Evan hampir mencium Luci, setidaknya seperti itu kelihatannya.
Bahkan Tuan John saja sampai membalikkan tubuh dan memunggungi kedua orang itu ketika menyadari apa yang akan terjadi.
"Ap – apa yang …" gugup Luci dengan tubuh berusaha untuk beringsut dan menjauh dari Evan.
Tapi Evan terlalu cekatan dan kuat sehingga tangannya yang kokoh itu bisa dengan mudah untuk menahan tubuh Luci agar tidak menjauh.
Bahkan Evan semakin menarik tubuh Luci agar mendekat kepadanya.
Wajah Evan dan Luci sudah berjarak tiga senti meter saja, atau bahkan kurang dari itu.
Sekarang pun Evan meneliti wajah Luci mulai dari mata gadis itu, hidung gadis itu, lalu berhenti ke bibir sintal gadis itu.
"Bukankah bibir ini yang tadi malam aku nikmati? Yang rasanya manis itu?" tanya Evan dengan wajah menyeringai.
Evan tidak sungguh-sungguh ingin mencium Luci, CEO itu hanya ingin mengancam Luci melewati sentuhan seksual yang sepertinya sangat dibenci oleh Luci.
Lagi pula belum apa-apa saja Luci sudah beringsut ketakutan kan? Itu sudah bisa dijadikan sebuah bukti bahwa Luci sama sekali tidak menyukai sentuhan Evan.
Semakin tidak suka Luci disentuh-sentuh oleh Evan, maka akan semakin sering Evan melakukannya. Evan melakukan itu demi membuat Luci terintimidasi.
Jadi Luci tidak akan memiliki keberanian untuk melawan Evan atau membatalkan perjanjian ini.
"Tu – Tuan Evan, menyingkir!" Luci mendorong dada kokoh milik Evan.
Tapi Evan tidak kunjung menjauh.
Justru semakin keras Luci mendorong untuk menyingkirkan Evan, maka akan semakin keras juga usaha Evan untuk menempelkan tubuh mereka berdua.
"Kenapa aku harus menyingkir?" Evan bertanya sambil menyeringai.
Matanya meneliti bibir Luci lagi, seolah sudah bersiap-siap ingin mendaratkan bibirnya sendiri di sana.
"Karena aku yang memintamu. Jadi menyingkir, aku mohon!" Lagi-lagi Luci mendorongkan kedua tangannya secara bersama-sama agar bisa membantu untuk melepaskan tubuhnya dari kungkukan kedua tangan Evan yang masih melingkarinya dengan pelukan.
Pelukan Evan memang erat, tapi sama sekali tidak nyaman. Justru rasanya sangat panas.
Mungkin itu dikarenakan Luci yang tidak menyukai pelukan ini.
Jika Daniel yang memeluk Luci, barulah kenyamanan dan kehangatan yang akan Luci rasakan.
Jika Daniel yang memeluk Luci, Lucilah pihak yang tidak akan memperbolehkan Daniel melepaskan pelukan di antara mereka berdua.
"Jika kau tetap bersikukuh untuk membatalkan perjanjian ini padahal aku sudah memintamu untuk melanjutkannya,
" lalu kenapa aku harus menyingkir hanya karena kau memintaku untuk melakukan itu?" Evan melancarkan serangan demi serangan kata-kata yang dimilikinya.
Sekali lagi Evan menyeringai, apalagi setelah melihat betapa Luci semakin mengkerut dan kehilangan nyalinya.
Evan sangat suka mengintimidasi, CEO itu begitu menikmati momen ketika orang lain begitu takut dan tunduk padanya. Evan itu pribadi yang suka mendominasi orang lain, dan hanya dari situlah kepuasannya bisa didapat.
Mata Evan yang tajam dan dingin itu memandang dengan lurus ke dalam mata bulat dan besar milik luci yang seperti boneka.
Lalu hidung runcing Evan yang sempit dan panjang itu seperti kembang kempis dengan beribu uap amarah yang siap menyembur.
Dan jangan lupa bibir tipis milik Evan yang seperti sebuah garis tipis horizontal itu. Dari dalam bibir itu mungkin nanti akan muncul beribu taring yang bisa mencabik-cabik tubuh Luci hingga hancur.
Ruangan kantor dengan desain dan gaya campuran itu serasa lebih dingin dari sebelumnya, padahal saat pertama kali Luci masuk tadi saja hawanya sudah sangat dingin.
Hawa dingin yang dirasakan Luci ketika dia pertama kali masuk itu disebabkan oleh pendingin ruangan.
Tapi hawa dingin yang sekarang dirasakan oleh Luci ini bukan berasal dari alat pendingin itu.
Hawa dingin yang Luci rasakan saat ini berasal dari aura milik Evan yang saat ini begitu bengis dan mengancam.
Lihatlah matanya yang tak memiliki belas kasihan dan empati itu.
Harusnya jika Evan adalah lelaki normal pasti dia akan melepaskan Luci saat ini, karena Luci sudah meringkuk seperti tikus kecil yang sedang terluka karena habis dicabik oleh kucing besar.
Tapi yang dilakukan Evan bukannya melepaskan Luci.
CEO itu justru semakin mempererat cengkeraman kedua tanggannya di sekeliling tubuh Luci yang membentuk sebuah pelukan itu.
Terkadang bibir Evan berkedut. Kedutan itu menandakan betapa marah Evan saat ini.
"Apa yang Anda lakukan saat ini telah melanggar kode etik dua orang yang ingin bekerja sama." Luci berdeham.
Luci masih berusaha untuk tenang dan mengatur suaranya agar tetap stabil.
Walaupun di dalam dirinya, gadis itu begitu ketakutan setengah mati. Apalagi ketika merasakan bagian sensitif tubuh Evan yang menyentuh beberapa bagian tubuh Luci.
"Siapa yang peduli tentang kode etik? Malam ini kita bisa bersenang-senang.
Justru dengan pembatalan perjanjian ini, aku tidak memiliki alasan untuk menahan diriku lagi." Evan menaikkan senyum licik miliknya. Ujung bibirnya tersenyum sangat bengkok.
"Apa? Bu – bukannya Anda menyukai sesama jenis?" Luci yang kelepasan mengatakan itu, kemudian pun buru-buru untuk menutup mulutnya.
Matanya sudah membelalak. Luci pun kini berusaha untuk mencari jalan agar bisa meralat ucapan bodohnya tadi.
Tapi ketika mata Luci tak sengaja menatap wajah semakin dingin dan semakin membeku milik Evan, Luci pun sudah kehilangan akal sehatnya. Gadis itu hanya mematung dengan mata kosong yang sudah diisi oleh ketakutan.
"Tu – Tuan, ma – maksudku … aku." Luci belum bisa menyelesaikan penjelasannya karena Evan sudah terlebih dahulu menyelanya.
"John, siapkan sebuah kamar untukku saat ini juga! Sepertinya aku harus membuktikan kejantananku kepada Nona ini.
Dia pikir dia bisa mangkir dari memuaskan hasratku malam ini." Evan memerintah kepada Tuan John dengan tanpa menoleh dan menatap kepada Tuan John sedikit pun.
Sementara itu Tuan John – masih dengan mata datar dan gesture penuh disiplin miliknya – pun mengangguk dan membungkuk dengan sangat patuh.
"Baik, Tuan Evan. Mohon tunggu satu menit," jawab Tuan John.
Langkah kaki asisten pribadi Evan itu sudah terdengar. Tuan John pun berjalan untuk menuju ke sebuah dinding yang berada di ujung kantor.
Luci mengawasi Tuan John dengan perasaan campur aduk. Yakni antara perasaan penasaran soal kemanakah Tuan John akan pergi, juga perasaan takut jika saja Tuan John bisa menyiapkan ranjang di sini, di tempat ini.
Tapi tadi Tuan John berkata satu menit kan? Apa tim Evan bisa membawa ranjang ke ruangan ini dalam tempo waktu satu menit?
Apa akan ada pesawat dan jet yang muncul dari langit untuk menurunkan ranjang?
Namun ketika Tuan John sudah berhenti di depan sebuah dinding, barulah Luci tau di mana ranjang itu berada.
Tuan John pun terlihat menekan sebuah tombol yang berada di dinding itu. Setelah tombol ditekan, dinding pun menyibak dan terangkat.
Ketika dinding terangkat, Luci sudah mampu melihat sebuah kamar tersembunyi di balik tembok itu.
Kamar itu sama seperti kamar kebanyakan yakni memiliki sebuah kasur dan beberapa meja berlaci serta lemari.
Ruangannya terlihat didesain lebih kalem dan lembut dengan memberikan warna pastel yang tipis pada cat di dindingnya.
Lantainya terbuat dari kayu yang dipelitur sangat licin. Ada bunga-bungaan di atas seprai berwarna putih pada ranjang di kamar itu.
"Bagaimana Nona Luci? Aku sengaja memakai seprai berwarna putih agar cairan merah yang nanti keluar bisa dengan jelas terlihat ketika kita sudah selesai 'melakukannya," bisik Evan sembari mendekatkan bibirnya di telinga Luci.
***