Apakah kebenaran sedemikian menyakitkan?
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading ❤
"Bu, Nabila mau pergi sama kak Gladys." Tiba-tiba Nabila masuk dan langsung duduk di samping Gladys.
"Dek...."
"Kenapa? Yang punya masalah kak Gladys dan mas Banyu. Bukan adek dan kak Gladys. Kak Gladys, apakah Nabila masih boleh bertemu dengan kakak?"
"Nabila ijin dulu sama ibu dan mas Banyu. Kalau mereka nggak mengijinkan maka kamu nggak boleh membantah. Turuti mereka."
"Kak, Bila memang senang kalau kakak bisa menjadi istri mas Banyu. Namun kedekatan aku dengan kakak lebih dari itu. Aku sudah menganggap kak Gladys seperti kakak sendiri. Apapun yang terjadi di antara kalian, Bila harap kak Gladys jangan menjauh dari Nabila dan Aidan. Kakak pernah ngomong seperti itu saat kakak pertama mendekati mas Banyu." Perasaan Gladys campur aduk diingatkan seperti itu oleh Nabila. Dengan penuh sayang ia memeluk Nabila. Mereka berdua menangis layaknya kakak beradik yang dipaksa berpisah.
"Aidan juga sama. Aidan mau kak Gladys tetap menjadi kakak kami walau tidak menjadi istri mas Banyu." Aidan yang dari tadi berdiri di depan pintu ikut bicara.
"Kalian pikir dia serius menyayangi kalian? Dia cuma mempermainkan kalian," sergah Banyu ketus.
"Mas....."
"Apa aku salah? Kamu memang hanya bersandiwara kan?" tuduh Banyu sarkas.
"Apa yang kurasakan terhadap keluarga ini tulus mas, terlepas bagaimana hubungan kita berdua. Mas boleh menjauh dariku tapi tolong jangan jauhkan aku dari mereka."
Aminah tak menyangka dalam waktu singkat kedua anaknya sedemikan dekatnya dengan Gladys. Hal ini tak terjadi pada Senja. Padahal dulu Banyu dan Senja berpacaran bertahun-tahun lamanya. Sementara dengan Gladys mereka belum terlalu lama kenal.
"Bu, Nabila dan Aidan hari ini ijin pergi bersama kak Gladys untuk menjenguk ayah." Banyu terlihat terkejut mendengar ucapan Nabila.
"Buat apa kalian menjenguk lelaki itu? Dia sudah menghancurkan keluarga kita."
"Mas Banyu pernah bilang kalau tidak akan melarang kami menemui ayah. Biar bagaimanapun kita ini tetap anak ayah. Apalagi saat ini ayah sakit dan membutuhkan kita anak-anaknya." Aidan mencoba menjelaskan.
"Biar saja perempuan itu yang mengurus dia!" Aminah menghela nafas panjang. Percuma menjelaskan semuanya pada Banyu sementara saat ini Banyu dalam keadaan emosi karena masalahnya dengan Gladys.
"Ya sudah sana kalian pergi. Nanti kalau ditunda-tunda malah tambah malam. Bila, jangan lupa kue yang tadi ibu siapkan dibawa ya. Salam untuk ayahmu, om Agus dan tante Nungki. Kalau dek Daffa mau menginap disini ajak saja." Mata Banyu langsung terbelalak mendengar ucapan Aminah.
"Ibu...."
"Bu, kami pamit ya. Ayo kak." Nabila langsung menggandeng Gladys yang tampak tak bersemangat. Setelah mencium punggung tangan Aminah, Gladys menoleh ke arah Banyu. Yang ditoleh hanya menatap Gladys dingin.
"Kamu kecewa?" tanya Aminah pada Banyu setelah yang lain pergi. Banyu hanya diam sambil menundukkan kepalanya.
"Banyu nggak kecewa kok," elak Banyu. "Biasa saja."
"Kamu mencintai dia?" Banyu hanya mengangkat bahu tak peduli. "Kalau memang kamu nggak ada rasa buat dia, kenapa kamu marah saat ada lelaki lain melamarnya. Bukannya itu yang kamu mau sehingga kamu terlepas dari beban ini dan tidak perlu berpura-pura ataupun memaksakan diri untuk mencintainya."
"Entahlah bu. Banyu hanya merasa dimanfaatkan oleh dia."
"Nyu, apakah dia akan bersikap seperti tadi bila memang dia hanya memanfaatkanmu? Ibu dapat melihat ketulusan hatinya. Dia bukan hanya mencintaimu tapi juga mencintai adik-adikmu."
"Ah, itu hanya sandiwara dia bu."
"Sikap keras kepala ayahmu turun kepadamu."
"Jangan samakan lelaki itu dengan Banyu." ucap Banyu tak suka.
"Nyu, biar bagaimanapun dia ayahmu. Darah dagingmu."
"Bu, Banyu mau istirahat. Besok harus pagi-pagi belanja untuk restonya ambu sekalian buat isi kios. Belum lagi tugas memeriksa makalah belum selesai."
Aminah hanya bisa menghela nafas dan mengelus dada menghadapi sikap keras Banyu. Di saat seperti inilah dia membutuhkan kehadiran Pramudya di dalam hidupnya. Pramudya, satu-satunya lelaki yang dicintai sekaligus yang menghancurkan hidupnya. Ah, seandainya jalan hidupku berbeda. Tentu anakku takkan mengalami hal seperti ini.
⭐⭐⭐⭐
"Dek, kakak deg-degan nih mau ketemu ayah kalian."
"Deg-degan ya kak mau ketemu calon mertua?" ledek Aidan yang langsung mendapat pelototan dari Nabila. "Ups, maaf kak. Bukan.. maksud Aidan... eehmm.. Aidan lupa."
"Hahaha.. kamu lucu kalau lagi gugup begini. Dek, kamu bisa membayangkan nggak bagaimana gugupnya Aidan kalau harus menyatakan cintanya ke Sita?" Nabila dan Gladys tertawa membayangkan hal itu.
"Ih, kalian nih senang banget sih meledek Aidan. Nggak gitu juga kak. Kalau untuk urusan kayak gitu Aidan nggak akan gugup."
"Hmm.. jangan-jangan mas Aidan sudah nembak kak Sita nih." Wajah Aidan memerah mendengar tuduhan Nabila. "Tuuuh kaaan. Selamat ya mas. Akhirnya setelah 18 tahun menjomblo ada juga yang kasihan dan mau menerima mas Aidan."
"Adeeek... sini kamu biar mas jitak kepala kamu!" Nabila malah bersembunyi di balik tubuh Gladys yang hanya tertawa-tawa melihat kelakuan keduanya. Melihat mereka mengingatkan pada dirinya dan bang Gibran.
"Assalaamu'alaykum om, tante."
"Eh kalian. Ayo masuk. Dari tadi om dengar suara-suara di depan kamar. Nggak taunya kalian. Eh, ini siapa?"
"Kenalin om, ini kak Gladys." Gladys bersalaman dengan om Agus dan tante Nungki. "Dia temannya mas Banyu."
"Teman atau pacar?" ledek Nungki sambill tersenyum jahil.
"Teman kok tante." jawab Gladys malu. Lebih tepatnya mantan calon istri, batin Gladys.
"Om, ayah lagi tidur ya?" tanya Nabila pada Agus.
"Sudah dari tadi sih. Ayahmu biasanya habis ashar memang tidur sebentar. Nggak lama lagi dia juga bangun."
"Nak Gladys sudah lama kenal dengan Banyu?" tanya Nungki kepo.
"Kebetulan kakak saya sahabat mas Banyu saat SMA, tante."
"Oh, adik ketemu gede dong." Semua tertawa mendengar celetukan om Agus. Sementara Gladys hanya bisa tersenyum malu.
"Gus...." terdengar suara Pramudya memanggil dari balik tirai. Agus segera menghampiri sang kakak. Sebenarnya Agus adalah adik sepupu Pramudya yang sudah seperti adik sendiri.
"Ada siapa?"
"Ada Nabila dan Aidan, mas."
"Buka tirainya biar aku lebih enak ngobrolnya." Pramudya berusaha duduk namun tampak kesulitan. Aidan buru-buru menghampiri sang ayah dan membantunya. Setelah itu Aidan mencium tangan Pram.
"Ai...dan? Sampai sekarang ayah masih nggak percaya kamu sudah sebesar ini. Sudah kelas berapa kamu, nak?"
"Insyaa Allah tahun depan Aidan lulus SMA, yah."
"Mana adikmu Na-bila?"
Nabila mendekati Pramudya dengan air mata berlinang. Ia langsung memeluk sang ayah dan menangis di pelukannya. Semua yang melihat merasa terharu. Saat Aminah dan Pramudya berpisah, Nabila masih kecil. Kini walau sudah beberapa kali bertemu, Nabila masih belum bisa menahan tangis saat melihat ayahnya. Apalagi kini Pram tampak kurus akibat penyakit yang menggerogotinya.
"Nabila anak ayah sudah besar. Sudah menjadi gadis cantik." Pramudya memeluk erat putri satu-satunya. "Maafkan ayah karena selama ini tak pernah menengok kalian."
"Nggak ada yang perlu dimaafkan, yah. Yang penting sekarang Nabila dan mas Aidan bisa bertemu dengan ayah. Ini saja sudah membuat adek bahagia. Maafkan kami juga karena tidak segera menemui ayah. Ibu titip salam untuk ayah, om Agus dan tante Nungki."
"Ayah bersyukur masih diberi kesempatan bertemu kalian sebelum ayah meninggal."
"Ayah nggak boleh ngomong kayak gitu. Ayah harus semangat. Ayah harus sembuh supaya kita bisa berkumpul lagi." Isak Nabila dalam pelukan Pramudya.
"Nggak banyak yang ayah minta sama Allah selain memohon ampun atas segala kesalahan ayah serta meminta maaf kepada kalian dan ibu kalian."
"Ibu sudah memaafkan ayah." Pramudya membuka lengan kirinya dan masuklah Aidan ke dalam pelukannya. Sejak tadi Aidan sekuat tenaga menahan tangisnya. Kini dalam pelukan sang ayah, Aidan tak sanggup lagi menahan tangisnya.
Gladys memalingkan wajahnya saat melihat adegan tersebut. Diam-diam ia menyusut air mata yang turun di sudut matanya. Pemandangan di depannya mengharukan sekaligus menyedihkan. Betapa besar jiwa Nabila dan Aidan. Walaupun bertahun-tahun ditelantarkan oleh sang ayah, mereka tetap memaafkan dan mencintainya. Cinta tulus mereka kepada sang ayah sanggup menghapus kesalahan masa lalu Pramudya.
"Dek, itu siapa?" tanya Pramudya setelah mereka selesai bertangis-tangisan, sambil menunjuk Gladys yang duduk di dekat Agus dan Nungki.
"Itu kak Gladys, yah. Dia teman mas Banyu. Kak, sini kak. Kenalan sama ayah Bila." panggil Nabila menyuruh Gladys mendekat.
"Selamat malam om." Gladys mendekati Pramudya dan menyalaminya.
"Kamu pacarnya Banyu?"
"Oh, bukan om. Hanya teman." Gladys tergagap mendadak ditanya seperti itu oleh Pramudya.
"Wah, padahal om berharap kamu pacarnya Banyu. Biar kamu bisa membujuk Banyu untuk bertemu dengan om." Muka Pramudya muram saat mengetahui hal itu.
"Mas Pram, jangan sedih. Nanti kalau sedih imun tubuh mas Pram turun. Nanti penyakit mas Pram malah tambah parah."
"Ayah jangan sedih. Nggak usah terlalu memikirkan mas Banyu. Bukan mas Banyu nggak mau bertemu dengan ayah, tapi mas Banyu sejak lulus kuliah lebih sibuk dari biasanya."
"Iya yah. Sekarang mas Banyu sudah nggak setiap hari keliling jualan sayur. Sekarang mas Banyu sudah punya kios sayur, menjadi supplier salah satu resto dan bekerja di kampus sebagai asisten dosen." Nabila dengan riang menceritakan kegiatan Banyu. Namun tanpa Nabila sadari ceritanya malah membuat Pramudya sedih.
"Anakku.. tukang.. sa..yur. Ya Allah ampuni hamba karena sudah menelantarkan anak-anak hamba. Banyu, maafkan ayah. Karena ayah kamu terpaksa menjalani pekerjaan seperti itu." Pramudya meratap sedih mengingat nasib anak tertuanya.
"Mas... istighfar mas.. istighfar. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Itu semua sudah kehendak Allah," bujuk Agus.
"Tapi aku yang menyebabkan itu semua, Gus." Pramudya tersedu. Gladys langsung mengajak Aidan dan Nabila sedikit menjauh dari Pramudya. Ia tak ingin mereka melihat ayah mereka meratap seperti itu. Namun Nabila menolak. Ia bersikeras ingin tetap di samping Pramudya.
"Ayah jangan nangis. Bila nggak bermaksud membuat ayah sedih. Kami baik-baik saja kok, yah. Allah selalu menjaga kami. Karena kehendak Allah juga kami bisa bertemu kembali dengan ayah. Kami semua sayang ayah, termasuk mas Banyu walaupun mas Banyu saat ini belum bisa mengunjungi ayah."
"Makanya ayah harus semangat sembuh, biar ayah bisa bertemu dengan mas Banyu dan ibu. Aidan berharap ayah bisa melihat Daffa tumbuh besar seperti Aidan dan dek Bila." Aidan berusaha menyemangati Pramudya.
"Yah, ini ada kue kesukaan ayah. Tadi siang ibu khusus membuatkan ini untuk ayah. Supaya ayah tetap semangat." Nabila mengeluarkan kue dan menyuapinya ke mulut sang ayah. Pramudya tampak berseri-seri memakan kue buatan Aminah.
"Ibumu memang paling jago membuat kue. Dari dulu sampai sekarang kue-kue buatan ibumu selalu paling lezat."
"Makanya ayah cepat sembuh, supaya bisa makan kue-kue buatan ibu lagi."
Gladys memperhatikan betapa Nabila dan Aidan berusaha menularkan energi positif mereka kepada sang ayah. Melihat hal itu Gladys teringat pada Praditho, papinya. Ia berpamitan keluar ruangan.
"Assalaamu'alaykum papi." Gladys melakukan video call dengan Praditho
"Wa'alaykumussalaam sayang. Lho, kamu habis menangis dek? Ada apa? Kamu sakit?" Wajah Praditho tampak cemas.
"Nggak, Pi," sahut Gladys dengan suara serak menahan tangis. "Adek baik-baik saja."
"Lalu kenapa tiba-tiba kamu telpon papi?"
"Adis kangen sama papi. Kapan papi pulang? Eyang kakung sudah sembuh? Salam buat eyang kakung ya, Pi."
"Tumben adek kangen sama papi. Biasanya adek kangen sama Banyu," ledek Praditho sambil tersenyum jahil.
"Iih papi jangan godain adek dong. Adek kan malu."
"Dua hari lagi papi dan mami pulang. Insyaa Allah eyang kakung dan eyang uti mau ikut ke rumah kita."
"Beneran Pi? Adek juga kangen banget sama mereka. Pas bang Ghif menikah mereka kan nggak bisa datang karena kurang sehat."
"Insyaa Allah sayang. Adek sudah makan?"
"Iya, habis ini Pi."
"Adek lagi dimana? Kayak di rumah sakit. Siapa yang sakit?"
"Nggak ada yang sakit, Pi. Adek lagi menjenguk ayahnya mas Banyu. Beliau saat ini dirawat karena kanker prostat stadium 3."
"Oalaaah. Kasihan. Sampaikan salam papi untuk calon mertuamu ya."
"Tuh kan papi ngeledekin adek terus." Wajah Gladys memerah karena malu, namun disaat bersamaan hatinya terasa pedih saat mendengar kata-kata calon mertua. "Adek nggak jadi kangen nih sama papi."
"Oh iya papi lupa. Calon mertuamu ada dua ya. Jadi kamu mau pilih yang mana, dek?"
"Nggak tau ah. Sudah dulu ya Pi. Adek capek diledekin terus sama papi. Sun sayang buat mami ya."
"Dek, pulang dari sini kamu siap-siap ya. Keluarga om Bram mau ke rumah."
"Ngapain?"
"Ya melamar kamu dong, sayang."
"Gladys mau kabur ah ke luar negeri biar nggak dilamar."
"Huu... sudah telat dek. Seluruh dunia sudah lihat kamu dilamar oleh Lukas." ledek Praditho. "Papi nggak nyangka sebentar lagi adek sudah akan menjadi istri orang."
"Sudah ah. Malesin nih kalau papi ngomongin soal itu. Bye papi." Gladys memutus video call. Namun ia masih sempat melihat papinya tergelak di seberang sana. Ya ampuun... apa salah gue sih punya papi kayak gitu. Bukannya menenangkan anaknya, eh ini malah ngeledek melulu. Ya Allah, bisa nggak sih aku tukar papi mami? Eh tapi kalau tukar orang tua, jangan-jangan aku jadi anak penjual sate. Bersyukur Dys, bersyukur.🤣
⭐⭐⭐⭐