Télécharger l’application
6.06% Hold Me Tight ( boyslove) / Chapter 18: Kisah Ulang?

Chapitre 18: Kisah Ulang?

Wanita paruh baya itu sama sekali tak bisa memejamkan mata. Matahari sudah mulai meninggi namun sedikitpun wanita itu belum terlelap. Pikirannya masih saja berputar ke nasib nya yang selalu kurang mujur. Diusianya yang sudah menginjak empat puluhan harusnya ia sudah bebas dari beban hidup tentang persoalan cinta. Miris sekali, bahkan selama hampir separuh umurnya ia tak pernah berhenti mengejar pria impiannya itu.

Rara Aninditha, wanita yang masih begitu cantik dengan tubuh yang masih kencang terawat. Wajahnya yang ayu tanpa sedikitpun keriput membuat ia nampak lebih muda dari usianya.

Bangun dari ranjang, ia pun melangkahkan kaki telanjangnya kearah datangnya cahaya. Pandangannya menatap jauh ke jendela kaca besar yang menampakkan pemandangan hijau. Tubuh-tubuh semangat dibawah sana nampak begitu antusias menyambut kebaikan sinar matahari pagi. Senyum ceria yang begitu jelas walau Rara berada di lantai tiga bangunan besar itu. Tersenyum miris, ia merasa begitu iri. Wanita itu selalu menanti kapan gilirannya untuk tertawa bahagia seperti itu.

"Kenapa berdiam diri di sana, kau masih belum pulih benar," ucap suara bariton itu menyapa telinganya. Rara hanya diam terpaku, sama sekali tak berminat untuk menolehkan pandangan kepada pria yang kini terasa mendekat padanya.

"Kau harus kembali berbaring, ayo ku bantu!"

Rara menolehkan tubuhnya cepat, tangan nya pun menghempaskan lengan pria yang dengan kurang ajarnya menyentuh punggungnya. Ia sudah bertindak di luar batas.

"Jangan lagi-lagi kau mengurusi hidupku!" peringatnya dengan tajam. Matanya menatap nyalang kearah pria yang membalasnya dengan raut iba. Rara tak butuh di kasihani, apalagi oleh pria yang ia benci sedalam-dalamnya itu.

"Ra..."

"Heh! Jangan membuat wajah yang menyedihkan itu! Aku tau... Aku tau pasti dalam hatimu menertawakan ku, kan?!" kesal Rara dengan mendorong dada pria itu menjauh. Wajahnya sudah merah padam, air mata yang langsung membanjiri pelupuk mata itu pun membuat pandangannya memburam.

"Apa maksudmu? Aku..."

"Tak usah kau tahan. Jika ingin tertawa, tertawa saja! Tertawakanlah hidupku yang akan hancur sebentar lagi!"

Tangis Rara pun semakin histeris, kedua lengannya kini melampiaskannya dengan memukul dada pria di hadapannya itu.

"Sebentar lagi aku akan menghadapi peristiwa yang sama, akan sendirian lagi."

Pria paruh baya itu pun berusaha memeluk tubuh Rara yang menggeliat ingin dilepaskan. Tangisan itu begitu membuat hatinya merasakan sakit. Semua ini karenanya, ia memang begitu pantas mendapatkan penyesalan yang begitu terasa mengiris relungnya.

"Tenanglah!"

"Aku membencimu, lepaskan aku!" teriak Rara dengan masih memberontak. Mereka masih dengan ego nya masing-masing. Satu orang yang begitu ingin meminta pengampuan dan di sisi lain beranggapan bila semua itu sudah tak berguna lagi.

"Astaga! Ada apa dengan Rara, Hardi!"

Rara sudah tak mempedulikan sekitar, pikirannya begitu kalut. Kepalanya begitu pusing, ia bahkan baru menyadari tubuhnya yang melayang di gendongan Hardi.

Di baringkanlah tubuhnya yang terasa begitu lemas. Seorang dokter datang begitu cepat dan memeriksa jahitan luka di lengan kanannya yang terbuka lagi.

"Apa yang sebenarnya terjadi Hardi?"

Suara sahabatnya Rara itu adalah kata terakhir yang ia dengar sebelum mata wanita paruh baya itu terlelap oleh bius yang disuntikkan kepadanya.

Mengelap wajah Rara yang penuh air mata, Nina menatap tajam kearah pria yang kini menundukkan kepalanya dalam.

"Bagas akan menceraikannya," ucapan lirih itu membuat Nina semakin merasa miris dengan nasib Rara, sahabatnya itu.

"Huh! Aku tak bisa membayangkan bagaimana remuknya hati Rara. Mereka sudah lama bersama, kenapa hal ini bisa terjadi, Jo!"

Nina menangis sesegukan, Jonathan yang ada di sampingnya itu pun langsung memeluk tubuh sang istri.

"Kenapa nasibnya selalu berakhir seperti ini, Jo! Dua kali... Haruskah ia mengalami keadaan ini lagi?!"

Nina berujar penuh kekesalan, matanya kini menatap Hardi dengan mata tajam.

"Ada apa dengan tante Rara, Pa?"

"Sstst, diamlah!" perintah Jonathan dengan berbisik pada Cherlin, putrinya itu.

Ketukan di pintu membuat Nina langsung menghapus air matanya. Itu pasti Nathan, Nina tak ingin anak sahabatnya itu menatap curiga kepadanya yang banjir air mata. Kalaupun semua harus terbongkar, Rara sendirilah yang harus mengatakannya.

"Cherlin, bukalah pintunya!"

Pintu terbuka Max masuk terlebih dulu, Nathan yang mengekor dibelakang itu sedikit merasa canggung, meski dalam hati ia begitu cemas mendapati mamanya yang dirawat di rumah sakit.

"Nathan... Kesinilah, jenguk mama mu!" ajak Hardi dengan menarik tangan Nathan mendekat ke sisi ranjang.

"Mama kenapa paman?"

"Kecelakaan, dia menyetir mobil sendiri kemarin malam."

Nathan menolehkan pandangannya ke Pak Hardi. Sedikit aneh dirasakannya saat menatap pandangan penuh luka pria paruh baya itu.

"Setahuku mama tidak pernah lagi menyetir mobil sendiri. Atau bisa jadi mama sudah mulai menyetir, lagi? Entahlah, aku tak terlalu dekat dengannya."

Nathan berucap begitu lirih, ia seperti berbicara dengan pikirannya sendiri.

"Ehmm... Sebaiknya kita keluar dulu, terlalu banyak orang akan membuat istirahat Rara tak nyaman."

Nina pun menggiring semua orang keluar. Ia tau Nathan yang malang itu pasti ingin sekali menatap kesakitan ibunya dengan keadaan yang tenang.

Max yang berjalan keluar dengan posisi paling akhir itu menolehkan pandangan ke Nathan. Ia merasa begitu khawatir, Nathan nampak terdiam terpaku disana. Jika bisa, ingin sekali Max menarik tubuh lemas itu ke pelukannya, mengelus punggung itu dan menawarkan dada untuk di jadikan tempat bersandar. Ya, jika bisa!

"Ayo, brother!"

Max harus keluar saat Cherlin menariknya. Pintu dengan pelan ditutup, Nathan pasti begitu sedih. Mama yang sejak kemarin terlihat begitu dihindari, Nathan yang bahkan berucap langsung walau dalam keadaan setengah sadar. Pasti perasaan Nathan begitu campur aduk, disatu sisi Nathan yang menahan emosi karena masalahnya dengan sang mama atau pun kekhawatiran pada wanita paruh baya itu. Max begitu ingin menghibur Nathan saat ini.

"Brother!" panggil Cherlin dengan memukul lengannya. Max begitu kaget dan dengan kesal ia pun menatap tajam adiknya itu.

"Ada apa denganmu? Kau bisa memanggilku dengan pelan, suaramu bisa saja membuat seluruh penghuni rumah sakit ini terganggu," ucap Max membuat Cherlin mengerucutkan bibir. Menggapai leher tinggi sang kakak, ia pun memiting kepala itu dan memukul- mukulnya pelan.

"Brother selalu saja sewot saat berbicara denganku, padahal yang ingin aku katakan saat ini begitu penting!"

Melepas belitan lengan Cherlin, Max pun menatap dengan menuntut. Cherlin adalah mata-mata yang akurat, barangkali mengenai Nathan itu adalah yang paling penting sekarang.

"Ikut aku!"

Max menarik lengan adiknya itu sedikit menjauh dari tempat duduk orangtuanya.

"Katakan!"

"Huh! Bisa bicara baik-baik tidak, sih!"

Cherlin menatap jengkel kearah kakaknya yang menatap penuh desakan itu.

"Adikku tersayang... Informasi apa yang kau tau, bolehkah aku mengetahuinya?"

Max berbicara halus namun penuh penekanan. Adiknya itu selalu saja bisa membuatnya jengkel dengan sikapnya.

"Tapi kau harus menuruti keinginanku, pecat bodyguard itu sekarang juga!"

Max sudah bisa menebak watak licik Cherlin. Meski begitu ia berusaha tetap sabar demi informasi yang akan dia dapat.

"Jika informasi itu benar-benar penting, aku akan menuruti keinginanmu itu."

"Mereka tadi menyebut tentang perceraian yang terulang lagi. Ya... Kurasa tante Rara akan bercerai."

Max menatap tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Cherlin, mana mungkin itu terjadi. Bagaimana bisa hubungan yang terlihat harmonis seperti itu bisa timbul kata perceraian, tante Rara dengan Om Bagas.

"Beritaku sangat eksklusif, kan? Kalau begitu kau harus menuruti keinginanku, brother!"


Chapitre 19: Bagaimana dengan Nathan?

Ruang besar dengan warna putih mendominasi membuat tampilan terlihat begitu bersih. Beberapa stan kaca tempat mendisplay beberapa jenis makanan yang terlihat menggiurkan dengan warna dan perpaduannya. Bangku- bangku panjang yang ditata rapi sudah ditempati oleh sebagian besar orang, membuat suasana menjadi ramai.

Max meneguk minuman kaleng itu dengan mata terfokus ke arah Nathan. Pria itu masih saja terdiam sejak terakhir kali mereka meninggalkan ruang rawat dan beralih ke kantin rumah sakit. Entah apa yang dibicarakan oleh ibu dan anak itu. Max tak berani bertanya, ia hanya memberikan perhatian kecil. Seperti menyampirkan lengan di bahu saat berjalan, menarik kursi saat Nathan akan duduk, atau pun memberikan tisue saat melihat bekas bumbu kari tertinggal di sudut bibirnya.

Tak semudah itu untuk mencoba akrab dengan Nathan. Beberapa kali ia bahkan harus mencoba cuek dengan tatapan tajam yang di arahkan kepadanya. Max tak merasa kesal dengan tanggapan Nathan yang seperti itu, kalau boleh jujur ia malah menyukai ekspresi yang menunjukkan kekesalan dengan bibir yang mengerucut lucu.

Sepintas Max jadi mengingat saat awal- awal mereka bertemu, sikapnya begitu canggung tapi nampaknya sekarang Nathan sudah menyadari keberadaannya. Kalau dulu ia hanya diam dengan senyum sungkan, sekarang jauh lebih baik. Max suka dengan perubahan wajah yang ditujukan untuknya.

"Sttst, brother!" bisik Cherlin tepat di telinga kanannya. Siku tangannya menyenggol milik Max meminta atensi. Kursi panjang itu membuat Cherlin semakin bisa mendekatkan diri ke arah Max.

"Hemm..." gumam Max malas. Menolehkan wajah rasanya terlalu begitu berat kalau untuk menanggapi ocehan tak berguna adiknya itu.

"Kemarin kalian ke klub malam, kan?"

Pertanyaan Cherlin hanya dibalas dengan gumaman pelan. Max tak terlalu berminat untuk berbicara dengan adiknya itu. Max kini kembali lagi menajamkan penglihatannya pada Nathan yang terfokus pada ponsel di genggamannya. Nathan begitu nampak mempesona, akan sia-sia jika Max melewatkan kesempatan untuk menatap Nathan dengan intens dan sedekat ini.

"Aouchh! Kenapa kau mencubit ku?"

Nathan mengalihkan perhatian kearah kakak-beradik di depannya itu dengan mengerutkan dahi. Max dan Cherlin pun hanya bisa tersenyum bodoh hingga Nathan kembali lagi pada aktivitas awalnya.

"Karena kau tak menjaga calon iparmu itu dari serangan setan. Lihatlah, lehernya Nathan yang begitu jelas menampakkan hickey! Wanita mana yang begitu ganas menyerang seorang pria seperti itu?" bisik Cherlin dengan tajam. Max pun membekap mulut lebar yang selalu bicara tak tau tepat dan kondisi. Max khawatir kalau Nathan mendengarnya dan Nathan menyadari bekas kenakalannya di tubuh pria itu.

"Kau bisa tidak sih, sedikit saja tak mengurusi hidup orang lain? Dan kau bilang apa tadi, ipar? Jangan bermimpi, urusi saja pacar-pacarmu dulu!"

Max berucap dengan tegas. Pasalnya Cherlin itu wanita yang suka sekali mengoleksi kekasih. Semua yang pernah Max kenal pun nampak cerdas dan berparas tampan. Hampir sebagian besar dari mereka adalah anak dari rekan kerjanya dan yang lain adalah mahasiswa yang terkenal akan ke geniusannya. Adiknya itu begitu beruntung, tapi sampai sekarang Max pun tak bisa menemukan jawaban kenapa Cherlin begitu laku keras di pasaran.

"Kenapa kau yang sewot? Nathan itu pria lajang, sebagai seorang wanita, aku tak mungkin melewatkan kesempatan untuk mendekati pria berkualitas seperti itu."

Max pun menolehkan pandangannya ke Cherlin saat mendengar ucapannya itu. Otaknya pun jadi berpikir, wanita memang tak akan pernah bisa melewatkan kesempatan untuk mendekati pria semenawan itu. Membayangkannya saja membuat Max begitu cemburu, apakah selama ini banyak juga wanita yang mengejar Nathan seantusias Cherlin?

Mengedarkan pandangannya keseluruh kantin, Max pun menarik napas lega. Pasalnya dari semua tatapan itu, lebih banyak gadis menaruh pandangan ke arahnya. Mencoba mengetes dengan memberi senyum tipis, Max semakin yakin saat melihat ekspresi girang kumpulan wanita itu. Max memang terlihat sekali dominant sejati, jika seperti itu maka masalah selesai. Max akan terus ada di dekat Nathan hingga tak ada lagi pandangan mengagumi lebih dari dirinya.

Sehabis menyantap makan siang, mereka bertiga pun kembali ke ruang inap Rara. Nathan yang hatinya masih berkecamuk itu masih saja mengecek ponsel yang beberapa waktu lalu telah mengirim beberapa pesan. Kekasih Nathan sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sudah hampir dua hari Nathan dan Rian tak saling berkomunikasi, apakah menemui sepupu harus seintens itu sampai mengabaikan ponsel?

Nathan yang sama sekali tak dekat dengan sang mama pun langsung mendudukkan diri di sofa dekat jendela. Memang terlihat seperti anak durhaka yang sama sekali tak mempedulikan keadaan sang mama yang sedang terbaring sakit. Hanya saja Nathan terlalu canggung untuk sekedar memulai pembicaraan. Apalagi kabar yang telah ia dengar dari mamanya sendiri, orangtuanya akan bercerai. Ya, lagi-lagi sang anak yang tak pernah tau permasalahan keluarga.

Nathan merasa sudah sangat dewasa untuk bisa mengerti keadaan orangtua. Mamanya tadi sudah hampir saja bercerita tentang permasalahan apa sedang dihadapinya selama ini, namun langkah mundur lagi-lagi di lakukannya.

Bukan maksud ingin lancang dengan mencoba mencari tau titik permasalahan orangtuanya. Tapi Nathan juga manusia biasa, ia ingin memiliki keluarga utuh dan harmonis yang selama ini ia idam-idamkan. Ia hanya ingin menjadi anak yang bisa memberikan masukan ataupun pendapat yang bisa didengar, bukan hanya menjadi anggota keluarga yang hanya tertulis di kartu keluarga.

"Nathan!"

Nathan sadar dari lamunannya. Pria itu pun menyimpan ponsel di saku jaket milik Max yang dipinjamkan kepadanya. Pandangannya terarah pada sosok wanita paruh baya yang mendudukkan diri tepat disampingnya. Senyum keibuan pun di dapatkan, Nathan seperti asing dengan raut itu. Tapi meskipun begitu, ia merasa begitu nyaman berada di samping wanita anggun yang tak lain adalah tante Nina.

"Iya, kenapa tante?"

"Jangan menjauh dari mama mu, tetaplah disampingnya. Dia itu wanita yang dingin dari dulu, tapi kau juga harus tau kalau dia adalah wanita yang penuh dengan kasih sayang, dan jangan ragu akan itu," ucap Nina dengan mengelus pelan bahu Nathan

"Nathan... tante rasa kau sudah tau tentang kabar perceraian orangtuamu. Tante tak bisa bicara banyak tentang itu, hanya saja tante ingin kau terus menjaga mama mu, bisa?"

Mendengar nasehat dari tante Nina membuat Nathan tersenyum miris. Air matanya hampir saja tumpah, apakah setidak penting itu perannya sebagai anak? Bahkan setelah sekian lama, ia seperti hadir hanya sebagai pelengkap yang sama sekali tak dibutuhkan.

Menatap sang mama dari jauh, raut senyum saat berbicara dengan Cherlin ataupun pada Max, kenapa berbeda sekali dengannya? Nathan jadi berpikiran buruk, apakah ia ini bukan anak kandung mamanya? Atau mungkinkah ia hadir tanpa diharapkan?


Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C18
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank 200+ Classement de puissance
    Stone 0 Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous

    tip Commentaire de paragraphe

    La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.

    De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.

    OK