Azam dan Isabel menunggu kedua orang tua Isabel didepan teras. Mereka sangat tidak tahan lagi ingin segera masuk kedalam rumah. Tidak enak rasanya berada diluar rumah yang terus diperhatikan oleh orang-orang yang berlalu lalang.
Isabel sudah tidak betah dengan posisi duduknya, dia putuskan untuk berdiri saja. Isabel mondar-mandir kesana kemari. Dia sudah benar-benar bosan.
Ketika Isabel terus saja melakukan hal tak karuan, tiba-tiba saja sebuah mobil terparkir dihalaman rumah orang tuanya. Isabel sudah tahu siapa yang datang. Dia yakin itu pasti kedua orang tuanya yang sudah pulang. Isabel sangat senang akhirnya bisa bertemu lagi dengan orang tua kesayangannya.
Saat ibu dan bapak Isabel keluar dari dalam mobil, Isabel langsung saja berlari kearah mereka dan berhambur masuk kedalam pelukan ibunya.
Kedua orang tua Isabel terkejut sekaligus bahagia melihat putri dan menantunya berkunjung kerumah mereka.
Azam yang menyadari kedua orang tua Isabel datang pun segera menghampiri mereka dan menyalami keduanya. Bapak Isabel, Pak Heru, langsung merangkul Azam selayaknya seorang putra kandung.
"Bapak, Ibu, Isabel rindu ... Isabel sangat merindukan kalian," ucap Isabel bersikap sangat manja kepada orang tuanya.
"Kamu nih, kebiasaan. Baru juga beberapa hari jauh dari kami, masa udah rindu aja," sahut Bu Karin, ibunya Isabel.
"Akh Ibu, Isabel kan putri kesayangannya Ibu. Wajar kalau Isabel seperti itu," tutur Isabel yang sudah mulai cemberut mendengar perkataan ibunya.
"Haha ... udah ah, jangan cemberut, jelek tahu," goda Bu Karin.
"Bapak, lihat tuh Ibu. Masa aku digituin," adu Isabel kepada Pak Heru.
"Ulu-ulu, Putri kesayanganku. Sini sayang!" Pak Heru langsung merentangkan kedua tangannya agar Isabel masuk kedalam pelukannya. Isabel pun segera memeluk bapaknya dengan sangat manja.
Azam sudah tahu bahwa Isabel memiliki sikap yang super manja dihadapan kedua orang tuanya. Sedari Isabel kecil, Azam selalu mengejek Isabel dengan panggilan tuan putri manja.
"Hmm ... jadi di sini aku dicuekin. Bapak dan Ibu nganggurin aku, nih," keluh Azam, ikut-ikutan bersikap manja kepada orang tua Isabel. Azam juga dulu selalu dimanjakan oleh kedua orang tua Isabel, orang tua Isabel memperlakukan Azam seperti anaknya sendiri.
"Hemm ... enggak dong, masa dicuekin. Sini Ibu peluk," tawar Bu Karin.
Azam pun memeluk Bu Karin seperti seorang putra memeluk ibunya.
"Apa kalian sudah lama? Tadi Bapak dan Ibu pergi pagi-pagi sekali, ada urusan," ucap Pak Heru.
"Iya, Pak. Kami sudah sangat lama di sini. Isabel sudah bosen menunggu Ibu dan Bapak. Memangnya ada urusan apa, Pak?" tanya Isabel.
"Itu, teman kerja Bapak sakit parah dirumah sakit. Jadi kami menjenguknya," jelas Pak Heru.
"Oh ... ya udah, Pak, Bu, ayo kita masuk. Isabel sudah pegel dari tadi berdiri terus," ungkap Isabel.
"Iya Sayang, mari kita masuk!" ajak Bu Karin.
Mereka pun masuk kedalam rumah. Sekarang mereka telah duduk santai diruang keluarga. Bu Karin menyiapkan camilan untuk semuanya. Dirumah orang tua Isabel tidak ada asisten rumah tangganya, jadi yang melakukan segalanya adalah Bu Karin, ibunya Isabel.
"Sebentar ya, sayang-sayangnya, Ibu. Ibu lagi masak, kalian tahan dulu laparnya," ucap Bu Karin.
"Iya Ibu sayang," goda Pak Heru.
"Apa sih, Pak? Sayang-sayang, udah tua juga. Malu-maluin didepan anak-anak," tutur Bu Karin.
"Cieee ... makin romantis nih, Bapak dan Ibu," ungkap Isabel.
"Udah ah, sssttt ... bercanda mulu nih. Ibu mau lanjut masak aja. Di sini digangguin terus kalian," ucap Bu Karin yang berpura-pura ngambek. Isabel hanya tersenyum senang saja melihat prilaku Ibunya.
"Eh, Bu, tungguin Bapak," ucap Pak Heru. Pak Heru pun mengikuti Bu Karin kedalam dapur.
Saat didapur, Bu Karin fokus memasak, dia sama sekali tidak memperdulikan suaminya yang dari tadi berada didekatnya.
"Bu, hmm ... Bapak dianggurin," ucap Pak Heru.
"Apa, Pak? Bapak mau apa? Ibu lagi masak, jangan ganggu ah," ungkap Bu Karin.
"Siapa yang mau ganggu coba? Orang Bapak cuman mau ngomong sama, Ibu," terang Pak Heru.
"Ngomong apa, Pak? Ngomong aja, Ibu dengerin kok," kata Bu Karin.
"Bu, Ibu perhatiin Azam dan Isabel, ga?" tanya Pak Heru.
"Ya iya lah, orang mereka anak Ibu, jelas Ibu akan perhatiin mereka. Masa seorang Ibu ga perhatian sama anaknya," terang Bu Karin.
"Bukan itu Bu, maksud Bapak," ucap Pak Heru.
"Terus? Apa maksud, Bapak?" tanya Bu Karin.
"Menurut Bapak, kayaknya mereka tidak bahagia," ucap Pak Heru tiba-tiba. Sontak saja Bu Karin langsung mematikan kompornya dan fokus memperhatikan Pak Heru.
"Maksudnya, Pak? Bapak jangan ngomong gitu. Ibu jadi takut," tutur Bu Karin.
"Sepertinya pernikahan mereka tidak harmonis, Bu. Ibu lihat saja, dari tadi diantara keduanya tidak ada obrolan," terang Pak Heru.
"Wajar lah, Pak. Mungkin mereka merasa malu sama kita," ucap Bu Karin.
"Enggak, Bu. Menurut Bapak, Isabel belum bisa melupakan Arav sepenuhnya," jelas Pak Heru.
"Duh, Pak, Ibu jadi khawatir. Bapak sih, kenapa harus bahas hal ginian sih?" kesal Bu Karin.
"Bapak hanya ingin berbagi tentang perasaan Bapak. Bapak takut pernikahan ini akan membuat anak-anak kita jadi tidak bahagia," tutur Pak Heru.
"Udah ah, Pak. Jangan ngomong gitu. Kita berdo'a saja untuk kebaikan mereka. Semoga mereka bisa bahagia dan saling mencintai," ungkap Bu Karin.
"Aamiin ... Bapak juga berharap seperti itu, Bu," terang Pak Heru.
"Iya, Pak. Ibu yakin, Azam bisa menyembuhkan luka hati yang Isabel derita," ucap Bu Karin.
"Iya, Bu, semoga saja seperti itu," harap Pak Heru.
"Hmm ... semoga Azam bisa menjadi dokter cinta untuk Isabel," jelas Bu Karin.
Kedua orang tua Isabel begitu mengkhawatirkan rumah tangga anaknya. Mereka tidak ingin hal buruk menimpa rumah tangga anak-anaknya.
Harapan mereka, Azam dapat menjadi seorang dokter cinta untuk Isabel. Azam bisa tuk menyembuhkan luka dihati Isabel, luka yang sangat dalam, mungkin akan sangat sulit untuk memulihkannya kembali. Tapi mereka tetap yakin Azam bisa melaluinya.
"Udah ah, Pak. Ibu mau lanjut masak lagi. Dari tadi Bapak ngajak ngobrol terus. Gangguin Ibu saja," ucap Bu Karin.
"Iya Ibu sayang, ya udah Bapak keluar dulu," tutur Pak Heru.
Mereka berdua tidak sadar bahwa obrolan mereka didengarkan oleh putri mereka, Isabel. Isabel jadi bingung harus bagaimana. Dia ingin berpisah dari suaminya Azam, tapi setelah mendengar obrolan orang tuanya yang sangat mengharapkan hubungannya dan Azam bisa bahagia, dia jadi harus mempertimbangkan kembali keinginannya. Isabel juga mengingat Bunda Arin yang sangat menyanginya dan mempercayainya. Isabel benar-benar dibuat dilema oleh semua itu.
'Ternya Ibu dan Bapak sangat yakin, bahwa Mas Azam bisa menjadi dokter cinta untukku. Mereka sangat yakin Mas Azam dapat menyembuhkan luka hati yang saat ini aku alami. Aku harus bagaimana sekarang? Bunda Arin juga begitu sangat menyangiku. Aku tidak bisa menyakiti hati orang-orang yang sangat aku sayangi'. Batin Isabel.