Kota M
Danau Kota M
"Ah! begitu," gumam Gretta dengan kepala mengangguk kecil, mengerti.
"Kalau kamu?" sahut si pria balik bertanya.
"Aku?" beo Gretta cepat seraya menunjuk hidungnya dan menatap si pria dengan kedipan cepat.
"Iya, kamu. Apa yang kamu sukai di dunia ini?" tanyanya menjelaskan.
"Eum…" Gretta bergumam panjang tidak segera membalasnya. Ia justru mengalihkan tatapanya ke atas sana, kemudian tersenyum kecil kala ingatan masa kecilnya terbayang.
Si pria ini menunggu dengan sabar jawaban apa yang akan diberikan oleh Gretta, hingga akhirnya suara lembut gadis di sampingnya membuat si pria ini terdiam sesaat, mengenyit dengan kata-kata ambigunya.
"Di dunia ini, yang paling kusuka adalah suara tawanya dan juga saat mereka tersenyum hangat untukku," gumam Gretta dan si pria yang mendengarnya bingung.
"Maksudnya?"
"Tidak ada. Intinya, aku suka apapun yang diciptakan Tuhan untukku, itu saja," lanjut Gretta menjelaskan tanpa kejelasan berarti.
Si pria ini akhirnya mengangguk, tidak ingin ikut campur saat Gretta terlihat seperti tidak ingin berbagi kepadanya. Ia hanya berharap suatu hari nanti, setelah mereka semakin dekat Gretta akan terbuka kepadanya.
"Bukan hanya suka, seharusnya kamu mensykuri apa yang diciptakan Tuhan, Gretta," timpalnya setelah memutuskan untuk tidak memaksa.
"Tentu saja, itu juga. He-he… (Meskipun aku tidak tahu, apa yang harus kusyukuri dalam kehidupanku)" sahut Gretta dengan kekehannya, kemudian melanjutkanya dalam hati.
"Dasar," dengkus si pria geli.
Keduanya kini kembali terdiam dan menikmati matahari senja dengan pikiran masing. Hingga tidak terasa, cahaya matahari benar-benar menghilang seiring dengan naiknya penguasa malam.
"Sebaiknya kita pulang. Apa kamu ingin makan malam lebih dulu?" tanya si pria menawarkan, namun Gretta menggeleng dan memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
"Tidak, aku harus pulang," jawab Gretta menolak.
Si pria ini lebih dulu beranjak dari duduk lesehannya dan berdiri di samping Gretta, kemudian mengulurkan tangannya yang segera diterima.
"Terima kasih," lanjut Gretta setelah berdiri berhadapan dengan si pria.
"Tidak masalah. Baiklah, aku akan mengantarmu pulang," jawab dan putus si pria cepat.
"Okay!"
Kembali mereka menapaki jalan dengan penerangan yang mulai hidup, meskipun hanya remang-remang namun itu cukup untuk si pria yang kebetulan sering mengunjungi tempat mereka saat ini berada.
Akhirnya, sebuah halte tempat mereka turun kembali terlihat. Namun, Gretta memutuskan menaiki taksi dan si pria yang mendengarnya mengangguk setuju.
"Sampai ketemu lagi. Terima kasih sudah menemaniku seharian ini, lain kali aku akan mengajakmu ke sana lagi. Kamu harus mau ya!" ujar Gretta ceria, sepertinya bersama si pria asing ini lebih menyenangkan ketimbang dengan acara makan siang bersama keluarganya.
"Tentu, kamu bisa mengajakku kapan saja," tukas si pria dengan senyum yang tak sempat terlihat, saat Gretta yang melihat taksi melewatinya menoleh dan memberhentikannya.
"Taksi!" seru Gretta dan ketika si taksi berhenti di depannya, ia kembali melihat si pria kemudian tersenyum kecil "Kalau begitu aku pulang. Terima kasih, emh…"
"Alrescha, kamu bisa memanggilku dengan nama Al," sahut si pria cepat. Wajahnya semringah kala memperkenalkan diri di hadapan Gretta, bahkan ia tidak sadar sudah menyebut namanya dengan semangat.
Gretta tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar saat tahu nama itu, nama yang akhirnya disebut juga oleh si pria pelanggan setia di café orang asing yang sudah dianggapnya kakak dan keluarga sendiri.
"Baiklah Kak Al, terima kasih atas hari ini. Sampai jumpa!" seru Gretta ceria seperti biasa.
"Sampai jumpa!" balas Alrescha senang.
Alrescha membukakan pintu taksi untuk Gretta, memperlakukannya lembut dengan senyum tersungging.
Brakh!
Brumm!
Mobil meninggalkan halte dan menyisakan dirinya yang masih tersenyum "Aku tidak sabar bertemu denganmu lagi, Gretta."
Alrescha senang, tentu saja. Namun, Ia tidak tahu, jika pertemuan ini mungkin saja pertemuan terakhir mereka sebelum nantinya bertemu dengan jalan berbeda.
***
Di dalam taksi yang ditumpangi Gretta, suasana hening menyelimuti mobil. Gretta terbawa lamunannya, tepatnya melamunkan masa depannya setelah ini.
Biar bagaimana pun, perintah sang nenek mutlak dan ia tahu cepat atau lambat ia pasti akan menikah dengan Tuan yang namanya pun tidak bisa diingatnya. Lalu, kira-kira apa yang akan didapatkannya setelah ia sampai di mansion nanti?
"Ah! Aku yakin jika Grandma akan murka kepadaku," batin Gretta miris.
Cukup lama taksi ini melaju membelah jalanan dan berbaur dengan kendaraan lainnya. Hingga akhirnya, Gretta sendiri bisa melihat dengan netranya, sebuah bangunan megah layaknya istana menjulang kokok tak jauh dari taksi ini berhanti.
Ckitt!
"Ini ongkosnya, simpan kembaliannya, Pak!"
"Terima kasih, Nona!"
"Tidak masalah," jawab Gretta dan keluar dari dalam sana, kemudian berdiri sejenak di luar gerbang tinggi mansionnya.
Brumm!
Tidak ada siapa-siapa di depannya saat ini, suasana sepi depan pekarangan mansion membuatnya bergedik ngeri.
"Nona! Nona baru pulang?"
Gretta segera membalik tubuhnya, kala sapaan seorang pria bertanya padanya dan mendapati penjaga mansionnya yang membukakan gerbang di bagian pintu kecil khusus pejalan kaki.
"Iya, apa Grandma dan Ibu ada di dalam?" tanya Gretta seraya masuk melewati pintu yang dibukakan untuknya.
"Sudah dari sore, Nona muda," jelas si penjaga.
Gretta hanya mengangguk kecil tanpa menjawabnya dengan kalimat dan menggelengkan kepalanya, saat mendapatkan tawaran tumpangan menuju teras mension yang memang jauh dari gerbang utama.
"Mau saya antar, Nona?"
"Tidak, Gretta ingin berjalan dan menikmati malam di halaman, Pak!"
"Baiklah, selamat malam Nona!"
"Umm." Gretta kembali bergumam dan mulai membalik tubuhnya, berjalan perlahan mulai menyusuri halaman rumahnya sendiri.
Kepalanya menoleh kesegala penjuru halaman luas mansionnya, dengan kenangan masa lalu tiba-tiba menyeruak keluar dan itu membuatnya terdiam dengan linangan air mata.
Sudah berapa lama aku tidak memperhatikan sekitar? Sibuk dengan urusan dengan Grandma yang mendikteku. Apakah suatu saat nanti aku akan bebas, memilih apapun sesuai kehendakku sendiri?
Gretta hanya bisa bertanya dalam hati, melihat langit di atas yang kini memperlihatkan kerlipan bintang dan sinar rembulan sabit di sana.
Gretta menutup wajahnya, mengusap kasar air mata yang kurang ajar merembes dari kelopak mata bernetra samudra turunan ayahnya. Kemudian, setelah merasa sedikit tenang ia kembali melanjutkan langkahnya dan menaiki satu per satu anak tangga menuju teras.
Pintu dibuka oleh maid yang menyambutnya dengan ekrpresi khawatir, namun Gretta mencoba untuk tidak takut dan tetap melangkah masuk.
Langkah kakinya terdengar menggema di ruang depan, menambah efek mengerikan baginya. Meskipun jantungnya bergemuruh takut, ia tetap terus melanjutkan jalannya lurus melewati pintu menuju ruang utama.
Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara seseorang berteriak murka, berikut dengan sebuah tamparan keras hingga membuat wajahnya terhempas.
"Cucu kurang ajar!"
Plak!
Bersambung