.
.
.
.
.
"Kalian ngapain, hah!." Teriak Erik yang muncul dari dalam wc. Raut wajahnya berubah saat mendapati Abi yang berada di lantai. "Beraninya keroyokan. Nggak malu apa?."
"Heh, Erik. Anak ini yang songong duluan tadi, jadi bukan salah kita kalo dia kita kasih pelajaran." sahut Gael, senior yang mendorong tubuh Abi.
"Yang salah itu kalian. Jangan seenaknya balikin fakta dong!." sambar Abi tak terima.
Erik melirik Abi sekilas, dan kembali memandang Gael dengan marah. "El, aku mau kamu minta maaf sama dia." seru Erik dengan menunjuk ke arah Abi. Dan sontak membuat juniornya itu keheranan.
Pria jangkung di hadapannya seketika mengerutkan alis. "Hah?! Gak salah denger nih. Kamu ... belain dia?." ucap Gael tak percaya.
"Iya. Emang kenapa?."
"Ppffftt...," Gael terkekeh geli. "Terserah kamu sih. Tapi, sayangnya aku nggak mau tuh minta maaf." timpalnya dengan bibir tipis yang menyunggingkan seringai. Tanpa sempat Erik menyahut, Gael pergi begitu saja meninggalkan dia dan Abi. Dengan kedua teman gengnya yang turut serta mengekor.
"Dasar sok!." umpat Erik setelah ketiganya menjauh. Dia berbalik ke arah Abi dan berjongkok di hadapannya.
"Gak apa apa?," tanya Erik dengan wajah setengah cemas. Tangannya turut mengulur untuk membantu Abi berdiri.
"Mm," jawab Abi singkat. Dan menerima uluran tangan Erik dengan senang hati.
"Eh? Itu ... darah?." Erik menyipitkan matanya. Mencoba memastikan apa yang dia lihat. "Kaki kamu berdarah!." Dia sedikit terkejut saat melihat rembesan berwarna merah pada bagian depan celana Abi.
"Aih," Abi meringis saat melihat bagian yang Erik tunjuk. Seperti yang sudah dia duga. Robekan luka di pangkal pahanya memang kembali terbuka.
-----------
"Pulang sekolah, kita pergi ke rumahku, yah?." seru Rai yang sontak membuatku tersedak jus jeruk. Aku terbatuk batuk sesaat, lalu mengelap bibir dengan punggung tanganku.
"Ke rumah kamu? Mau apa?." tanyaku sedikit kikuk. Mengingat hal terakhir yang kami lakukan dirumahnya waktu itu, membuatku masih merasa tidak enak hati.
"Ada, deh. Pokoknya kamu harus ikut." sahutnya enteng dengan memberi senyuman di akhir. Apa Raiga sudah lupa dengan kejadian hari itu?...
Aku bingung harus menjawab bagaimana. Dan hanya mengais ngais batagor yang ada di depanku dengan malas.
Aku masih ingat waktu dimana aku menyebut makanan ini mirip muntahan sapi. Tapi, sekarang Raiga malah berhasil membuatku menyukainya.
"Prei ...," panggil Raiga pelan. Aku mengangkat kepalaku dan menaikan kedua alis. Itu isyarat sederhana untuk bertanya sekaligus menyahuti panggilannya.
"Gak perlu takut. Kan, ada aku. Em?." ucapnya lembut sembari merangkul ujung jemariku. Kita berdua sedang duduk di kantin. Jadi sebisa mungkin untuk tidak bertindak mencolok.
Aku menyunggingkan senyuman di ujung bibir. Dan membalas tatapan matanya yang berbinar. "Mm." balasku singkat dengan kepala yang mengangguk.
Tapi, di detik kemudian pikiranku di penuhi dengan hal lain. "Rai, aku ... masih nggak enak sama Mamah kamu."
Karena aku yakin dia pasti tidak suka dengan kelakuanku waktu itu.
Raiga menghela napas dan memegang jemariku lebih dalam. "Nggak apa apa, Mamahku gak marah sama kamu, kok."
------------
"Buka celana kamu."
"Hah?!." Abi terkesiap dan refleks menutupi bagian resleting celananya. "Kamu gila, ya!."
"Tck, ayo buka ...," bujuk Erik yang mencoba menyingkirkan tangan Abi yang menghalangi tujuannya.
Tak terima dengan perlakuan Erik padanya, Abi memukul tangan Erik dengan keras. Hingga tangan seniornya itu akhirnya menjauh. "Kenapa harus di buka segala?."
"Kalo nggak di buka. Ngobatinnya gimana? Kamu mau kalo itu jadi infeksi." timpal Erik yang langsung berhasil membuat ego Abi melemas.
"Tapi ... jangan macem macem, ya. Awas." ucap Abi sembari melayangkan telunjuk pada ujung hidung Erik.
Erik terkikik pelan. Dia menurunkan tangan Abi dari depan wajahnya. Lalu menarik ujung ikat pinggang Abi untuk mendekat ke arahnya. Abi tertegun sejenak. Menatap wajah Erik dari jarak yang dekat membuatnya mendadak menahan napas.
"Aku nggak akan macem macem, kok." bisik Erik halus dengan seringai manisnya yang menawan.
Abi menelan ludah. Dan hanya memasrahkan diri saat seniornya itu berlutut dan membuka resleting celananya. Dia tahu kalau mereka hanya berdua di dalam ruang UKS. Tapi Abi merasa seperti ada ribuan mata yang sedang menatapnya. Sampai dia celingukan ke kanan dan kiri untuk memastikan kalau asumsinya keliru.
Erik menarik resleting Abi hingga ke batas, lalu menurunkan celananya perlahan ke bawah. Namun belum sempat dia menyelesaikannya. Tangan Abi menghentikan tangannya. Membuat Erik mendongkak dan menaikkan alis.
"Biar aku aja. Aku bisa sendiri, kok."
"Nggak apa apa. Biar aku bantuin." Erik menepis pelan tangan Abi yang mencoba menghalanginya.
Tapi dengan sigap Abi memundurkan tubuhnya. Dia bersikeras agar Erik tidak lagi menyentuh celananya. Dan berkesempatan mengintip sesuatu yang ada di dalamnya.
"Nggak usah."
Erik mulai keheranan dengan sikap Abi yang tiba tiba berubah. Dia meraih pergelangan tangan Abi dan menatap ke arah matanya. "Kenapa, sih? Kamu takut? Aku janji kok aku nggak bakalan ngelakuin hal yang aneh aneh." ucap Erik meyakinkan.
"Bener?." Abi memastikannya sekali lagi. Dia takut kalau Erik akan berbohong padanya.
Erik menghela napas dan menyunggingkan senyuman manis pada Abi. "Iya."
Hhh.. "Oke."
Tidak ada lagi alasan bagi Abi untuk takut pada Erik. Jika dia berkata bohong, maka Abi akan benar benar berhenti untuk percaya pada Erik. Prinsipnya selalu sesederhana itu.
Erik menurunkan celana Abi hingga pangkal paha tempat rembesan darah itu berada. Dia meneguk ludah berat dan berusaha menyingkirkan matanya dari memandang hal lain yang ada di tengah.
Lukanya tertutup kain CD yang Abi pakai. Dia melirik pada Abi sekilas dan memastikan bahwa Abi setuju kalau dia akan menarik pakaian dalamnya juga. Sekali lagi, Erik meneguk ludahnya. Dan dengan tangan yang mulai gemetar dia menarik ujung CD berwarna grey itu sampai mendapati sebuah sayatan luka yang cukup lebar. Erik menautkan alisnya, tiba tiba dia menjadi penasaran bagaimana Abi bisa mendapatkan luka tersebut.
Erik menarik kotak P3k yang ada di sampingnya dan membawa botol berisi alkohol dan beberapa lembar kapas. Dengan telaten dia mengulaskan tetesan alkohol pada luka Abi dan menghiraukan setiap suara Abi yang meringis kesakitan.
"By the way ... kenapa kamu bisa punya luka di sini? Secara kalo jatuh atau nabrak sesuatu, biasanya yang luka itu lutut atau pergelangan kaki." tanya Erik untuk sedikit menghilangkan rasa canggung di antara mereka.
"Jatuh dari sepeda."
"Hah? Jatuh dari sepeda kok lukanya bisa di sini?."
"Aww." Abi meringis saat Erik menekan lukanya terlalu kuat. "Kena ranting pohon. Aku pikir nggak masalah kalo aku lewatin jalan yang agak sepi. Tapi ternyata banyak trap nya."
Erik mencoba menahan bibirnya agar tidak tertawa.
Orang macam apa yang bersepeda di jalanan sepi yang penuh ranting pohon. Abi ini benar benar anak yang sangat ceroboh. Pikirnya.
Erik meniup niup luka Abi agar tidak terasa perih saat mengulaskan obat merah. Dan setelah dia selesai memakaikannya. Bibir nakalnya mengecup lembut luka yang terbalut plester itu. Abi terperanjat saat sentuhan dingin mendarat di kulitnya. Spontan kakinya menendang tubuh Erik hingga lelaki jangkung itu terduduk di lantai.
Dasar senior mesum!