Steve kemudian meremas kepalanya, ia juga berdiri dan tersadar apa yang dilakukannya. Namun hatinya sedikit sakit melihat adik iparnya itu menangis.
Sementara Sonia masuk ke sebuah kamar di lantai satu, kamar yang bersebelahan dengan kamar milik Steve! Ia menepuk-nepuk pipinya dan menyadarkan diri dari apa yang terjadi.
"Apa-apaan ini, bagaimana bisa aku tidak menolak ketika kak Steve menempelkan bibirnya di bibirku!" Sonia menjambak rambutnya sendiri.
Steve memasuki kamarnya, seraya memegang bibir miliknya yang masih basah. "Aku mencium seorang gadis, ini tidak salah sama sekali tetapi yang salah adalah dia istri adikku," Steve tak kalah stres dan menyesal.
Ia siap di pukul oleh Edward jika saja Sonia berbicara tentang kejadian ini, mungkin ia akan terpaksa tinggal di apartemen jika Edward mengusir nya.
Pagi berlalu, Edward turun dan sarapan tanpa menyapa Sonia yang sudah duduk lebih dulu di meja makan. Baru Steve menyusul, wajahnya merah padam, ia sangat malu pada Sonia terhadap kejadian semalam.
"Mau selai kacang?" tanya Sonia pada Edward, namun suaminya itu tak menjawab.
Sonia memberikan selai itu pada Edward namun pisau yang ia pakai untuk mengolesi roti malah mengenai pergelangan tangan Sonia karena Edward berusaha menolak selai kacang yang Sonia berikan. Darah langsung bercucuran di meja makan, tangan Sonia lunglai dan ia menjerit berusaha menahan darah keluar lebih banyak.
Edward khawatir namun sikap egoisme nya sudah terlalu tinggi. Steve berlari dan merobek penutup meja untuk menghentikan pendarahan. "Telpon Dokter Jack, cepat!" teriak Steve pada asisten rumah tangga. Sementara ia berusaha mengikat pergelangan tangan Sonia.
Edward melihat wajah istrinya kesakitan, namun ia tak mau bertindak. "Steve tolong suruh Dokter Jack mengobatinya dengan baik, aku ada meeting!" Edward bangkit dari duduknya dan pergi mengendarai mobil.
Sakit di hati Sonia lebih ngeri di banding luka pergelangan tangannya.
"Ayo duduk di sana dan letakan tangannya ke atas agar darahnya berhenti," Steve membawa Sonia ke kursi ruang tamu dan menyuruhnya tidur.
Dokter Jack tiba dan mengobati luka Sonia, gadis itu di beri penyangga untuk tangannya. Sonia tampak pucat karena kehilangan cukup banyak darah.
Seharian ia tampak kesusahan karena rasa sakitnya yang teramat di tangan.
Baju gadis itu di gunting karena sudah terdapat noda darah yang amat banyak. Sonia memilih tidur di lantai satu di sebelah kamar Steve.
Ia duduk di ujung ranjang dengan baju tanktop dan merasa tidak nyaman. Steve juga keluar masuk ruangan itu untuk mengecek keadaan Sonia. Ia bahkan mengira mungkin Sonia bertengkar hebat karena mengatakan kejadian tadi malam pada Edward.
"Kak, aku boleh minta tolong?" Sonia memanggil Steve yang mengantarkan makanan ke kamar Sonia.
"Apa?" Steve mendekati Sonia yang duduk.
"Aku ingin memakai baju super besar, ada kaos milikku di lemari itu, bisakah kamu membantu ku! Baju ketat membuat ku kesulitan bergerak," karena tangannya harus di sangga dan memiliki gerak terbatas.
Steve menngangguk, ia membantu Sonia memasukan satu demi satu tangannya dengan hati-hati karena takut gadis itu kesakitan. Walau di Belanda dan new York banyak sekali wanita seksi bahkan tak jarang yang menampilkan belahan dada dan pahanya. Penampilan Sonia di depan mata sendiri membuat Steve bergejolak, sebagai laki-laki normal ia merasakan dorongan lain di dalam dirinya.
Bentuk persik Sonia yang tidak terlalu besar, sangat sempurna dengan lekukan tubuhnya itu di balut tanktop yang menempel di kulit gadis itu.
Steve berusaha fokus namun pemandangan itu lumayan sering ia lihat beberapa kali kesempatan. "Terimakasih Kak," lirih Sonia setelah berhasil memakai kaos super besar.
Kemudian berbaring di atas kasur, dan Steve menyelimuti kaki jenjang Sonia yang memakai hotpants.
"Panggil aku jika perlu sesuatu, aku akan duduk di ruang tamu!"
Sonia mengangguk dan berusaha terlelap setelah minum obat yang membuatnya sedikit mengantuk.
Sebelum tidur ia mengingat apa yang terjadi malam kemarin tentang Steve yang mencium dirinya. Hal itu membuat ia kembali sadar, mengapa ia bersikap santai padahal belum meluruskan tentang hal itu.
Namun efek obat yang ia minum cukup kuat dan membuatnya terlelap.
Satu hari, satu Minggu kini satu bulan berlalu Edward mendiamkan istrinya itu, ini bukan perihal cemburu pada Jimmy yang berkepanjangan tetapi setiap melihat Sonia, dia merasakan kesakitan yang amat sangat karena tidak bisa sempurna sebagai suami.
Walau Sonia tidur di lantai satu, dia tetap melihat Sonia ketika tengah malam jika ia tahu wanita itu sudah pasti terlelap, hanya untuk memastikan dia tidur teratur.
Tanpa sepengetahuan Sonia, suaminya itu tetap memperhatikannya dalam diam.
Hari ini Sonia ingin pergi ke Dokter kandungan u tuk memeriksa rahimnya lagi, ia tak patah arang walau kondisi rumah tangganya tidak baik-baik saja. Ia menyapukan lipstik di bibir indahnya sebagai polesan terakhir, begitu keluar Edward tak sengaja berbarengan dengan Sonia yang ia kira masih tidur.
"Mau kemana?" tanya nya setelah satu bulan tidak bertegur sapa, mendengar suaminya menyapa Sonia sangat senang.
"Ke Dokter, mau periksa tangan karena sudah membaik sekaligus mau..."
"Ya udah aku antar!" sela Edward, Sonia padahal belum menyelesaikan perkataannya.
Namun ia langsung mengangguk karena senang, di dalam mobil Edward melihat pergelangan tangan istrinya yang terdapat bekas hitam karena luka yang ia perbuat. "Apakah masih sakit?"
Sonia melihat mata Edward yang menuju tangannya, "Ah ini? tidak!" jawabnya.
"Maaf, aku mendiamkan mu terlalu lama"
"Aku mengerti tapi aku benar-benar tidak bermain api dengan Jimmy kamu tahu betul dia seperti adik bagiku"
Sonia memegang tangan suaminya itu, Edward yang hatinya terketuk menginjak rem mobilnya, dan langsung memeluk Sonia! Ia begitu merindukan istrinya itu dan sangat merasa bersalah. "Sayang, bersabarlah kita pasti akan punya bayi aku akan mewujudkan nya,"
Sonia berkaca-kaca dan menepuk punggung suaminya itu, kemudian mencium pipinya."Tentu saja, aku akan bersabar untuk seorang anak yang mirip denganmu," lirih Sonia.
Edward kemudian melepaskan pelukannya dan mencium kening Sonia, mereka melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit Edward mengantar istrinya masuk ke dalam dan ia senang bahwa pergelangan tangannya perempuan itu sudah sembuh total. Setelah keluar dari ruangan itu Sonia berjalan ke sebuah lift dan memencet tombol naik,"Mau kemana?" tanya Edward, mengira urusannya di rumah sakit sudah selesai.
"Ini jadwalku mengecek kandungan!" jawab Sonia.
Edward membelalakkan matanya, namun tetap mengikuti langkah istrinya. Mereka pun tiba di depan ruangan Dokter SpOG dan langsung masuk karena sudah reservasi.
Dokter menyuruh Sonia tidur, dan mengoleskan sebuah krim dingin di atas perutnya yang rata, ia melakukan USG.