Sinar pagi mengintip malu - malu melalui tirai jendela menyapu hangat wajah cantik bak Dewi Yunani. Menyapa Calista dengan penuh kehangatan beriringan dengan bisikan merdu.
--
Hai, Earl ...
Ayo, buka mata mu!
Iringi hembusan nafas mu dengan kehangatan ku.
Sambut pagi mu dengan senyuman ku.
Dan ... tawar aku dengan canda tawamu.
--
Ya, itulah sapaan dari sang mentari yang berhasil membuat sepasang manik abu - abu terbuka. Bersamaan dengan itu menggeliatkan tubuh, meregangkan otot - otot yang mulai kaku akibat posisi tidur yang sama sekali tidak nyaman.
Seketika tersentak ketika sebelah lengannya menyentuh sesuatu yang dingin. Dengan segera menolehkan wajahnya sehingga bertatapan secara langsung dengan siluet coklat yang menghujaninya dengan penuh kehangatan.
"Good morning." Sapanya dengan seulas senyum terbaik. Alih - alih menjawab, Calista justru menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Sementara Calvino, terlihat acuh dengan merentangkan kedua tangannya pada sandaran sofa.
"Bangunlah dan mandi. Bau mu sangat menyengat, Earl."
Refleks bibir ranum mengerucut hingga maju beberapa senti ke depan. "Menyebalkan! Tidak ada satu orang pun di Dunia ini yang berani menghinaku kecuali kau. Benar - benar menyebalkan!" Bentaknya pada kata terakhir. Hentakan demi hentakan masih saja mengiringi langkah kaki atas rasa kesal yang masih saja membelenggu.
"Dasar, sudah dewasa tapi sikapnya masih seperti Anak kecil." Umpat Calvino entah pada siapa karena sang adik sudah tenggelam di antara pintu kamar.
Kini, tinggal Calvino seorang diri di ruang tamu. Dia pun terlihat meregangkan otot - otot yang kaku terutama dibagian punggung. "Auch ... " rintihnya ketika coba melenturkan otot punggung dan juga leher.
Shitttt, semua ini gara - gara kau, Earl. Dasar manja! Umpatnya. Terlepas dari umpatan. Bibir kokoh mengukir senyum geli atas sikap sang adik yang menurutnya sangat manja dan menggemaskan.
"Seandainya ada 2 Earl di Dunia ini. Pasti salah satunya akan ku jadikan kekasih ku." Lirihnya beriringan dengan langkah kaki menuju kamar kesayangan. Dengan kasar membanting tubuhnya ke atas ranjang king size. "Huh, benar - benar nyaman." Lirihnya.
Tiba - tiba saja terdengar dering ponsel. Dengan segera melirik untuk melihat siapa kah sang penelepon? Dan ternyata nama Lenata lah yang tampak menghiasi layar.
"Ini masih pagi, Lena. Mau apa lagi sih?" Geramnya dengan kedua mata memejam rapat.
Jujur saja dia pun enggan untuk mengangkat panggilan sehingga mengabaikannya begitu saja. Sialnya, kekasihnya tersebut tak juga menyerah. Akibatnya, ponselnya berdering untuk yang kesekian kalinya.
Dihembuskannya nafas berat yang dibuang secara perlahan sebelum bercengkerama dengan kekasih tercinta melalui sambungan telepon. "Hallo, sayang." Nada suaranya dibuat selembut mungkin. Sialnya, hal itu tak juga membuat Lenata bersikap hangat. Yang diterimanya justru berbagai pertanyaan yang terdengar sarkastik hingga telinganya pun memanas seketika.
Dengan terpaksa menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak. Dasar kekasih posesif! Umpatnya.
"Kenapa diam, hah? Dari mana saja kau semalam? Awas ya kalau sampai berbuat macam - macam di Indonesia!"
"Tidak macam - macam." Jawabnya acuh.
"Aku tidak akan pernah memaafkan mu kalau sampai kau-"
"Lena, dengar ya. Semua tuduhan mu itu sama sekali tidak terbukti kebenarannya."
"Kalau begitu kenapa tidak mengangkat panggilan ku, hah?"
"Semalam aku ketiduran diruang tamu bersama, Earl. Ponsel tertinggal di kamar. Percayalah."
"Aku bukan Anak TK yang bisa kau bodohi begitu saja, Tuan Calvino Luz Kafeel."
Habis sudah kesabaran yang coba Calvino tahan sedari tadi sehingga tanpa sadar membentak. "Lalu, kau mau apa, hah?"
"Berikan ponselnya pada, Earl! Aku perlu memastikannya secara langsung."
Shittt, keterlaluan sekali Lenata ini. Kesal Calvino.
"Kenapa diam saja, hah?" Bentak Lenata.
"Earl, lagi mandi." Jawab Calvino jengah.
"Apa kau tidak mendengarku, Calvin? Berikan ponselnya pada, Earl!" Bentaknya dengan suara meninggi. Refleks suara Lenata benar - benar membuat telinga Calvino berdenging. Tak mau terus menerus terlibat ke dalam pertengkaran yang tiada ujungnya. Dia pun langsung melenggang keluar kamar.
"EARL!"
"Ih, ada apa sih teriak - teriak? Masih pagi juga sudah membuat keributan." Kesal Calista.
"Bicaralah!" Memberikan ponsel ke tangan Calista. Sementara Calista sendiri terlihat sedang memutar bola matanya seolah berkata, ini siapa? Sambil mengayunkan ponselnya ke udara.
Calvino mendekat berirama dengan bisikan. "Nenek lampir." Singkat, padat, jelas, itulah dua kata yang terucap dari bibirnya sebelum melenggang dari hadapan Calista.
Nenek lampir siapa sih? Batin Calista dengan mengerutkan kening membuat kedua alisnya hampir saja bertautan.
"Apa mungkin yang Kak Calvin maksud Nenek lampir itu, Mama?" Dasar Anak durhaka! Bisa - bisanya dia menjuluki Mama dengan sebutan menyedihkan seperti itu. Lanjutnya di dalam hati. Dan bersamaan dengan itu langsung mengangkat panggilan. "Hallo, Ma."
Dipanggil dengan sebutan Ma, telah membuat seseorang diseberang sana memicingkan tatapannya. "Hallo, Earl. Ini aku ... seenaknya saja kau panggil aku, Ma. Memangnya aku ini Mama - Mama, apa?" Nada suaranya terdengar sinis menggelitik pendengaran Calista.
Calista tersentak. Jadi, ini Lenata?
"Uh, sorry Len. Ku pikir Mama yang ingin berbicara dengan ku. Habisnya sih kekasih mu itu tidak memberitahu bahwa ini kau." Ucap Calista coba membela diri.
"Menyebalkan memang. Tapi, dia itu saudara kembar mu." Kesalnya.
Manik abu - abu tampak memutar. Tanpa dapat terelakkan lagi sikap Lenata, dan sang kakak mengiringinya pada berbagai pertanyaan yang mulai berkecamuk. "Em, jangan bilang kalau kalian berdua ini sedang bertengkar."
"Tidak, siapa yang bilang kalau kami sedang bertengkar. Aku dan saudara kembar mu baik - baik saja kok."
"Jangan bohong, Belen!"
"Untuk apa juga sih berbohong, Earl."
Sialnya, kebohongan sedikit saja tak akan pernah luput dari Calista sehingga Lenata terpaksa berbicara jujur. Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafas Calista, bersamaan dengan itu mengalirlah cerita sebenarnya.
"Dengar ya, Belen. Kurangi pikiran negative mu tentang Kakak-ku. Semua yang kau tuduhkan itu sama sekali tidak terbukti kebenarannya. Kak Calvin, memang terkenal dengan emosi terburuk. Tapi, ketahuilah satu hal bahwa Kak Calvin tipe lelaki yang sangat setia."
Aku tahu itu, Earl. Tidak seharusnya ku curigai Kakak-mu. Batin Lenata dengan penuh penyesalan karena sudah melayangkan tuduhan tanpa bukti.
"Em, kalau begitu bisa sambungkan lagi dengan ... Calvin?" Pintanya dengan ragu - ragu.
"Hm. minta maaflah!"
"Hh mm."
Sayangnya, keinginan hanya tinggal keinginan. Entah apa saja yang lelaki itu lakukan di dalam kamar mandi? Yang jelas dia lama sekali di dalam sana. "Em. sorry Len. Bisakah kau hubungi beberapa menit lagi?"
"Calvino, pasti masih marah ya?"
"Tidak, lagi pula mana bisa Kak Calvin marah lama - lama dengan mu."
"Lalu, apa?"
Calista langsung keluar dari kamar Calvino, bersamaan dengan itu memelankan suaranya sehingga terdengar seperti bisikan. "Em, sepertinya Kak Calvin sedang ritual pagi."
"Hah?"
🍁🍁🍁
Next chapter ...