakai."
Selesai membaca dengan teliti, Eza memasukan kembali surat-surat tersebut ke dalam map, lalu menyimpanya di atas meja.
Arga hanya membisu. Sesekali pemuda itu tersenyum simpul kepada pak Gunawan dan bu Parni, saat tatapan mereka tidak sengaja bertemu.
"Saya titip rumah dan motor sama mbok Parni, nanti tiap bulan saya stranfer sesuai yang sudah dibicarakan kemaren sama pak Gunawan."
"Injeh, mas Reza." Sahut mbok Parni sopan. "Insya Allah, saya rawat baik-baik rumah sama motornya."
"Oh iya mbok, saya minta tolong semua barang yang ada di rumah ini jangan di ganti, atau dipindahkan posisinya, cukup dibersihkan saja."
"Injeh mas Reza." Bu Parni mengangguk patuh.
"Kalau gitu, kami pamit permisi mas Reza... mas Arga." Pak Gunawan menutup obrolan seraya beranjak dari tempat duduk--menyusul yang lainnya. "Mohon maaf ndak bisa antar sampai Bandara."
Eza tersenyum simpul. "Nggak apa-apa pak, terima kasih untuk semuanya."
"Hati-hati di jalan mas Reza dan mas Arga, salam buat orang Sumatera." Pak Gunawan sambil menjabat tangan dua pemuda itu satu persatu.
Keduanya mengangguk takjim, lalu bergantian berjabat tangan dengan bu Parni.
"Hati-hati ya mas Reza, mas Arga." Bu Parni mengimbui. "Oh iya, nanti kalau mas Reza nikah jangan lupa kabar-kabar."
"Pasti bu." Eza mengangguk seraya tersenyum kecut. Manik matanya mencuri lirik pada pemuda yang langsung mengubah ekspresi wajah menjadi murung, tatkala mendengar kata pernikahan.
Setelah mengantar pak Gunawan dan Mbok Parni sampai depan pintu, kedua pemuda itu kembali berjalan ke arah sofa, menjatuhkan pantatnya di sana.
"Kamu beli rumah sama motor yang sering kita bawa itu?" Celetuk Arga setelah keduanya terdiam selama beberapa saat. "Buat apa, emang kamu mau tinggal di sini?"
Eza menghela. "Aku juga ngerasain apa yang kamu rasa. Rasanya enggak rela kalau rumah ini di tempatin orang lain--yah, sekalian investasi. Nggak nutup kemungkinan kan, suatu saat kita jalan-jalan ke sini."
Arga tersenyum datar. Pandangannya menebar ke segala penjuru rumah yang kini sudah menjadi milik Eza. "Kamu pasti ngabisin banyak duit."
"Aku sudah konsultasi sama mama, dan mama setuju. Terus mama langsung mindahin tabungan papa ke rekeningku." Jelas Eza.
"Apa pun yang kamu lakukan, aku cuma bisa dukung. Kamu lebih tau apa yang harus kamu lakuin. Tapi aku makasih, udah di kasih kejutan ini." Arga menatap kekasihnya, tersenyum nyengir. "Seneng juga sih, rumah ini jadi punyamu."
Telapak tangan Arga meraih dagu kekasihnya, menarik nya perlahan hingga semakin terpangkas, dan cup kedua pemuda itu memjamkan mata ketika bibir keduanya bersatu dan saling bertautan, hingga selama beberapa saat.
"Kita masih bisa terus kayak gini kan?" Arga melepaskan ciumannya, sorot matanya lurus menatap manik mata Eza.
"Pasti, aku sayang sama kamu."
Tiin... tiin...
Suara klakson mobil mengalihkan perhatian mereka--memaksa keduanya beranjak dari tempat duduk.
"Taxi nya udah dateng." Ucap Eza setelah keduanya berdiri di ambang pintu. "Yuk..."
Arga menghela napas gusar.
Tbc