Fahri tersenyum saat selesai membaca puisi itu, tapi ada yang menganjal dihatinya, 'untuk siapa puisi itu Ia tulis' itu lah yang menjadi pikiran Fahri saat ini. Memandang sejenak kertas yang berisi puisi cinta itu lalu melipat kembali dan memasukkannya ke dalam tas laptop.
Fahri mencoba untuk fokus pada laptop yang berada di hadapannya saat ini, bukan kepada pemiliknya, namun pikirannya seolah tak mau berpaling dari puisi yang ia baca tadi.
Fahri menghembuskan nafas panjang, lalu berusaha menggelengkan kepalanya tegas, menolak seluruh pemikiran tentang siapa yang dituju oleh puisi tersebut, namun rupanya Fahri tak mampu mengesampingkannya, akhirnya Ia kembali membuka laptop miliknya dan menuliskan email pada sang ibu tentang perasaannya saat ini, menceritakan segenap kegalauan yang sedang menghimpit hatinya.
Lalu Fahri mengingat sesuatu, yaitu pada saat pertama kali dia dan Anisa bertemu di depan pintu masuk pesantren. Kala itu Fahri baru saja turun dari mobil ayahnya yang mengantarkan mereka kepesantren itu. Satu-satunya perempuan yang membuatnya mampu menatap dan enggan berpaling adalah wajah itu wajah cantik dan anggun serta lesung pipi pada saat ia tersenyum. Membuatnya enggan untuk menatap yang lain.
Namun Fahri selalu berusaha mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang gadis itu dari senyuman berlesung pipi yang selalu menghantuinya. Fahri selalu meyakinkan dirinya bahwa dia tidak menyukai gadis itu dia tidak jatuh cinta, namun apa kah kini Ia telah menyerah dengan rasa yang selalu bergelayut merajut rindu bersanding indahnya rasa cinta? Hanya buku-buku dan laptoplah pelipur lara Fahri pelipur rindu dan rasa cinta. Dan berusaha sebisa mungkin untuk menghilangkan semua rasa itu.
Tapi pada akhirnya Ia menyerah, bahkan harus menyerah sebelum perlawanannya terhadap perasaannya sendiri membelenggunya menjadi kegilaan yang menghancurkan dirinya.
Hakikatnya cinta adalah sebuah anugerah dari Tuhan untuk semua hambanya tanpa memandang suku, agama, adat, budaya dan warna kulit, bahkan rupa hanyalah hiasan yang menambah keromantisan dalam mencinta.
"Aku menyerah." Ucap Fahri lalu menyandarkan tubuhnya dikursi taman. Matanya tertutup oleh peci hitam yang sengaja Ia turunkan untuk menutupi wajahnya.
"Anisa, kamu masih hidup kenapa sudah menjadi hantu." Gumamnya.
Karena terlalu terlena dalam lamunanya hingga ada seseorang yang berdiri bersedekap di hadapannya pun Ia tak menyadarinya.
"Karena kau tak jua mengatakancinta padaku, maka biarkan saja aku menjadi hantu, mas Fahri." Ucap Fatih dengan menirukan suara seorang perempuan, membuat Fahri terperanjat kaget.
"Astaghfirullah." Ucap Fahri lalu mengambil peci yang menutupi wajahnya seraya menatap Fatih yang tertawa terbahak karena berhasil menjaili saudaranya.
"Dasar kamu." Ucap Fahri lalu memukul Fatih menggunakan peci yang Ia pegang.
Fatih tetap menertawakannya walau bertubi-tubi Fahri memukulnya dengan menggunakan peci.
"Masih siang, kamu udah nglindur, kalau suka bilang suka, jangan diam saja, ntar di tikung orang baru tahu rasa kamu." Ucap Fatih lalu duduk dikursi dihadapan Fahri.
"Hah!" Fahri mendesah lalu kembali memasang peci hitamnya diatas kepala.
"Sejak kapan kamu suka sama Anisa?" Tanya Fatih, walau hatinya sebenarnya terluka saat mengetahui Fahri juga menyukai Anisa, namun untuknya itu tidak jadi masalah jika Anisa bahagia karena mendapatkan seseorang yang sangat Ia cintai.
"Entahlah." Jawab Fahri sambil menatap Fatih yang duduk dihadapannya itu.
"Tenang saja, karena Anisa juga mencintaimu." Ucap Fatih sambil berusaha tersenyum, walau sebenarnya nyeri yang Ia rasakan.
"Tahu dari mana kamu?" Tanya Fahri sambil kembali menyandarkan tubuhnya seperti sebelum Fatih datang.
"Aku tak sengaja mendengar Anisa bergumam sendiri di pojok taman, sambil menuliskan sesuatu dibukunya." Ucap Fatih.
"Kamu serius?" Tanya Fahri antusias, Ia langsung kembali menegakkan tubuhnya dan menatap saudaranya itu lekat.
"Untungnya aku bohong sama kamu itu apa?" Kata Fatih sambil menaikkan dua alisnya.
"Aku mengharapkan itu, tapi apakah dia mau menungguku hingga aku lulus kuliah?" Kata Fahri lalu menarik nafas panjang.
"Aku yakin dia mau nungguin kamu, lagian kamu kuliah disini kan, tidak ikut aku dan Yola ke negara A?"
"Iya sih, dia juga masih di bawah kita umurnya."
"Bawahmu, bukan umurku." Bantah Fatih.
"Ow, ya. He.." Kata Fahri yang ingat jika umur mereka terpaut satu tahun.
"Lusa kamu berangkat ke negara A. aku dan Jhonatan pasti sepi tanpa kamu." Tutur Fahri sendu.
"Mana mungkin sepi, jika sudah ada Anisa yang akan selalu menemanimu."
"Tapi kan tetap aja, waktunya susah, ketahuan pengurus takzir kita."
"Ketemuannya cukup di madrasah saat ngaji, kan bisa saling lirak lirik." Ujar Fatih menggoda Fahri.
"Ini laptop punya siapa, perasaan kamu Cuma bawa satu." Ucap Fahri sambil menatap laptop yang bersebelahan dengan laptop Fahri.
"Milik Anisa." Ucap Fahri dengan wajah bersemu merah.
Fatih terkejut, lalu menegakkan duduknya. "Seriusan, kalian berdua memang harus segera dinikahkan, ternyata diam-diam kalian berdua sering ketemu."
"Jangan dong, aku belum mampu menghidupi anak orang, kasian dia mau aku kasih apa nanti?" Ucap Fahri.
"Lha kamu tahu ga kenapa Yola dan Abdul dinikahkan?"
"Kenapa?"
"karena sering ketahuan sama Abah Sofyan, kalau mereka sering ketemuan di atas atap genteng asrama." Ucap Fatih.
"Tapi mereka kan ga berdua, ada kita bersama mereka."
"Itu yang kita tahu, kamu tahu kan Yola dan Abdul bahkan sering belajar bersama, mengaji bersama, hafalan bersama, mereka terlalu dekat, dikhawatirkan akan berakibat buruk pada mereka, akhirnya mereka dinikahkan, makanya kalian cukup lirik-lirikan saja dimadrasah, jangan sampai kalian di nikahkan." Kata Fatih.
Fahri tampak berpikir keras, lalu menghela nafas panjang. Mengingat kembali wajah Anisa yang sedang tersenyum hingga memperlihatkan lesung pipinya, membuat Ia kembali memantabkan hati untuk menjaga Anisa.
"Bagaimana caranya supaya aku bisa tahu kalau Anisa menyukaiku, dan dia juga tahu kalau aku menyukainya." Tanya Fahri pada Fatih.
"Ya katakan kalau kamu suka dan cinta sama dia." Ucap Fahri sambil menyatukan kedua tangannya menjadi bentuk love.
"Caranya?"
"Pakai surat."
"Cara mengantarkannya?"
"Yola."
"Aku rasa kamu bisa titip Yola, dia kan satu rumah dengan Anisa, tapi waktumu Cuma dua hari, sebelum Yola berangkat ke negara A."
"malu ga?"
"Ya Allah, makan tuh malu, konsekuensinya aku tikung Anisa."
"Waduh!"
"Haa.." Fatih tertawa terbahak, walau sebenarnya sesak di dadanya belum mereda.
"Terus kamu ga jatuh cinta gitu sama salah satu santri disini?" Tanya Fahri penasaran.
"Tidak tahu, aku hanya berharap bisa mempunyai kisah yang indah seperti mama dan papaku."
"Kamu dari dulu sangat mengidolakan orang tuamu."
"Iya lah, mereka itu inspirasi cinta, tak memandang usia, bahkan mama dulu menikah dengan papa ku saat dia masih sekolah, seusia Yola, tuaan dikit."
"Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan."
"Amiin."