Tak terasa tiga minggu telah berlalu, sebentar lagi awal tahun telah tiba. Sebelum orientasi studi dan pengenalan kampus, aku harus segera mencari kontrakan. Rencananya besok aku akan pergi mencariny, sebab keluargaku sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mau tidak mau aku harus mencarinya seorang diri. Namun kali ini aku harus mencari kontrakan yang sangat nyaman. Dulu pertamakali aku mencari kosan, aku mendapatkan kondisi tempat yang kurang layak, seperti suasana yang kumuh, lembab, dan terakhir rawan pencurian. Padahal kosan pertama yang aku tempati, dilengkapi dengan kamera CCTV. Sayangnya itu tidak menjamin keamanan para penghuni kosan itu sendiri.
Dulu sebelum memiliki motor Honda Revo putih, aku sempat memiliki motor Honda Supra X berwarna merah. Namun sayang motor itu menjadi korban pencurian. Ceritanya terjadi sekitar tiga tahun yang lalu, waktu itu aku pulang sekolah pada pukul sembilan malam. Saat memasuki gerbang kosan, kulihat banyak sekali variasi motor disana. Kuingat jumlah motor ditempat itu kalau tidak salah berjumlah sepuluh unit. Kemudian aku parkirkan, motorku pada posisi paling belakang. Sebab jika aku ingin pergi ke sekolah, diriku tak perlu lagi memindahkan motor yang lain. Selain menghemat tenaga juga menghemat waktu. Tetapi saat keesokan harinya, motorku sudah tidak ada. Spontan aku pun berlari dan mengetuk pintu setiap kosan, lalu aku memberitahu soal pencurian motor kepada seluruh penghuni kosan.
Setelah itu mereka pun panik, lalu berlari ke arah parkiran dengan penuh tergesah-gesah. Ternyata bukan hanya motorku saja, yang mengalami insiden pencurian tetapi tiga diantara motor itu yang mengalami insiden serupa. Enam motor selamat dari aksi pencurian tersebut, tetapi kunci kontak mereka jebol, sehingga harus pergi ke bengkel untuk memperbaikinya. Kejadian itu meninggalkan luka yang mendalam, sebab motor itu bukanlah sembarang motor. Motor itu adalah temanku, teman yang selalu menemaniku disaat suka maupun duka. Setiap satu bulan sekali, aku sering memanjakannya ke tempat yang ia suka yaitu bengkel. Tiga hari sekali aku sering memandikannya hingga kinclong.
Seandainya aku ada disaat kejadian, mungkin aku akan menghajar maling itu dengan gear dan gesper. Setelah itu aku berteriak minta tolong dan mengeroyoki mereka hingga babak belur, lalu membawa mereka ke kantor polisi. Sayangnya semua itu hanyalah sebuah imajinasi. Keesokan harinya pukul enam pagi, aku sedang bersiap-siap untuk pergi. Entah mengapa berpergian seorang diri, aku merasa kesepian lalu aku teringat akan sosok Kirana. Lalu aku keluar dan berjalan ke arah rumah, kebetulan suasana sekitar rumah sedang sepi. Jadi aku bisa segera mencoba untuk memanggilnya. Sebelum itu aku sempat kembali ke dalam kamar, lalu mengambil kalungku dibawah bantal. Kemudian aku memegang kalung dengan tangan kiriku, lalu menutup mata sambil menarik nafas, setelah itu membuka mata dengan menghembuskan nafas.
"Kirana Pramaswaran." Menatap ke depan sambil menjulurkan tangan.
Sedikit demi sedikit kulihat, butiran cahaya mulai membentuk sebuah pusaran, lalu butiran cahaya itu mulai menggumpal. Tiba-tiba munculah Sang Ratu diantara butiran cahaya, lalu ia membungku sambil merapatkan kedua telapak tanganya. Kulihat hari ini dia menggunakan style baju seperti kemarin, hanya saja kali ini dia memakai kaos merah, serta rok dengan panjang sedikit dibawah lutut. Kemudian ia pun berdiri sambil lalu menatapku dengan wajah mengantuk.
"Selamat pagi Juliet, hari ini ada apa kamu memanggilku?" Menutup mulutnya dengan tangan ketika ia sedang menguap.
"Maaf sepertinya aku mengganggumu,"menatapnya dan memasang ekspresi wajah rasa bersalah.
"Tidak apa-apa santai, lagi pula baru saja aku bangun." Tangan kirinya memegang pinggul, sambil menatapku dengan santai.
"Anu, rencananya hari ini gue mau ke Bekasi. Kirana mau ikut?" Mengajaknya dengan ragu.
"Ayok kuy, kita berangkat jam berapa?" Seketika wajahnya menjadi ceria, lalu seketika badanya segar bugar.
"Nanti setelah sarapan."
Dari gerbang belakang datanglah mamah, kulihat ia membawa sebuah plastik besar berisi empat bungkus nasi uduk. Kemudian mamah mempersilahkan kami berdua untuk masuk. Setelah itu kami bertiga menyantap hidangan bersama-sama. Kulihat Kirana tampak menikmati hidangan dengan lahap. Wajahnya cerah ceria sambil memuji enaknya makanan yang sedang ia nikmati. Padahal itu hanya sebuah hidangan murah biasa, tidak ada spesialnya sama sekali. Namun tingkahnya seperti seolah-olah ia menikmati sebuah hidangan dari surga. Mamahku sempat bertanya mengenai tingkahnya, untuk menghilangkan rasa curiga aku memberitahu bahwa dulu dirinya lama berada di kota. Untungnya mamahku percaya, lalu aku pergi ke kamar untuk mengambil dua helm berwarna hitam.
Kemudian aku menyuruhnya untuk memakainya. Awalnya ia menolak, namun setelah aku menjelaskan tentang peraturan di jalan dia pun mau memakainya. Setelah itu kami berdua berpamitan kepada mamahku, lalu kami pun berangkat. Sepanjang perjalanan Kirana terus menatap sekitar, terkadang tingkahnya yang pecicilan membuatku terganggu. Beruntung aku bisa mengimbanginya, jika tidak mungkin kita akan terjatuh. Kulihat tiba-tiba ia menatap sekitar dengan wajah bersedih. Satu jam telah berlalu, entah mengapa kelopak mataku terasa berat, tanpa sadar aku pun menguap. Tubuhku mulai terasa berat, kulihat laju kendaraanku menjadi tidak stabil. Tiba-tiba Kirana menepuk pundakku dengan cukup keras, spontan aku pun terkejut, lalu aku berusaha untuk kembali fokus. Dia pun berkata.
"Hey jangan lengah, fokus ke depan"
"Iyah maaf, gue ngantuk"
"Sebaiknya kita beristirahat sebentar, apa disekitar sini ada tempat peristirahatan?"
"Oh ada itu ada rest area, kita istirahat sebentar." Menunjuk ke arah rest area dengan tangan kiri.
Sesampainya di rest area, aku menyuruhnya untuk duduk di sebuah bangku depan supermarket. Sementara aku pergi untuk mengisi bensin hingga penuh. Selesai mengisi bensin aku mengajaknya masuk ke dalam supermarket. Ketika memasuki supermarket, kulihat Kirana terlihat takjub dengan apa yang ada didalam. Kemudian ia berlari kecil mengintari apa yang ada di dalam. Lalu ia memberikan seribu pertanyaan mengenai produk yang ada disini. Melihat tingkahnya membuatku sangat malu, beruntung ia memiliki paras yang cantik sehingga orang-orang memaklumi-nya. Lalu aku menghampiri tiga buah kulkas yang berderetan samping kiri. Kemudian aku mengambil dua minuman kopi luwak dalam bentuk botol. Setelah itu aku menghampiri Kirana, yang sejak tadi memperhatikan sederetan makanan ringan.
"Mau?"
"Tidak aku cuman melihat-lihat saja." Mengalihkan pandangan dengan pipi memerah, lalu ia bersiul kecil sambil melangkahkan kakinya sebanyak tiga kali.
"Yasudah gue beliin, kebetulan hari ini lagi bawa duit banyak."
"Benarkah? Baiklah aku mau yang ini dan selanjutnya ini." Mengambil tiga puluh jenis makanan ringan, tanpa rasa berdosa.
"Udah woi kebanyakan, dompet gue bisa hangus. Cepat pilih salah satu!"
Selesai berbelanja, kami duduk di sebuah bangku depan supermarket. Kemudian kami menikmati seteguk kopi dingin bersama-sama. Kirana terus saja memuji setiap makanan dan minuman yang masuk kedalam mulutnya. Dia pun bercerita, bahwa ini pertamakalinya ia merasakan betapa nikmanya makanan dan minuman di dunia ini. Jika seandainya makanan dan minuman ini tersedia di dunianya, mungkin ia akan membelinya setiap hari. Kemudian ia bertanya tentang kopi yang sedang ia nikmati. Lalu aku memberitahunya tentang apa itu kopi luwak, serta cara pembuatannya. Ketika ia tahu tentang proses kopi luwak, spontan ia memuntahkannya. Aku pun langsung menjelaskannya, bahwa kopi luwak baik untuk tubuh dan juga aman untuk dinikmati. Kulihat seketika Kirana mulai menyesalinya, karena merasa tidak nak aku memberikannya separuh kopi luwak kepadanya.
Melihat sikapku ia pun merasa senang, dia berterimakasih lalu ia tersenyum kepadaku. Setelah itu ia mulai bercerita, mengenai apa yang sebenarnya terjadi dijalan. Ketika melintasi jalan baru, ia melihat banyak sekali Jin jahat meminta tumbal. Jin itu meniupkan bulu-bulu sihir, agar diriku mengantuk. Kondisi jalan yang berlubang, serta minimnya pencahayaan saat malam hari mendukung aksi tersebut. Beruntung Kirana langsung menetralkanku dengan energinya, yang ia masukan lewat tepukan sebelumnya. Sehingga aku sadar dan fokus seketika. Sungguh disayangkan melihat kondisi jalan yang seperti itu, pernahkah pihak tertentu berpikir untuk langsung memperbaikinya? Sepertinya tidak, sebab mereka tidak akan bergerak jika tidak ada korban.
Begitulah tradisi konyol yang terus berlangsung hingga saat ini, atau istilahnya ada uang ada jalan. Kemudian Kirana pun bertanya.
"Waktu menampakkan wujudku di dunia ini, hanya berlangsung selama enam jam. Ada hal lain yang ingin kamu lakukan?"
"Enam jam yah, sebelumnya kita berangkat jam enam. Coba kita lihat sekarang sudah pukul sembilan pagi. Masih ada tiga jam lagi, santai." Melihat jam tangan di tangan kiriku.
"Ok, baiklah sekarang kita kemana. Apakah sudah waktunya makan siang?" Menatapku dengan penuh semangat.
"Ini jam sembilan woi, masih pagi! Rencananya hari ini kita mencari kontrakan murah, buat aku tinggal disana selama kuliah."
"Hmm... menarik, ayo kita berangkat jangan membuang-buang waktu disini."
"Oh iya, wujudmu bertahan tinggal tiga jam lagi. Nih pake kalung gue, biar wujud elu unlimited." Memberikan kalung milikku dengan tangan kanan.
"Apa tidak apa-apa?"
"Sudah pakai saja, lagian gue percaya elu bukan makhluk jahat."
"Ok, terimakasih aku akan langsung memakainya." Menerima kalungku.
Perjalanan pun dilanjutkan, tak terasa cuaca hari ini rasanya semakin panas. Polusi yang tebal serta teriknya matahari, membuat kami semakin terpanggang. Sepanjang perjalanan Kirana terus saja mengeluh, dengan asap kendaraan dari para supir truck. Bukan hanya itu terkadang ia harus menahan nafas, saat berada dibelakang mobil box yang mengangkut ayam.
"Ayo cepak aku sudah tidak tahan lagi!" Menepuk pundakku
"Sabar woi di depan kagok, banyak motor." Menoleh ke samping mobil di depanku.
Setelah melalui berbagai rintangan, akhirnya kami berdua sampai di kota Bekasi. Sebelum mencari kontrakan, kami mampir di sebuah kedai mie ayam untuk mengisi perut. Aku memesan dua porsi mie ayam bakso, serta dua gelas es teh manis. Ketika sedang menikmati hidangan ia mengeluh berbagai hal di jalan. Apalagi soal polusi dan mobil box berisi ayam yang membuat hidungnya sakit. Aku memaklumi hal itu, lalu aku berkata bahwa ini tidak seberapa dibandingkan dengan ibukota. Lalu mengatakan bahwa ia akan segera terbiasa. Mendengar setiap keluhanya membuatnya, terlihat seperti gadis kaya dari luar negeri. Setelah itu ia memberi seribu pujian, pada mie ayam yang sedang ia makan.
Sambil mengunyah ia terus berbicara, melihat tingkahnya di dalam lubuk hatiku yang paling dalam diriku bertanya-tanya. Apakah benar ia seorang ratu? Meskipun begitu, cara ia menggunakan sendok dan garpu terlihat rapih. Seperti yang aku katakan sebelumnya, meskipun norak untung dia cantik. Selesai memakan mie ayam, Kirana pun berdiri lalu menghampiri Sang Penjual, untuk memesan satu porsi lagi. Tak aku sangka Kirana memiliki nafsu makan yang besar. Untungnya ia membayarnya dengan uang miliknya sendiri, sehingga dompetku aman. Tetapi tunggu dulu, apakah itu uang asli? Gumamku sambil menatapnya dengan terkejut. Yasudah mau bagaimana lagi, suka-suka dia saja.
Selesai makan, kami pun pergi menuju alamat kontrakan yang tertera di internet. Sesampainya dilokasi kulihat sebuah bangunan yang terdiri dari tiga lantai. Bagunan itu tidak memiliki warna, hanya ditutupi oleh semen, bentuk bangunan itu terlihat seperti kubus. Kemudian aku memanggil, Pak Weri pemilik kontrakan di balik pagar. Sekian lama kami memanggil akhirnya Sang Pemilik kontrakan pun keluar. Sekilas dirinya yang bermata sipit terlihat seperti keturunan tiong hoa, lalu Sang Pemilik kontrakan mempersilahkan kami untuk masuk. Ketika memasuki gerbang aku melihat sebuah tangga kecil ke lantai atas, lalu kami berjalan menelusuri lorong yang sempit dan gelap. Kemudian sampailah kita pada sebuah kamar, yang tidak di kunci.
Kulihat kamar ini memiliki luas 4 x 4m , lalu diruangan itu hanya memiliki satu kamar mandi kecil seluas 1,5m. Suasana kamar sangat lembab sekali, tak ada cahaya matahari apalagi pentilasi udara. Pantas saja harganya sangat murah, sepertinya aku tidak akan memilih tempat ini sebagai tempat tinggalku. Lalu Kirana pun berkata.
"Kau sebut ini tempat tinggal, tempat ini terlihat seperti," ucapnya dengan sombong.
"Sttt." Ucapku berdesis, sembari menutup mulutnya.
"Si eneng ngomong apa?"
"Oh enggak dia gak ngomong apa-apa kok." Mengatakannya agar ia percaya.
Kulihat wajah Pak Weri terlihat sedih, namun aku bersikap seolah tidak mengetahuinya. Dan akhirnya aku memutuskan untuk tidak jadi menempatinya. Sebelum melanjutkan pencarian, kami berdua pun berpamitan kepada Pak Weri. Sepanjang perjalanan aku menegurnya agar ia tak melakukannya kembali. Lalu Kirana pun berkata.
"Aku hanya ingin mengatakan sejujurnya, tak ada maksud menyinggung apalagi menghina," katanya.
"Niatmu sudah bagus, tetapi tidak semua manusia menghargai kejujuran. Jadi biarkan alam itu sendiri yang memberitahunya."
Sekian lama di perjalanan aku melihat sebuah slogan, yang bertuliskan "Ada kontrakan kosong." Spontan aku mengunjungi tempat tersebut, akhirnya kami tiba di sebuah bangunan yang memiliki dua lantai. Tak seperti tempat sebelumnya, tempat itu memiliki jendela dan pentilasi udara. Saat aku masuk ke dalam kontrakan berada di lantai bawah, kontrakan itu memiliki panjang 8m dan lebar 5m. Kontrakan itu memiliki fasilitas dapur, ruang keluarga, dan kamar mandi. Tempat ini cocok bagiku namun sayangnya, kontrakan ini berada di permukaan tanah yang menurun, sehingga tempat ini menjadi langganan banjir. Sebenarnya aku ingin berada di lantai dua, namun kamar lantai dua sudah penuh. Akhirnya sekali lagi aku tidak jadi menempatinya.
Dua jam lamanya kami mencari, namun tak ada satupun tempat yang cocok bagiku. Lalu aku memutuskan untuk istirahat sejenak di pinggiran jalan. Tak sengaja aku melihat slogan berisi, "Kontrakan kosong" di samping depan pagar. Disana terdapat empat kontrakan yang berjejeran. Kulihat tempat itu memiliki halaman cukup luas, di halaman itu terdapat sebuah pohon mangga dan rumput hijau. Setiap kontrakan memiliki teras yang berukuran 2 x 2 m. Dari arah depan datanglah seorang pria paruh baya dengan perut buncit. Kulihat ia hanya memakai kaos abu dan celana pendek, serta menggunakan sendal jepit. Dia pun bertanya.
"Sedang mencari kontrakan yah?"
"Iyah." Jawab kami berdua.
"Saya yang punya kontrakan ini, ayo silahkan masuk."
Kami berdua memasuki gerbang, kulihat Kirana tak berhenti menatap sekitar, sesekali ia melambaikan tangan ke atas pohon. Saatku menoleh ke atas pohon tidak ada siapapun disana. Beruntung pemilik kos itu, tidak melihatnya jika tidak dirinya akan dianggap aneh. Kemudian kami memasuki kontrakan tengah. Ternyata kontrakan itu memiliki luas 4m dan panjang 9m. Kontrakan itu memiliki fasilitas ruang tamu, ruang keluarga yang cukup luas, dapur, dan terakhir kamar mandi. Akhirnya aku berhasil menemukan tempat yang cocok untukku. Lalu terdengar suara ringtone HP milik Sang Pemilik kontrakan. Spontan pemilik kontrakan itu langsung keluar. Lalu Kirana pun bertanya.
"Jadi bagaimana, apakah kamu jadi untuk menempatinya?" Tanya Kirana.
"Tentu saja, tempat ini sangat nyaman untuk ditinggali. Lagipula harganya sekitar enam ratus ribu perbulan, tidak terlalu mahal bagiku. Tempanya juga strategis dan jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus."
"Ok baiklah sekarang mundurlah, sudah saatnya diriku melakukan pekerjaanku." Menyentuh dadaku lalu mendorongku ke belakang dengan perlahan.
"Hei, Kirana apa yang sedang kamu lakukan?" Menatapnya dengan curiga.
"Tenang santai saja, aku hanya ingin menetralkan tempat ini. Lagi pula kulakukan agar privasimu terjaga," ucapnya.
Dia pun mulai enggerakkan tangannya seperti membentuk sebuah tarian, sembari melafalkan mantra yang tidak aku mengerti. Kemudian ia membentangkan tangannya selebar mungkin, tiba-tiba cahaya pun mulai menyebar layaknya sebuah hologram. Dan akhirnya ritual pun berakhir.
"Sekarang sudah aman, tidak ada makhluk atau apapun yang akan mengusikmu. Tetapi benteng gaib ini, hanya bertahan salama dua bulan saja sisanya itu tergantung kepadamu."
"Terimakasih, padahal aku ingin memintamu untuk menemaniku saja. Tetapi mengapa kamu melakukan hal itu?"
"Ara-ara, anggap saja ini hadiah dari kencan pertama kita." Menggodaku dengan senyuman manisnya.
"Berisik! Jangan menggodaku, ayo kita pergi!" Ujarku dengan tersipu malu.
Setelah itu aku menemui pemilik kontrakan itu, lalu aku memberikan uang sebesar tiga ratus ribu sebagai tanda jadi. Sebelum mengunjungi pasar modern. tak lupa aku memfoto setiap ruangan, agar keluargaku mengetahuinya. Perjalanan pun dimulai, kulihat dari kaca spion ia terlihat sangat senang. Aku pun penasaran lalu bertanya, rupanya ia tidak sabar untuk mengunjungi pasar moden. Sebab ia ingin berbelanja beberapa oleh-oleh untuk dibawa ke istana. Sesampainya di pasar, aku memintanya untuk menemaniku berbelanja pakaian. Rencananya aku ingin membeli kemeja putih, celana bahan hitam, dan sepatu hitam bertali putih. Ketika aku menginjakkan kaki di kawasan perdagangan baju, para pedagang mulai menghampiriku lalu menjajakan daganganya.
"Mau beli apa?"
"Sini akang kasep, baju style anak muda lengkap disini!"
"Hari ini lagi ada promo baju diskon 40% loh kang!" Memegang papan diskon.
"Lihat ini baju impor kualitas terbaik, cocok untuk dibelikan ke neng geulis ini!"
"Mampir dulu kesini akang kasep!"
Berbagai cara yang mereka lakukan agar diriku membeli di tempat salah satu dari mereka. Lama kelamaan kepalaku terasa pusing, badanku mulai berkeringat dingin, penglihatanku mulai terlihat tidak jelas. Segala macam tekanan ini membuatku tidak tahan, tanpa sadar aku memegang tangan Kirana yang lembut, lalu menariknya mengunjungi salah satu toko. Tiba-tiba Kirana memegang pundakku, lalu aku merasa ada sebuah energi yang mengalir dari tangannya. Kirana mendekatkan wajahnya ke arah telingaku, lalu ia berkata.
"Hei tampan jangan lengah, ini adalah pengaruh dari sihir penglaris." Berbisik-bisik di telinga kananku, lalu menghembuskan nafasnya sehingga membuatku geli.
Kemudian aku memilih baju dan celana, sesuai dengan keperluanku. Kulihat pedagang wanita yang berusia 25 tahun, melakukan penawaran menarik kepada Kirana. Setelah itu ia memilih beberapa style baju, kemudian ia mencobanya di ruang ganti. Meskipun dia bukanlah manusia, ia tetaplah seorang wanita yang senang dengan hal seperti itu. Setelah itu ia membuka hordeng, lalu memanggilku untuk melihatnya.
"Bagaimana pendapatmu?" Menggunakan kaos pink, bando berwarna putih, dan rok diatas lutut.
"Cantik cocok-cocok." Melihat penampilanya tanpa berkedip, sambil memberi jempol.
Selesai memilih pakaian saatnya untuk membayar. Setelah itu terjadilah tawar menawar, dua style baju dengan celana hitam bahan dia hargai empat ratus ribu. Setelah acara tawar menawar cukup panjang, harga hanya turun seratus ribu. Harga yang tidak masuk akal untuk sebuah syle baju biasa, tetapi entah mengapa kepalaku terasa pusing, pandanganku mulai kabur, serta berkeringat dingin. Sekali lagi Kirana memegang pundakku, lalu berbisik-bisik dengan mengatakan hal yang sama. Aku terdiam, lalu memberi isyarat agar Kirana mau menolongku. Sekarang saatnya giliran Kirana untuk turun tangan.
"Jadi berapa total kemeja putih, kaos kerah merah berlengan pendek dan celana hitam bahan?"
"Tiga ratus ribu kak, ini sudah harga modal loh. Bahan dan kualitas impor, segitu saya kasih murah." Sambil memegang kemeja putih.
"Yasudah bagaimana kalau seratus lima puluh, sekali angkut deh." Menatap kedua mata Sang Penjual.
"Ok, nanti saya bungkus bajunya."
Tidak aku sangka ia sangat pandai dalam tawar menawar. Selesai membungkus pakaian aku langsung membayarnya lalu aku pergi ke tempat selanjutnya. Ternyata saat terjadi tawar menawar, Kirana menggunakan ilmu magisnya pada kedua bola matanya. Pantas saja sejak tadi, aku seperti melihat cahaya kekuningan pada matanya. Rupanya ia sengaja melakukannya, hanya untuk memberi pelajaran agar ia tak mengulangnya kembali. Tak sampai disitu ia mengambil salah satu benda penglaris, yaitu bulu perindu dalam sebuah botol kecil, lalu ia menunjukkannya padaku. Melihat hal itu aku pun tertawa, lalu aku pun berkata.
"Rasakan, sesekali orang bagitu lebih baik dikerjai saja. Tapi apakah ia akan menyadarinya?"
"Cepat atau lambat ia pasti akan menyadarinya, tinggal tunggu waktu saja."
Setelah membeli sepatu, sekarang tinggal membeli rempah-rempah untuk kegiatan ospek. Kemudian kami mengunjungi tempat para pedagang, yang menjual rempah-rempah dan sayuran. Sebelum berbelanja aku menulis apa saja, yang akan aku beli dalam sebuah kertas. Yang pertama adalah seperempat bawang merah dan putih, satu jahe, dua daun sirih,satu susu ultra putih, satu kayu putih, tali rapia, spidol, dan yang terakhir adalah lem. Kemudian kami membagi tugas lalu berpencar untuk membelinya. Sebelum itu aku memberikannya selembar seratus ribu. Kulihat dari kejauhan, paras cantiknya mengundang perhatian orang banyak. Para pedagang itu menawarkan dagangannya, dengan bahasa yang lemah lembut. Berbanding terbalik dengan diriku, para pedagang itu bersikap seperti biasa serta menatapku dengan muka datar.
Selesai berbelanja, aku menunggunya di pertigaan jalan sesuai perjanjian. Sambil menunggu aku bersender pada sebuah tembok. Namun sejak tadi, karena khawatir aku pun mencarinya. Sekian lama mencari, akhirnya aku menemukannya di warung sembako. Kulihat ia menunggu seorang pedagang, yang sedang mengikat kardus berukuran sedang. Selesai mengikat Kirana langsung menghampiriku, setelah itu kami berjalan menuju parkiran untuk mengambil motorku. Sepanjang perjalanan, pandanganku tak lepas dari kardus yang ia bawa. Karena penasaran aku pun bertanya.
"Oi Kirana itu kardus isinya apa saja?"
"Satu kilogram bawang marah dan putih, satu pack minyak kayu putih, sepuluh kotak susu ultra, dan terakhir cemilanku." Menjawabnya tanpa rasa bersalah.
"Hah?! Padahal gue udah tulis, aduh kamu ini bagaimana sih." Menegurnya dengan perasaan panik.
"Maaf."
"Yah seratus ribu gue." Seketika badanku langsung lemas serta wajahku melesu.
"Ha.ha.ha jangan murung begitu, aku hanya bercanda. Coba lihat ini seratus ribu milikmu masih aman ditanganku." Mengibaskan uang seratus ribu milikku.
Kemudian ia menjelaskan semuanya, ternyata semua itu ia dapatkan dari pemberian para pedagang. Entah mengapa mereka memberikannya secara sukarela,mendengarkan hal itu seketika hatiku merasa lega. Lalu aku mengelus dadaku, sebanyak tiga kali sambil mengucap syukur. Sesampainya di parkiran kami memulai perjalanan kembali pulang. Tak terasa hari semakin sore, kulihat matahari sebentar lagi akan tenggelam. Kulihat Kirana terlihat takjub saat melihat proses matahari tenggelam. Sebab seumur hidup ia habiskan waktu di dalam istana. Sekarang sekali lagi dia bisa melihat indahnya dunia. Dibalik indahnya cahaya sore, ia mulai memelukku dengan erat, lalu Kirana bersender pada punggunggku.
Sekian lama di perjalanan akhrinya kami sampai di Sukamandi. Tinggal melintasi Dsn. Mulyasari dan Balai Desa, kami bisa sampai dirumah. Sayangnya dia harus kembali ke istana, maka sebelum melintasi Balai desa, aku menurunkanya disebuah jalan sebelum menaiki jembatan. Kebetulan tidak ada satupun warga yang melintas, sehingga aman untuk menurunkannya. Sesampainya dilokasi, Kirana memberikanku kardus, helm dan kalungku. Kemudian ia menatapku dengan manis, lalu ia pun berkata.
"Terimakasih untuk kencan hari ini, maaf sudah merepotkanmu."
"Tidak masalah, hei lagipula ini bukan kencan. Berhentilah menggodaku!" Seketika mukaku memerah, dan aku mulai salah tingkah.
"Ha.ha.ha. aku tahu. Ah imutnya reaksimu itu, baiklah sampai jumpa semoga harimu menyenangkan." Melambaikan tangan, sambil menghilang dibalik butiran cahaya.
Setelah kami berpisah, aku langsung melaju kendaraanku kembali ke rumah. Sesampainya dirumah aku langsung mencium tangan kedua orang tuaku. Lalu aku langsung membersihkan diriku, setelah menikmati makan malam berdua bersama mamahku. Ketika aku sedang menikmati hidangan, mamahku bertanya.
"Dari kemarin mamah penasaran ingin bertanya, hubungan kalian berdua sepertinya dekat. Apakah dia pacar kamu?"
Mendengar hal itu aku langsung tersedak, spontan diriku langsung mengambil minum untuk melancarkan pencernaan. Lalu kembali menikmati hidangan.
"Jangan bercanda, dia itu cuman teman gak lebih." Berbicara sambil mengunyah makanan dengan santai.
"Padahal kalian berdua itu kelihatannya cocok." Melihatku yang sedang berjalan ke dapur.
"Aku tidak dengar!" Menjawab dari dalam dapur.
Selesai makan malam aku langsung pergi memasuki kamar, lalu menonton serial anime di laptop. Sambil menonton aku sempat berpikir apa yang dikatakan oleh mamah. Apakah yang aku lakukan bersama Kirana adalah kencan? Tetapi mana mungkin seperti itu, lagipula tidak setiap pasangan melakukan yang namanya kencan. Jika setiap laki-laki dan perempuan jalan bersama, dikaitkan dengan istilah kencan maka sudah berapa wanita, yang sudah berkencan denganku. Memikirkan hal itu membuatku senyum sendiri. Yasudah biarkan saja aku tidak ingin memikirkannya. Lebih baik tidur untuk menyambut hari esok yang lebih cerah.
Satu hari sama dengan dua puluh empat jam. Jika bersamamu waktu terasa seperti satu menit, bahkan lebih cepat dari itu.
Vous aimerez peut-être aussi
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK