Kalau mau baca ceritanya harus follow orangnya dan vote ceritanya ya !!
Ada apresiasi yang sangat dinantikan oleh penulis :)
...
"Mi, Arif ngajar dulu ya" sambil mencium tangan Umi yang tampak sibuk memencet-mencet Hp sambil mengecil-ngecilkan biji mata dibalik kaca mata plus yang tampak sudah agak usang.
"Iya, hati-hati dijalan ya" sambil terus memperhatikan Hp melihat nomer-nomer.
^^^
"Assalamualaikum"
"....."
"Ummu Hamzah, Khaifa halk?"
"....."
"Ana bi khoir, Alhamdulillah"
"....."
"Begini, Ummu Hamzah, saya ingin menanyakan perihal Hawa, yang dulu pernah kita certain itu loh? Menurut anti kira-kira bagaimana?"
"....."
"Sudah mau lulus dari LIPIA toh? Masyaallah. Terus terus?"
"....."
"Lagi di Bogor? Alhamdulillah. Kira-kira kapan kita bisa main kerumah? Soalnya Arif sudah minta dicariin istri ini"
"....."
"Insyaallah. Arif itu anaknya gak banyak milih, yang penting solehah, sisanya ya biar Uminya yang pilih katanya"
"....."
"Malam ini? Masyaallah. Ba'da isya ya"
"....."
"Iya, iya Insyaallah. Oh iya gak usah repot-repot atuh yak nanti Insyaallah yang dateng Cuma kita bertiga, Saya, Abinya sama Arif"
"....."
"Iya iya Insyaallah. Sudah dulu ya, Assalamualaikum"
Sang ibu berjilbab besar berwarna coklat muda menutup telepon genggamnya. Tersenyum sambil sedikit mengkhayal. Rasanya kekuatannya sudah kembali lagi, memorinya menjelajahi waktu, teringat beberapa tahun yang lalu saat proses menjodohkan anak sulungnya dengan seorang kerabat yang berhasil sukses menproduksi sampai 3 cucu dari mereka yang sekarang hidup mansiri di Bandung sebagai petugas KUA. "Insyaallah ini yang terakhir" gumamnya sendiri. Menandakan tugas terakhirnya mengantarkan putra bungsu ke pelaminan dapat segera berjalan.
^^^
Waktu yang dinanti sudah tiba, pukul 08.00 malam.
"Bi, ganti baju atuh. Masa iya pergi kerumah saudara pake sarung"
"Astagfirullah Mi, Abi lupa. Maklum Mi, faktor U', sebentar ya"
"Arif Arif" Umi memanggil-manggil anaknya
"Udah rapih Mi?"
"Udah, Hayuk Bi, keburu kemaleman gak enak"
"Arif mana, Mi?"
"Mungkin udah di depan"
Mereka berdua berjalan menuju kearah depan, Abi memeriksa kembali semua ruangan termasuk dapur takut-takut kompor masih menyala atau ada pintu yang belum dikunci saat ditinggalkan.
"Masyaallah, anak Umi gagah pisan" Arif tersenyum
"Hayuk, Mi, berangkat"
Mobil berjalan meninggalkan rumah putih itu, Arif sebagai sopir, Abi disebelah sopir dan Umi sebagai Ratu yang duduk dibarisan kedua.
"Hawa itu sebentar lagi lulus loh Bi dari LIPIA"
"Iya, Mi? Masyaallah. Qadarullah Abi gak pernah ngajar beliau ya"
"Mungkin pernah, cuma Abi aja yang lupa. Kan, mahasiswi yang Abi ajar banyak"
"Mungkin juga mi"
"Anaknya cantik Bi, Solehah lagi. Kalau gak salah denger terakhir itu dia sudah hafal 25 juz Bi, mungkin sekarang sudah Hafidzah"
"Masyaallah. Bener-bener calon menantu solehah ya Mi"
"Insyaallah Bi"
Arif hanya diam saja mendengarkan percakapan kedua orang tuanya. Dia paham betul bahwa semua percakapan yang dilakukan itu adalah sebuah bentuk penyampaian informasi dari kedua orangtuanya. Sepanjang perjalanan dia hanya tersenyum sambil sesekali melirik ke arah kaca yang memantulkan refleksi wajah sang Bunda.
"Gang yang mana ya mi rumahnya?"
"Disini! Disini! Udah deket ini. Jalan terus pelan-pelan. Nah! Rumah yang pagar item ini rumahnya"
Arif memelankan laju mobilnya, mengarahkannya persis kearah pintu masuk pagar. Tak lama seorang anak muda tampak mendorong pagar, member aba-aba perintah masuk, mobil Arif masuk tanpa hambatan.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumussallam Abu Syafiq"
"Khaifa halk?"
"Khoir, Alhamdulillah. Wa antum khaifa halk?"
"Khoir Alhamdulillah"
Mari-mari silahkan masuk. Sang tuan rumah mempersilahkan para tamu untuk segera masuk kedalam rumah.
"Maaf loh, ini seadanya" nyonya rumah tampak keluar membawa nampan berisi 6 gelas teh hangat diikuti putri bungsunya yang membawa satu nampan yang berisi beberapa piring kue.
"Ini, ada sedikit oleh-oleh" Ummu Syafiq menyerahkan sekotak kue yang sedari siang ia persiapkan untuk dibawa kerumah tempat ia bertamu tersebut.
"Alah, Ustadzah ini kok repot-repot? Jazakillahu khoir"
"Waiyyaki"
Perbincangan diawali dengan basa basi kedua orang tua mereka. Orang tua Arif yang banyak bertanya tentang kegiatan putri bungsu Ummu Hamzah, yang dijawabnya ternyata sekarang sudah menjadi Hafidzah. Sedang orang tua Hawa sendiri sudah tahu bahwa Arif sekarang menjadi salah seorang pengajar di salah satu pesantren ternama di Bogor. Setelah beberapa kata pengantar usai, Abi dari Arif mulai berbicara serius mengenai asbab kedatangan mereka bertamu malam itu.
"Bismillah, Alhamdulillah atas karunia Allah, bahwa pada hari ini kita ditakdirkan untuk bertemu dan berbincang-bincang. Jadi, langsung saja, karena keluarga kita sudah akrab dan masing-masing sudah saling mengenal jadi, kami disini ingin segera mengutarakan maksud kedatangan kami malam ini yaitu ingin mengkhitbah putri bapak yang bernama Hawa untuk anak kami Ahmad Arif Alfarisi"
"Alhamdulillah, sesungguhnya kami meyakini bahwa pujian tertinggi adalah mutlak hanya milik Allah Subhanahuwataala semata. Untuk yang demikian kamipun selaku orang tua belum menanyakan kepada putri kami apakah menyetujui khitbah ini atau menolak, karena jelas, dalam Islam dia memiliki hak untuk keduanya. Jadi, alangkah baiknya kita dengarkan bersama isi hati dari putri kami satu-satunya ini"
Setelah mendengar jawaban dari Kepala Lurah sekaligus suaminya, Ummu Hamzah terlihat mengelus-elus punggung gadis berjilbab besar berwarna pink muda tersebut seraya membisik-bisikan sesuatu.
"Ehhem" sang gadis mulai mengeluarkan suaranya, sedikit membersihkan saluran tenggorokannya mungkin karena terlalu gugup.
"Bismillah, Alhamdulillah segala puji bagi Allah atas segala karunia ilmu, rezeki juga kesehatan yang telah Allah limpahkan kepada kita semua. Langsung saja, perihal khitbah ini sebenarnya Hawa sudah memikirkan ini jauh sebelum Hawa tau siapa orang yang akan mengkhitbah Hawa juga apa pendidikannya dan darimana dia berasal".
Mereka semua tersenyum dan terkagum dengan jawaban gadis bertubuh tinggi ini, sungguh menunjukan kelas ilmu yang ia miliki.
"Untuk menjawab menerima atau menolak, Hawa sendiri memiliki beberapa persyaratan yang jika disanggupi oleh akhi Arif maka otomatis khitbah ini akan Hawa terima"
Mereka semua sedikit bingung dengan kalimat yang dilanjutkan oleh gadis ini, terlihat sekali saat kedua orang tua Hawa tiba-tiba menoleh kearahnya dengan mimic penuh tanya
"Afwan, tunggu sebentar akan Hawa ambilkan"
Abu dan Ummu Hamzah tampak bingung, kemudian mereka berdua tersenyum kearah para tamu dengan senyuman misterius yang tampak sekali menyembunyikan tanya. Para tamu pun kaget, mereka tidak tahu ap[a sebenarnya yang akan terjadi.
Hawa kembali keruang tamu dengan membawa beberapa lembar kertas, ia mulai membagikannya kepada semua orang yang ada diruangan untuk mereka baca.
"Afwan, bagi sebagian orang mungkin ini terlalu berlebihan, tetapi Hawa yakin untuk lelaki yang berfikiran terbuka, maka ini bukanlah menjadi penghalang sama sekali"
PERJANJIAN PRA NIKAH
Kami yang bertanda tangan dibawah ini:
1. Hawa Salsabila (Pihak 1)
2. ....(Pihak 2)
Menyatakan telah membuat perjanjian pra nikah yang telah dirinci sebagai berikut
1. Setuju bahwa akan menunda kehamilan sampai pihak pertama lulus S2 di Madinah
2. Pihak kedua setuju jika pihak pertama ingin melanjutkan studi ke negri-negri Islam dengan atau tanpa mahrom asalkan bisa menjaga diri dan nama baik suami disana
3. Pihak kedua setuju bahwa setelah menikah akan tinggal dirumah keluarga pihak pertama
4. Merinci harta bawaan masing-masing pihak yang kemudian jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka harta masing-masing tidak akan digugat gono-gini
5. Pemberian nafkah minimal Rp. 5.000.000 perbulan
6. Dan yang lainya yang dianggap perlu
Dengan ini secara sadar menyetujui perjanjian diatas, jika salah satu dari kedua pihak melanggar maka hal ini akan dibicarakan kembali secara kekeluargaan
Materai 6000(Pihak 1) Materai 6000 (Pihak 2)
***
Pandangan mata mereka tertuju kepada secarik kertas yangHawa bagikan.
"Sementara itu dulu dari Hawa. Kalau dari akhi Arif ingin menambahkan Hawa sangat terbuka menerimanya"
Ada hening saat gadis itu memberikan kertas dan kemudian melanjutkan percakapan. Arif merasa kebingungan akan hal yang ia hadapi, ia tidak akan menyangka niat baiknya menyempurnakan separuh agama akan melalui jalur terjal seperti ini. Begitu banyak pertanyaan yang timbul dibenaknya saat membaca kerta berisi perjanjian pra nikah ini, seperti:
1. Kenapa harus menunda kehamilan dengan alasan seperti ini? Bukankah tujuan menikah adalah untuk mendapatkan keturunan? Lalu, jika tidak mau memiliki anak kenapa harus menikah, jikapun memiliki alasan syar'I seperti memberi jarak masih masuk akal, lah ini? Satu aja belum masa sudah ditunda? Apakah studi S2 termasuk alasan syar'i?
2. Apakah seberani itu seorang akhwat bersuami ingin melanjutkan studi ke mesir atau Negara lainnya tanpa mahrom? Bukankah itu tidak masuk akal?
3. Yang ini mungkin masih bisa dibicarakan
4. Apa lagi? Salah satu hal yang pasti dan murni menjadi rahasia Allah adalah Rezeki. Kenapa harus ada patokan? Apakah ia sangat takut akan kemiskinan? Ya Rabbul 'Izzati cobaan apa ini?
'Mungkin gadis zaman sekarang memang seperti ini, mungkin akulah yang ketinggalan zaman' ada sedikit pesimis didalam hati Arif. Ia tampak mulai kurang nyaman, badannya sesekali bergerak gelisah.
"Astagfirullah, Bi" bisik Arif yang duduk persis disebelah Abinya yang terlihat pucat
Kedua orang tua Hawa tampak kegerahan, meski berada diruangan besar. Mereka tampak tak nyaman meski duduk dikursi mewah berharga puluhan juta rupiah. Semua orang tampak bingung kecuali, satu orang. Hawa yakin sekali dengan keputusannya. Dia sangat memegang teguh prinsipnya bahwa pendidikan lelaki dengan perempuan dijaman sekarang ini harus setara, agar menghasilkan keturunan yang berkualitas. Dia merasa perjanjian seperti itu akan memutus pemikiran-pemikiran lama bahwa wanita itu hakikatnya hanya di dapur mengurusi rumah tangga. Ia merasa inilah saatnya harus ada perubahan. Mulai dari yang terkecil, mulai dari diri sendiri.
Abi Arif tampak mengelap keningnya yang mengilat dengan sapu tangan putih bergaris biru, kemudian melanjutkan pembicaraan
"Ehhemm, Ja-jadi bagaimana Syeikh? Bagaimana akhi Arif apakah setuju dengan persyaratan putri kami?"
Bisikan dari Arif tadi sudah cukup jelas bagi lelaki berjanggut putih itu. dia sangat paham sekali perilaku dan keinginan anaknya, ditimpali dengan gesture anaknya yang tampak sekali sudah tidak nyaman.
"Sebenarnya memang Allah sudah merencanakan semuanya, untuk keluarga kami juga keluarga Bapak. Jodoh, maut, rezeki semua sudah diatur tanpa bisa seorangpun menunda maupun mempercepat. Nampaknya dalam hal ini Allah masih meminta keluarga kami untuk bersabar, mungkin memang Allah belum mentakdirkan mereka berjodoh, mungkin Allah sudah menyiapkan jodoh yang lebih baik diluar sana untuk Hawa, dan, orangnya bukan anak kami"
"Tetapi, kita masih saudara. Dan semoga kejadian ini akan semakin mempererat tali silaturahim diantara kita"
"A-aamiin" kedua orang tua Hawa menjawab dengan lidah tercekat. Mereka merasa malu, seperti ada batu besar yang mengganjal dikerongkongan mereka masing-masing.
"M-mari diminum teh nya Ustad, Ustadzah, nak Arif"
Mereka menerima jamuan tuan rumah. Setelah menyeruput dua tiga teguk air dan memakan sebuah kue mereka berpamitan pulang. Hawa tak ikut mengantar para tamu hanya kedua orang tuanya yang mengakhirkan pertemuan dengan salam dan pelukan hangat.
^^^
Mobil berjalan meninggalkan komplek perumahan elit tersebut. Tanpa mengobrol, tanpa suara. Hening sekali.
^^^
Di ICU sebuah Rumah Sakit, Ummu fatma duduk disebelah tubuh kaku putrinya. Dengan masih menggunakan mukenah, ia memegang Al-Qur'an. Membaca lembar demi lembar surah Al-Baqarah dengan tartil dan indah, berharap putrinya bangun dan memanggil-manggil namanya.
"Bagaimana, Dok?"
"Dia masih koma, syukur Alhamdulillah patah di tulang pahanya tidak terlalu parah"
Penasaran? Sabarr yaaa
To be continued...
......
Balon Balon 😍
Support IG penulis di @ririn.p.abdullah
di Follow ya
yg mau ikut charity boleh wa.me/6285896282884
Barokallahu fiikum 🙏