Télécharger l’application
1.97% Farmakologi Cinta / Chapter 8: 8. Danu Ngambek?

Chapitre 8: 8. Danu Ngambek?

Bara tersenyum lalu kembali membalur kakinya dengan obat gosok. Setelah dirasa cukup, Bara menutup botol obat gosok. Ia menatap Pradita. Matanya seolah menyiratkan sesuatu yang tidak Pradita pahami.

"Apa?" Pradita dengan polos menatap Bara. Lelaki itu kembali melengkungkan senyumnya. Ia terkekeh.

"Kamu masih mau aku pijat?" tanyanya.

"Hah? Gak juga," kata Pradita berbohong.

"Kalau gitu turunin dong kakinya." Danu agak menggeser sedikit kaki Pradita.

Pipi Pradita terasa panas. Ia malu sekali. Dengan perlahan ia menurunkan kakinya dari paha Bara.

"Gimana? Udah enakan?" tanya Bara penuh harap.

Pradita memutar-mutar pergelangan kakinya. Sepertinya lumayan enak. Tidak seperti tadi. Bara memang hebat.

"Lumayan," jawab Pradita. "Trims ya."

"Aku juga terima kasih."

"Untuk apa?" Pradita mengerutkan dahinya bingung.

"Karena kamu mau kenalan sama aku," jawab Bara enteng.

"Kata siapa?" kata Pradita ketus.

Bara tertawa kecil. "Kamu itu lucu ya. Kamu yang menolak berkenalan sama aku, tapi kamu sendiri yang memberitahu namamu."

"Aku gak...."

"Waktu kamu ngomong sama Pak Idan, suara kamu cukup besar untuk didengar seisi perpustakaan." Bara mengangguk-angguk perlahan.

Sialan! Mengapa ia tidak memikirkan hal itu sebelumnya.

"Dan lagi, sekarang aku malah jadi tahu rumahmu," imbuh Bara. "Lain kali aku akan sering-sering main ke sini."

"Buat apa? Gak usah!"

Lagi-lagi Bara tertawa. "Ya udah. Kamu istirahat ya. Besok kita ketemu lagi."

Bara bangkit berdiri, lalu dengan gerakan luwes ia mengangkat tasnya, menyampirkannya di sebelah bahunya yang bidang. Lalu Bara tersenyum.

Selama ini mungkin Pradita adalah gadis bodoh yang hanya tahu satu laki-laki saja yang tersenyum padanya, yaitu Danu. Dan kalau boleh jujur, senyuman Bara itu ... lebih manis ... eehh ... biasa-biasa saja maksudnya.

"Bye." Bara melambaikan tangannya, lalu keluar dari pintu.

Pradita menyeret-nyeret sebelah kakinya menatap kepergian Bara dengan mobil merahnya yang mentereng. Pradita baru sadar, ternyata sedari tadi ia menumpang di sebuah mobil sedan mewah.

Pantas saja joknya empuk, AC nya sejuk, aromanya enak. Oh dan bahkan aroma Bara juga menyenangkan.

Ugh! Bagaimana caranya Pradita menghapus semua pikiran liar itu dari kepalanya?

***

Keesokan harinya Pradita pergi ke sekolah diantar oleh ayahnya. Ia belum diizinkan untuk mengendarai sepeda motor sendiri karena ia belum punya SIM dan KTP.

Saat sudah tiba di sekolah, dengan hati-hati Pradita turun dari motor ayahnya. Selesai salim, Pradita berjalan perlahan menuju ke aula. Dari jauh Danu berlari menghampirinya.

"Coy! Kenapa kaki lu?" tanya Danu cemas. Wajahnya menatap ngeri cara Pradita berjalan.

"Kemaren ini gua jatoh dari tangga," jelas Pradita dengan suara tenang.

"Hah? Kenapa bisa? Kepala lu gak apa-apa?"

Danu mengecek kepala Pradita yang baik-baik saja. Sebenarnya tidak benar-benar baik, karena semalaman ia terus memikirkan tentang Bara.

"Kepala gua gak apa-apa." Pradita menghalau tangan Danu.

"Sini biar tasnya gua bawain," kata Danu menawarkan. Ia menarik tas Pradita, lalu menggendongnya.

"Lu bisa naek tangga?"

"Bisa."

Pradita harus melenturkan kakinya supaya bisa berjalan lagi dengan normal. Ia tidak mungkin menyusahkan semua orang. Tidak semua sih. Hanya Danu dan ... Bara. Uh setiap kali Pradita mengingat nama Bara. Sesuatu di bagian dalam dadanya seolah berkedut-kedut.

Akhirnya, dengan segala daya upaya, Pradita berhasil menuju aula. Di sana sudah ramai berkumpul anak kelas sepuluh sampai dua belas. Pradita memilih untuk duduk di paling belakang, jauh dari teman-teman yang lain.

"Gimana kemaren?" tanya Pradita.

"Baek," jawab Danu singkat.

"Eh yang bener, Cuk. Lu gak mau cerita sama gua?"

Danu nyengir lebar. "Pokoknya waw banget deh."

"Apaan? Lu udah jadian sama Arini?!" seru Pradita, membuat seorang anak perempuan kelas sepuluh menoleh padanya.

"Gak tau. Belom kali." Danu mengedikkan bahunya.

"Ceritain, Cuk!" desak Pradita.

"Yaaa, jadi kemaren itu gua sama dia banyak ngobrol-ngobrol gitu lah. Ternyata dia anaknya asyik juga. Awalnya sih dia malu-malu. Tapi lama-lama dia jadi lebih santai. Gua sama dia praktikum bareng. Terus gua anterin dia pulang."

"Naek apa?" tanya Pradita penasaran.

"Naek angkot. Lah lu kemaren digendong siapa? Gua niat mau nyamperin lu, eh lu malah ngilang ke parkiran."

Pradita menyeringai. "Maaf ya, Cuk. Gua gak maksud ninggalin lu. Lagean kan lu udah pulang sama Arini."

"Ih bukan soal itu. Tapi siapa yang gendong lu? Seenaknya aja sih pegang-pegang paha lu."

"Hah?"

Danu menggeleng-geleng. "Lu gak sadar apa? Paha lu dicabak-cabak gitu sama dia."

Dicabak alias dipegang.

Pradita tertawa lalu mendorong kepala Danu cukup keras. "Sialan lu! Kalau gendong ya emang harus dipegang ke situ, kalau gak gua bisa jatoh, Cuk!"

Danu menegakkan diri, tidak ingin ikut tertawa.

"Kasih tau gua, siapa cowok itu?"

"Oh itu. Namanya Bara."

"Bara?" Danu menautkan alisnya, tampak agak tegang. "Anak kelas dua belas? Jadi sekarang lu sama kakak kelas?"

"Hah?" Pradita menatap Danu bingung. "Apaan sih? Gak juga lah."

"Selama ini gua gak pernah ngeliat lu bisa intens gitu sama cowok." Danu menatapnya sinis. "Pake acara gendong-gendongan segala lagi. Lu kok mau-maunya sih gitu-gituan sama dia?"

"Ih, Cuk! Lu ngomong apaan sih? Emangnya gua ngapa-ngapain sama dia?"

"Danu."

Pradita dan Danu mendongak. Arini sedang tersenyum menatap mereka sambil tersenyum manis. Sebelah tangannya menenteng tas kecil berwarna pink, yang diduga tidak ada isinya. Sepertinya Arini tidak praktikum hari ini.

"Hai, Rin," sapa Danu.

Pradita baru menyadari kalau Arini hanya menyapa Danu seorang. Lalu Danu balas menyapa dan kini Pradita hanyalah seonggok penghapus papan tulis.

"Aku duduk di sana," kata Arini sambil menunjuk kursi di deretan kanan.

Danu menatap ke arah telunjuk Arini, lalu kembali menatap gadis imut itu. "Oh iya." Danu tersenyum lebar.

Arini mengangguk sekilas, lalu berjalan menuju ke kursi yang baru saja ia tunjuk, sendirian, tanpa anggota gengnya yang lain. Aneh. Danu belum bercerita panjang lebar tentang hal yang terjadi kemarin bersama Arini. Sahabatnya itu malah mencercanya dengan urusan soal Bara. Apa Danu marah padanya? Tapi kenapa?

"Ya udah, Coy. Ntar kita sambung lagi. Gua duduk di sana ya."

Belum sempat Pradita mengatakan 'ya', Danu sudah berdiri lalu berjalan menuju ke tempat Arini.


Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Rank -- Classement Power Stone
    Stone -- Power stone

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C8
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank NO.-- Classement de puissance
    Stone -- Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous