Télécharger l’application
91.93% Menikahi Bening / Chapter 57: Terima Kasih

Chapitre 57: Terima Kasih

Bening tertidur di mobil ketika kami pulang dari klinik 24 jam dekat komplek rumah kami. Sesampainya di rumah, kami tak langsung turun karena Bening tertidur dan aku tak tega membangunkannya.

Tanganku terulur menyibak anak-anak rambutnya. Tidurnya lelap sekali, ia bahkan tak terusik sedikitpun. Matanya begitu sembab, ia banyak menangis hari ini. Aku yakin ketika ia bangun besok pagi, matanya akan membengkak.

Mengingat kejadian tadi, aku menggelengkan kepala dan kembali tersenyum akan tingkahnya. Kenapa kamu cengeng sekali hanya karena takut mengganti vas kristal Mama? Apakah kamu diam-diam sering menangis seperti ini?

Perlakuanku padanya cukup membuat ia untuk menangis dan marah padaku. Maafkan aku yang memang tidak tegas dalam mengambil keputusan.

"Yang, bangun. Udah sampe," bisikku mengelus pipinya. Matanya mengerjap ketika merasakan sentuhanku. Benar saja, matanya yang sembab membuat kelopaknya hanya bergaris saja.

"Oh, udah nyampe?" Ia meregangkan otot-ototnya. Kemudian menyeringai sebelum berucap sambil menatap kedua tangannya, "Konyol banget. Lihat deh, kedua tanganku ini. Yang kanan di perban karena bengkak, yang kiri telapak tangan sobek kena beling. Ckckck..." geleng-geleng sendiri. "Aku memang tak berguna," lirihnya kemudian.

"Kok, ngomongnya gitu, Yang? Gak boleh tau, dosa! Harusnya, kamu bersyukur, Tuhan ngasih cobaan pasti ada hikmahnya. Wajar saja, namanya juga manusia, termasuk kita, di kasih banyak cobaan dari Tuhan ya kita harus terima dengan lapang dada." Seolah-olah ucapanku udah kayak Pak Ustadz padahal aku juga belum tentu benar.

Bening menatapku lekat-lekat. Tatapannya membuat aku merinding. Kemudian ia mengalihkan pandangannya sambil memutar bola mata jengah.

"Kalo tau dosa, Mas seharusnya jangan ngelakuin dosa! Bersyukur juga dengan apa yang udah Mas dapetin, bukan?" tangannya terulur membuka pintu mobil. Ekspresinya mendelik, terasa menyindirku. "Ah ya, satu lagi!" sudah turun dari mobil. "Yang namanya manusia emang pasti di kasih banyak cobaan, Mas. Kalo di kasih banyak cucian, namanya laundry!" menutup pintu mobil dengan cukup keras. Membuat aku berjingkat sekaligus melongo mendengar ucapan terakhirnya.

Saat kami masuk, Mama segera berhambur memeluk Bening. Aku rasa Mama tidak tinggal diam dan terus menunggu kami tiba.

"Gimana tanganmu, Sayang? Apa parah?" cemas Mama.

"Tadi udah dijahit sedikit. Tapi gakpapa, kok."

"Ya udah, kamu istirahat aja. Udah tengah malam juga."

"Mama juga. Mama pasti capek banget dari Hongkong trus tiba ke sini malah_"

"Sudahlah, kamu tenang aja. Masalah ini, biar mama yang urus."

"Maafin aku, Ma. Mbak Erina...dia..."

"Gak usah mikirin pelakor itu lagi. Pentingin diri kamu sendiri. Dan pertahanin rumah tangga kalian!" sorot mata Mama menajam saat melihatku. Dari tadi aku hanya memperhatikan obrolan mereka. Merasa tak enak walau banyak sekali pertanyaan yang bercokol dalam kepalaku mengenai Erina.

Mama pamit pergi ke kamarnya. Menyisakan suasana yang canggung di antara kami. Bening terlihat kesal saat melihatku. Padahal tadi waktu ia menangis seakan tidak terjadi apa-apa di antara kami.

"Ayok, kita istirahat," mengajaknya untuk ke kamar kami.

Sejenak ia bergeming, kemudian menatap ke atas, entah apa yang dilihatnya. Yang jelas dinding bercat putih itu kamar kami.

"Mas ke kamar sendiri aja," ujarnya kemudian membelokkan tubuhnya yang kurasa menuju kamar tamu.

"Mau, ke mana?"

"Tidur."

"Kok, ke sana? Kamar kita 'kan di atas, Yang," tunjukku pada lantai atas.

"Kamar sama mbak Erina, kali," sindirnya.

"Stop, plis, Yang! Jangan kayak anak kecil." menahan kegeramanku.

"Memang aku anak kecil," dengkusnya merasa jengah dan terus berjalan tanpa mempedulikan diriku.

Aku menarik tangannya, membuat langkahnya terhenti. "Oke, kalo kamu gak mau tidur di kamar kita. Kamu mau tidur di mana?"

"Mas, mau ngapain?" ekspresi selidiknya membuat kegeramanku menjadi luluh. "Kok, malah senyum-senyum?" menyilangkan tangannya seolah pertahanan diri. "Gak usah macam-macam, ya!"

"Haha, kamu ini gemesin banget, sih." menguwel-uwel pipinya, kemudian kukecup bibirnya dalam-dalam.

Bening mendorong dadaku, kemudian berlari kecil menuju kamar tamu. Tingkahnya sungguh menggemaskan.

"Yang, kok kabur sih? Kamu tuh ya sok malu-malu padahal mau," teriak-teriak gak jelas sambil berjalan mengejar Bening. "Yang, sini, Mas mau sun kamu!"

"Berisik, Bocah Tua!" Mama mengaum di ambang pintu kamarnya. "Dasar gak tau malu!"

Aku menyengir sambil mengangkat jari huruf V ke arah Mama. Kemudian, BLAMM!! Mama menutup pintu kamarnya dengan keras.

***

Sudah hampir jam delapan pagi. Aku merasakan tubuhku yang terasa berat saat mencoba untuk bangun dari tidurku. Rupanya istriku yang masih tertidur dengan memelukku. Bagai gurita ia melingkarkan tangan dan kakinya memeluk tubuhku seakan mangsa yang ia pindai tak boleh lepas dari jeratnya. Padahal semalam ia bersikeras menjaga jarak dariku, membuat pembatas guling dan tidur membelakangiku.

Aku tersenyum melihat tingkahnya. Membelai sayang kepalanya yang masih tertidur pulas padahal matahari sudah bersinar terik menembus jendela kamar. Kukecup telapak tangannya yang terbalut perban karena luka semalam. Bahkan lengan tangannya masih terbalut perban yang entah kenapa. Kasihan sekali istriku ini.

Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur setelah mengecup kening serta pipi istriku, memisahkan diri dari dekapannya agar tidurnya tidak terusik.

"Mas." belum juga berdiri rupanya ia sudah bangun.

"Hai, Sayang." kembali mengelus kepalanya. "Tidur lagi kalo masih ngantuk."

"Jam berapa?" tanyanya dengan mata yang masih terpejam.

"Jam delapan." Matanya langsung terbuka.

"Mas, kenapa gak bangunin aku?" langsung beranjak duduk. "Wah ini udah siang banget." hebohnya.

"Mas juga baru bangun, Yang. Sini, kita tidur lagi." Mendekap Bening kemudian menjatuhkan tubuh kami untuk berbaring kembali.

"Ih, udah siang ini." Bening melepas tanganku, duduk kembali. "Ah, kenapa aku bisa kesiangan gini?" gerutunya turun dari tempat tidur kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Namun tak lama kemudian keluar lagi.

"Kenapa, Yang?"

Bening berjalan keluar kamar tanpa mau-mau repot menjawabku. Sedetik kemudian aku bangun lalu mengikuti istriku.

***

"Makan yang banyak, Nak." Mama melayani Bening dengan mengambilkan nasi dan lauk pauknya untuk sarapan.

Bening merasa kikuk, meski begitu kata terima kasih masih terucap padanya.

Aku memandang istriku lekat-lekat, akhir-akhir ini ia memang makan sedikit. Bahkan pagi tadi ketika ia berada di kamar mandi, kudengar Bening memuntahkan sesuatu. Saatku tanya, jawabnya hanya mual.

Sugestiku adalah Bening masih merasa aroma Erina tertinggal di kamar kami. Ia mual karena benci akan kejadian kemarin.

"Kamu apa gak ada janji temu klien?" Mama bertanya.

"Siang nanti, Ma." jawabku.

"Kamu, makan juga yang banyak." meski ketus, Mama masih mengkhawatirkan aku.

"Ya, Ma."

Setelah sarapan yang kesiangan, aku pamit pergi ke kantor. Menyalami Mama kemudian Bening menyalamiku. Tubuh Bening mendur selangkah ketika aku hendak mencium keningnya.

Kenapa mood'nya tiba-tiba berubah lagi?

Pada akhirnya aku cuma bisa elus-elus rambut kepalanya sambil tersenyum. "Mas, berangkat dulu ya, Yang. Hati-hati di rumah."

Bening terdiam, dia hanya mengangguk kecil. Dengan langkah gontai, aku pergi. Hatiku terasa begitu hampa. Tak ada senyum ramah, tak ada bekal makanan yang biasanya istriku bekalkan untukku.

Sejenak aku mengedarkan pandanganku. Meski sudah tak peduli, aku masih mempertanyakan kemana Erina pergi. Lagi-lagi aku tersenyum miris, Erina masih sama sesuka hatinya yang ingin keluar masuk seenaknya.

Ketukan di kaca pintu membuyarkanku. Aku terperanjat karena ternyata istriku pelakunya. Tangannya menyuruhku menurukan kaca mobil.

"Kenapa, Yang?"

Bening terdiam, ia malah memandangiku lekat-lekat.

"Maafin aku, Mas." Tiba-tiba saja Bening mengulurkan kedua tangannya. Menarik leher kemudian memelukku. "Maaf, bukannya aku tak sopan pada suami. Tapi asal Mas tahu, aku masih kesel," ucapnya di sisi telingaku.

Aku tersenyum, tanganku terulur membelai belakang kepalanya. "Mas, yang minta maaf. Sebagai suami, Mas gak pandai dalam bersikap. Mas janji akan mengatasi semuanya. Tolong bersabarlah sebentar." Mencium sisi kepalanya.

Bening mengangguk kemudian menarik diri. Kecup-kecup pipi lalu bibir, Bening tersenyum secerah hari ini. "Hati-hati di jalan, Mas. Semoga kerjaan Mas hari ini lancar. Maaf, hari ini aku gak bekalin makanan. Mas pesan online aja ya bareng Bang Iyo."

Sejenak aku terpaku ketika Bening memberi kecupan-kecupan manis itu. Andai tidak terhalang pintu mobil, sudah pasti aku akan menarik istriku kembali ke dalam kamar dan mengukungnya bersamaku. Namun, janji temu klien menahanku supaya aku menahan diri.

"Awas kamu, tunggu nanti malam, ya!" mengedipkan sebelah mata kemudian memberi tanda hati. Istriku terkekeh sambil melambaikan tangan sepanjang aku melajukan mobil meninggalkan rumah.

Baru setelah mobil belok, bayangan sosoknya yang tidak terlihat dari kaca spion mobil.

Pada akhirnya, aku pergi dengan membawa hati yang gembira.

Terima kasih untuk istriku tercinta.

Terima kasih karena sudah mau menerima suami yang penuh dengan kekurangan ini.

TBC

"Hayooo...Bumil emang labil yaa...Pen tak pites² King-Aslam-Kong ini 😡"


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C57
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous