Cia tersenyum, "kakek jangan remehin Cia." Keduanya tertawa setelah itu.
Namun tidak bisa di pungkiri, senyum Cia yang sekarang tidak bisa lagi seceria dulu. Di karenakan ada beban pikiran yang setiap hari di pikulnya. Dia sebenarnya nggak mau mikirin itu, tapi mau gimana lagi, otaknya nggak bisa berhenti.
Nggak ada yang tau kalau setiap malam dia nangis, menahan segala rasa yang baru dia rasakan saat ini. Terkadang rasa rindu membuatnya ingin menghubungi pria itu, namun mengingat kembali pembicaraan terakhir dia urungkan. Ego dan sakit hati jauh lebih besar daripada rindu.
Cia sendiri merasa sesak dengan ini semua, tapi harus di jalaninya. Jadi jangan bilang kalau hanya Dhika yang merana di sini. Mengingat masalah, membuatnya pusing, tidak mau memperburuk suasana hati, dia mengabaikannya sejenak.
***