Ekhem ... ekhem ...
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pembaca yang budiman, di chapter ini sengaja author suruh (setengah maksa) aku, Bimo, untuk cerita. Soal apa? soal apa ajalah.
Aku tidak pintar cerita seperti Raya, jadi maafkan kalau nanti bahasanya berantakan. Pokoknya salahkan author aja nanti kalau gak bagus.
Aduh, gerogi euy ... ekhem ...
Pada suatu hari di pertengahan tahun 2008. Aku bersama mama pindah ke kota Yogyakarta, kota kelahiran mama. Alasan kami pindah adalah karena mama harus meneruskan usaha milik eyang, yaitu sebuah hotel sederhana di daerah pusat pariwisata kota itu. Sayang kalau tidak diteruskan, karena hotelnya selalu ramai pengunjung, jadilah mama berhenti kerja di Bandung dan memutuskan memboyong aku pindah kesini.
Karena itu, aku juga terpaksa harus pindah sekolah. Sebenarnya kalau boleh bilang, saat itu aku tak ingin pindah, lebih nyaman di Bandung. Selain itu, ada perempuan yang sedang aku suka di sekolahku yang lama, sudah hampir jadian kalau saja aku tak pindah. Dia gadis baik, rambutnya panjang hitam, matanya bagus, dan pendiam. Pokoknya cantiklah.
(Minta digorok kamu Bim? -ini Raya-)
Ampun ndoro ...
Woy, malah berantem!! -author ngomel-
Ya sudah, lanjut ya ...
Mama, mencarikan aku sekolah yang bisa dibilang elit, atau favorit, yah ... sejenis seperti itulah. Kenapa? Katanya kalau disekolah bagus, aku tidak akan bisa nakal seperti di Bandung, bisa disiplin dan sebagainya. Jatuhlah pilihan mama pada SMA Teladan, sekolahnya Raya. Tapi pada saat itu, aku belum kenal sama dia, dan masih sering rindu pada orang lain di Bandung sana.
Kalau ditanya, kenapa tidak LDR-an saja? Aku akan jawab bahwa aku tidak bisa hubungan seperti itu, tidak bisa tenang, karena aku mudah merindu hehe.
Tiba waktunya aku masuk sekolah. Dihari pertama seperti biasa, hanya melakukan kegiatan klise seperti memperkenalkan diri, keliling sekolah, kenalan pada guru dan lainnya yang bikin aku bosan, tidak tertarik. Ditambah fakta bahwa aku memang berat hati untuk pindah kesini.
Aku merasa agak tidak nyaman ketika banyak sekali orang-orang mengerubungiku atau mengajak aku bicara terus, atau menatap aku dari jauh, seolah aku ini topeng monyet, di tontonin seperti itu. Bikin aku malas untuk ke kantin depan.
Beruntung, aku sekelas dengan Akbar dan Bayu, mereka termasuk seru untuk diajak ngobrol, mereka juga yang ajak aku ikut nongkrong di kantin belakang, kenalan dengan semua penghuni tetapnya. Aku sudah dengar reputasi kantin belakang ini, tapi tak peduli lah. Kantin belakang lebih nyaman untukku karena tidak terlalu ramai, agak takjub juga karena sekolah yang katanya favorit ini, punya markas anak-anak nakalnya. Aku suka! Haha.
"Rayaa ooh Rayaa ... dicuekin terus SMS kuuu~~"
Ini adalah saat pertama kali aku dengar namanya disebut, saat itu, seseorang bernama Jepri memegang ponselnya sambil mengeluh bahwa pesannya tak pernah dibalas oleh orang bernama Raya, yang lainnya hanya tertawa karena mereka senasib.
"Nyerah ajalah kamu Jep, emang susah cewek satu itu dideketin, wkwk"
"Namanya juga usaha hib, siapa tau nyantol kan."
"Bay! suruh pacarmu comblangin aku sama Raya lah, kan dia temennya." Wanto namanya, minta Bayu buat menjodohkan dia dengan si Raya itu.
"Ogah! Deketin sendiri lah," Bayu mengunyah lontong sayurnya sambil ngomel, risih karena didesak terus seperti itu.
Tergelitik juga aku ingin tahu, siapa sih Raya itu? Kenapa semua anak kantin belakang seperti berlomba mendekati dia. Secantik apa sih?
Kuputuskan bertanya, "Raya itu siapa?" sambil membakar rokok dan menghembuskan asapnya perlahan.
Semua orang menoleh padaku, lalu terbahak.
"Hahahah ... kamu belum ketemu ya? Araya itu anak IPA 1, cantik Bim, gak banyak tingkah juga, pokoknya beeuh ... pacar idaman lah." kata si Wanto menggebu sambil mengacung-acungkan jempolnya.
"Kak Laras juga cantik coy." ini si Samsul yang bicara.
"Iya cantik, tapi banyak tingkah, mantannya juga banyak, jadi males." balas Wanto, sepertinya dia ini fans sejatinya si Raya itu.
"Termasuk dia ...." Akbar menunjuk seseorang dengan bibirnya, belakangan aku tahu kalau dia adalah Kak Damar, kakak kelas kami. Semua orang tertawa melihat wajah masam kak Damar saat diungkit soal dia dan kak Laras.
Aku hanya ikut cengengesan saja.
Araya, oke itu namanya ...
Bel tanda selesainya istirahat kedua sudah berbunyi, kami segera berjalan menuju kelas masing-masing.
"Bim ... Bim, tuh yang namanya Araya!" Wanto menyikut lenganku lalu memberi kode untuk melihat kemana arah pandangannya tertuju, aku menurut dan ikut menatap.
Saat itu, dia sedang berjalan ke kelasnya dari arah taman tengah, diikuti 2 orang kawan perempuannya, dia sedang senyum lalu tertawa seolah mereka sedang ngobrol hal yang sangat lucu.
Tanpa sadar, aku ikut senyum, entah kenapa senyumnya sangat bagus dimataku. Baiklah, ku putuskan untuk cari tau soal dia!
Kelas pelajaran terakhir bikin ngantuk, tidak ku perhatikan guru yang sedang ngoceh di depan kelas, aku sibuk dengan coretan di halaman paling belakang buku tulisku. Mencoret-coret wajah seseorang disana, dengan senyum cantiknya.
Akhirnya sekolah sudah waktunya bubar, aku bosan. Bergegas aku ambil motor di parkiran dan melaju keluar area sekolah, dari jauh aku lihat dia, sedang berdiri di persimpangan sekolah, menunggu angkot sepertinya. Kuputuskan menghampiri dia disana.
"Hai, kamu Araya anak kelas 2 IPA 1?" tanyaku basa-basi. Dia terlihat kaget dan bingung. Lucu.
"Iya, kenapa?"
"Enggak, takut salah." kataku lagi, tak bisa ku tahan senyum melihat ekspresinya sekarang. Seperti lagi lihat kelinci.
"Ooh, iya." ucapnya canggung, sepertinya dia tak nyaman.
"Aku duluan ya??" kataku mengakhiri obrolan kami, lalu melaju meninggalkan dia disana dengan kebingungannya.
Sengaja aku menanyakan namanya dengan cara begitu, agar nanti dia tak mengabaikan keberadaanku, dia itu seperti tak nyaman dengan orang asing, itu kenapa anak lain yang mendekatinya selalu berbuah nihil. Jadi aku putuskan mendekatinya pelan-pelan, mengenal dia lebih jauh dengan cara halus, tanpa dia merasa terbebani dengan rasa sukaku padanya.
Kusampaikan sepucuk surat untuknya lewat pacar si Bayu, ku bilang kalau aku ingin izin untuk menyukainya. Kenapa pakai surat? karena kalau SMS pasti tidak akan dia hiraukan seperti anak lainnya.
Jam istirahat hari itu, Bayu pergi duluan ke kantin depan untuk makan dengan pacarnya, aku dan Akbar menyusul dia setelah selesai merokok di kantin belakang, kebetulan ada Raya duduk semeja dengan mereka.
Aku duduk di dekatnya, bicara macam-macam agar dia memperhatikanku sekaligus mengaskan kalau aku ini sedang mendekatinya. Tapi dia terlihat malu dan canggung. Saat akan pergi, aku bilang padanya akan telpon, meskipun sebenarnya aku tidak punya nomornya, hanya ingin tahu reaksinya jika aku bilang begitu.
Sebenarnya hal yang gampang untuk bisa dapat nomornya, tapi Raya itu beda, aku harus tahu dia tidak keberatan aku menghubunginya, makanya aku minta bantuan Bayu untuk sampaikan salam padanya sekaligus izin untuk boleh menghubungi, agar aku tak bernasib sama dengan cowok lainnya.
Satu lagi yang bikin aku risih, adalah kak Laras dengan kawan-kawannya, selalu ada dimana-mana, selalu menghampiri. Aku jadi repot untuk menghindar.
Malam itu, setelah dapat izin darinya, aku menghubungi nomornya. Dia pasif, belum banyak ngobrol, mungkin masih malu. Lalu kutanya perihal izin untuk menyukainya di surat itu, dia jawab iya setelah menimbang agak lama.
Raya itu, suka sekali obrolan ringan, suka bercanda, dan malas membahas hal-hal berat. Dia suka baca buku, dan risih bila anak-anak sudah mulai melontarkan cat calling untuknya. Haha.
Raya itu, seperti pasir tak bisa di genggam erat. Kadang dia murung, seperti kosong. Kadang dia senang dan banyak ketawa. Kadang ada saat dimana dia memasang dinding tebalnya terhadap laki-laki. Raya itu sulit di dapat, maka semakin ingin ku jaga untuk diriku sendiri.
Satu pagi, aku janji padanya membawakan roti untuk sarapan, tapi aku tidak tahu dia suka rasa apa, akhirnya kubeli semua varian rasa dari roti itu biar dia bisa pilih. Ku tunggu dia di depan gerbang, aku tahu dia selalu datang pagi, maka aku berusaha datang lebih pagi.
Ah ... itu dia, seringkali pergi ke sekolah naik becak. Dia turun dan segera berjalan ke arahku, pagi ini pun cantik. Dia senyum malu-malu, wajahnya bersemu, lucu.
Kuserahkan roti itu padanya, wajah bingungnya tambah lucu, katanya dia tak bisa habiskan semua. Hahaha
Ku tinggalkan dia menuju kantin belakang, sengaja agar dia tak risih padaku karena terus ingin nempel padanya.
Sejujurnya, aku ingin sering-sering dekat dengannya, tapi nanti dia kabur.
"Araya ..."
"Raya ..."
"Raya!"
Dia berbalik, terkejut. Kami sama-sama tidak menyangka akan bertemu di sini, di pesta pernikahan anak teman mama. Kulihat dia sedang bosan menatap panggung, akhirnya ku dekati, hingga 3 kali ku panggil dia tak mendengar. Haha.
Sedikit obrolan ringan aku lontarkan padanya, dia sudah mulai terbuka, tidak se-kaku diawal. Kuberanikan memeperkenalkannya sebagai calon pacar pada mamaku, dia tak marah. Malamnya aku menghubunginya lagi, kami bicara lebih santai dan aku sedikit takjub karena ternyata dia orang yang seru diajak ngobrol, juga cerdas.
Senin yang biasanya aku malas upacara, kini ku coba untuk ikut, menyamai ritme hidupnya, dia bilang untuk tak nakal, baiklah ... itu gampang! Tapi kemudian aku sedikit kesal karena kuanggap dia plin plan, ku kira dia sudah pacaran dengan Arif kawannya itu, tapi masih juga meladeniku. Aku jengkel.
Tiba hari seleksi lomba cerdas cermat tak penting itu, aku dipaksa ikut oleh semua kawan sekelas bersama Nani dan satu orang lagi aku lupa namanya. Ku lihat dia duduk di sudut aula, dia tidak begitu menghiraukan kelasnya, malah sibuk kesal padaku karena aku malas jawab pertanyaan, lalu bersorak saat 1 pertanyaan berhasil ku jawab. Hahaha
Lihat tuh, Rayaku sedang sebal.
Yah, kusimpulkan bahwa dia tak suka pada Arif, entah kenapa rasanya lega. Berarti aku bisa melanjutkan langkahku.
Anak-anak kantin belakang semua tahu aku coba mendekati Raya, mereka kesal karena Raya tampak mambuka diri padaku sedangkan pada mereka nihil. Aku hanya ketawa, kalian pikir mudah dekat dengannya? Aku juga pakai strategi, sudah seperti pelatih sepakbola.
Mereka bilang kak Laras itu suka padaku, berusaha nempel terus dan jadi kesal karena menurut mereka semua cewek cantik di sekolah mau padaku. Hahahah
Tapi aku cuma mau dengan Raya. Seseorang di Bandung itu, sudah lama aku diamkan agar lupa.
"Bim! Liat tuh, cewekmu dilabrak kak Laras." Akbar menyikut lenganku, aku menoleh ke arah yang dia maksud.
Disana, ada Raya yang bajunya sudah basah dan kotor sedang melawan bentakan kak Laras. Satu hal lagi yang aku tahu tentangnya, bahwa ia pemberani.
"That's my girl!" ucapku pada Akbar sambil tertawa, bangga.
"Wong edan! Hahah ... cepet lerai sana goblok," Akbar mendorongku agar segera kesana dan jadi pangeran berkuda putih buat Raya, seperti di dongeng-dongeng yang suka menyelamatkan putri raja. Aku terkekeh sambil terus jalan, sebenarnya merasa geli lihat pertengkaran cewek-cewek begini. Sampai kulihat kak Laras nampar Raya, aku tak senang dengan itu, ku tangkap tangannya yang akan mukul Raya lagi, Gadisku, berantakan.
Geram hatinya menahan amarah, jelas sekali. Kubawa dia menjauh dari sana. Aku tau dia akan pukul aku kalau sedikit ku ganggu, biarlah ... agar sedikit lega perasaannya.
Raya keluar setelah bebersih dengan pakai hoodie-ku, sudah pasti kebesaran, tapi lucu. Tampak memar pipinya saat ia singkap rambut kebelakang, aku segera lari mencari es batu untuk kompres wajahnya.
Dia masih saja cemberut, terlihat lucu dengan pipinya yang bengkak. Aku tak senang saat Arif meletakkan tangannya pada pundak Raya, dan bukannya aku tidak tahu kalau dia menatap benci padaku.
Akhirnya, tiba juga saat Raya mau lebih dekat denganku, aku mengantarnya pulang hari itu, itu pertama kali kami duduk sangat dekat, aku berdebar. Tapi pasti Raya tidak tahu.
"Anak Pertiwi bangke!" kak Yogo ngamuk saat kami sedang ngumpul di kost Samsul, sebabnya? karena ada anak kelas 3 dikeroyok oleh anak Pertiwi, saat sedang pergi jalan dengan pacarnya, tentu saja kami marah karena tindakan pengecut mereka.
Setelah banyak menimbang dan merencanakan, atur strategi yang akhirnya hanya jadi omong kosong bodoh menurutku, karena ujungnya tak ada solusi. Ku katakan pada mereka aku akan ikut bantu membalas anak Pertiwi. Mereka sebenarnya enggan karena kalah jumlah. Tapi aku tak peduli.
Bbzzztt ... bbzztt ...
Raya menghubungiku, mambuat alisku mengernyit. Tumben sekali?
Ku jawab telponnya, suaranya seperti terburu-buru. Ah! aku tahu, ini ulah Bayu agar aku tak ikut berkelahi, pakai Raya buat melarang setelah omongannya tak ku hiraukan.
"Tunggu sebentar, aku kerumahmu!" lalu ku matikan telfonnya.
Segera aku keluar naik motor menuju rumahnya, buku tulis ku beli sebagai alibi jikalau bapaknya nanti marah.
Sampai di rumahnya sudah malam, sekitar jam 10. Ku beranikan diri masuk mengetuk pintu, seorang lelaki dengan badan tegap dan wajah masam padaku membuka pintu. Wajahnya sedikit mirip Raya, jadi ku ambil kesimpulan bahwa orang ini ayahnya Raya.
Keder juga aku dibuatnya, suara beliau lantang dan tegas. Aku tahu kalau ayah Raya itu seorang Perwira tentara. Tapi coba sajalah barangkali berhasil, kalau gak berhasil paling aku ditembak di tempat. Tapi.. seperti yang kau tahu, malam itu beliau mengizinkan ku masuk untuk bertemu Raya hanya sampai jam 11 malam.
Kami bicara dengan tulisan di buku tulis yang kubawa agar tak bisa di dengar oleh orang tuanya, bisa gawat kalau ketahuan, eh tapi tak mungkin ayahnya tak sadar aku bohong.
Setelah berpikir lama, kuputuskan mengajaknya pacaran malam itu, karena aku dengar beberapa anak cewek sekolahku sering di ganggu oleh anak Pertiwi, jadi aku khawatir kalau dia pulang naik angkot sendiri, nanti diganggu juga.
Dia berpikir, banyak bertanya kenapa dan sebagainya. Ku jawab sesuai dengan apa yang ku tahu. Lama dia menimbang, dan akhirnya membalas rasaku.
Aku senang. Dia pun begitu, nampak pipinya bersemu merah jambu.
Setelah itu aku pamit pulang, 4 menit sebelum tepat pukul 11. Sengaja, agar kedepan ayahnya tidak meragukanku.
Malam itu, kami berhasil memukul mundur anak Pertiwi, tapi masalahnya juga takkan selesai sampai disini. Pasti akan ada yang lainnya di kemudian hari.
Esoknya Raya marah padaku karena wajahku yang bonyok, persis seperti ayahnya kalau dia sedang begini. Ku bantu pekerjaannya di mading hingga sore hari, merasa bersalah juga aku tak membelikan makan siang hari itu. Untungnya dia mau aku ajak makan dulu sebelum pulang, kami mampir ke Cafe, bertemu dengan kawannya yang bernama ... siapa ya?
Putri! (ini Raya lagi)
Oh, iya Putri! cewek tipe menyebalkan menurutku, kok mau Raya temenan sama orang seperti ini? heran aku.
Aku banyak diam, tak tertarik ikut ngobrol. Beberapa kali kawan Raya itu--
Putri!
Iyaaa ... Putriiii ... beberapa kali si PUTRI ini bicara seolah memancing agar aku bereaksi, tapi aku malas, terlalu malas untuk meladeni. Gak penting.
Malam ini, perdana aku main kerumah Raya sebagai pacarnya, aku senang juga gugup bagaimana tanggapan keluarganya. Kalau Raya pikir aku sangat santai, mungkin karena memang pembawaanku yang seperti itu. Tapi aku lega keluarganya baik, termasuk ayahnya.
***
Istirahat kedua senin itu terasa membosankan, ditambah Baroto yang sudah cari masalah denganku sejak pagi.
Oh iya, aku kan punya pacar. Segera ku hampiri Raya di kelas, belakangan karena Raya sudah mulai mau dekat denganku, aku semakin membiasakan untuk mempersempit jarak dengannya, berusaha santai berlaku padanya agar ia juga begitu. Kali ini ku sandarkan punggungku padanya. Nyaman sekali.
PSP sengaja ku bawa untuk Irin, dia juga lucu, bersemangat jika bicara. Lebih cepat beradaptasi denagn orang di banding Raya.
Pulang sekolah, kami pergi nonton bioskop untuk tugas Raya dan kawannya, setelah itu makan dulu di gerai ayam goreng. Sialnya, ada 2 orang cewek yang terus saja ganggu. Mungkin mereka pikir kami akan suka karena pakaian mereka. Maaf, tapi pacarku lebih cantik walaupun datar kayak papan cucian.
Kemarin, Baroto baru tahu masalah kami berantem dengan anak Pertiwi minggu lalu, dan itu sebabnya aku di panggil bersama anak kantin belakang semuanya, mungkin aku dikira pimpinannya makanya namaku yang disebut di mic.
Ku dengar anak Pertiwi tahu dengan Raya, mereka tahu kalau dia pacarku, jadi aku minta tolong pada kak Damar untuk temani Raya pulang karena kebetulan dia tak ikut dipanggil ke kantor Baroto hari itu. Dia menyanggupi setelah tahu alasannya sekalian melihat keadaan.
Dan benar saja dugaanku, anak Pertiwi sudah bergerombol di ujung jalan dekat komples rumah Raya, cepat kak Damar duduk menurunkan kakinya sebelah ke tangga pintu angkot sambil menampakkan pisau yang ia bawa di saku celananya kepada rombongan itu, maksudnya agar mereka tak macam-macam. Tentu saja Raya tidak tahu karena tertutup kaki kak Damar.
Esoknya mama dipanggil kesekolah, aku memutuskan berangkat dengan mamah dan jemput Raya sekalian, karena tujuanku agar bisa pulang naik angkot yang biasa Raya naiki, ingin lihat lagi keadaan, apa mereka masih nunggu Raya di tempat itu atau di tempat lain yang tak terpantau oleh kami.
Siang itu, setelah sidang oleh Baroto diruangannya, aku lihat Raya sedang di taman tengah dengan kedua kawannya, aku hampiri dia disana, hari itu memang panas sekali rasanya. Duduk di bawah pohon rindang sepertinya akan nyaman, tapi tak berselang lama, kenyamananku terusik oleh cecunguk-cecunguk dari kantin belakang yang tiba-tiba pindah nongkrong disini.
Aku jengkel karena Raya pasti jadi risih oleh mereka. Tak bisa diusir juga karena Raya bilang tak apa, hanya saja aku tahu dia mulai gugup saat anak kelas 3 ikut gabung, tidak mungkin aku menenangkan dia di depan semua kampret-kampret ini, nanti semua jadi tahu. Hanya kukatakan soal jadi berani padanya, dan dia paham. Pacarku memang pintar!
Ah! aku baru ingat soal ulang tahun Raya gara-gara ocehan si Erik, benar-benar lupa mencari tahu hal itu. Tapi Raya tampak bukan tipe yang mempermasalahkan persoalan menye-menye begitu, jadi aku lega dia tak marah kalau aku baru tahu tanggal ulang tahunnya.
Syukurnya, hari itu tak nampak batang hidung Pertiwi menunggu kesempatan mendekati Raya, yang ada hanya bapak mesum brengsek sibuk menelan ludah karena lihat setengah paha Raya di angkot. Ingin ku tonjok saat itu juga! Tak ku izinkan Raya pulang naik angkot lagi setelah ini. Tapi tiba-tiba dia nangis, aku kaget, dia pikir aku kesal padanya? Ku genggam tangannya erat, agak menyesal karena dia jadi takut.
Seharian itu kami habiskan di rumah Raya, mamahnya baik dan masakannya enak, masakan mamaku pas-pasan, aku akan lebih pilih bi Surti yang masak jika dirumah.
***
Hari itu, Raya ulang tahun, aku tetap jemput dan antar dia pulang seperti biasanya. Tapi aku sedikit repot karena membuat hadiah. Raya itu beda, bukan cewek yang akan senang bila di beri kado parfum mahal, atau sepatu mahal. Jadi aku harus putar otak sedikit untuk kadonya.
Kuputuskan untuk membuat gambar dirinya saja, lalu puisi itu, aku tulis sangat mendadak 1 jam sebelum ke rumah nya. Dan gantungan kunci koala, aku tambahkan karena kadonya terlihat sepi, lagipula aku memang ingat dia saat dapat oleh-oleh itu dari Teguh. Kubungkus cepat kadonya tak peduli akan berantakan atau tidak, dan nyatanya ditertawakan Raya.
Dia kelihatan senang, syukurlah ...
"Ray mama suruh ajak amu main kerumah weekend ini."
Aku sedang di kelas Raya, merebahkan kepala di meja sambil menghadap dia.
Dia terlihat antusias untuk main ke rumahku, aku senang karena dia tak canggung pada mama seperti dulu dia canggung padaku saat awal kenal. Apa dia hanya begitu pada laki-laki? Entahlah.
Hari itu, pertama kalinya aku lihat dia meluapkan kekesalannya padaku, dia sampai menangis. Aku tidak mengira dia akan berfikir seperti itu. Buatku, hal yang tidak aku sampaikan itu berarti bukan hal yang penting, tapi menurutnya tidak, di sesenggukan.
Ku beranikan diri memeluknya, dia diam, malah tangisnya makin tergugu. Ku kecup bibirnya saat itu.
Demi Tuhan aku tidak tahu, bagaimana perasaanku berkembang kian dalam padanya, kalau diingat, tidak pernah aku merasa sangat ingin menjaga orang disampingku sampai seperti ini sebelumnya, bahkan pada seseorang di Bandung dulu. Aku mau terus lihat senyumnya, tertawanya, marahnya, semua hal yang ada padanya, aku suka. Sangat suka. Sampai rasanya bisa gila.
Itu sebab kenapa aku sangat marah pada Rangga, juga pada Raya yang tak hati-hati. Kupikir akan lebih baik kalau aku menyingkir sebentar darinya, pergilah aku mendaki gunung saat itu, tanpa mengabarinya. Tapi ternyata dia kecewa sangat dalam karenaku. Banyak menangis karenaku. Sampai harus jatuh sakit.
Kutatap tubuhnya yang terbaring di ranjang UKS, merasa bersalah, juga merasa kesal bersamaan. Kesal karena bikin aku selalu kepikiran.
Soal alpukat 10 kg itu, sebenarnya aku tak paham dapat berapa banyak jika beli 1 kg, karna aku pikir akan sedikit maka itu ku pesan 10 kg, waktu ku jemput di kiosnya, ternyata banyak sekali sampai harus dipacking pakai boks kayu. Aku sendiri kaget.
Saat Raya sudah bisa masuk sekolah, itu adalah hari ekskul. Jadwalku untuk latih tanding dengan anggota basket yang lain, membentuk tim untuk saling melawan di lapangan. Sengaja ku cium kening Raya saat itu, karena banyak ku dengar selentingan bahwa banyak anak kelas 1 ingin coba mendekati dia, juga beberapa gosip tak menyenangkan ku dengar diantara mereka soal Raya.
Kupikir akan bagus jika Raya juga kenal dengan beberapa orang kawanku di luar sekolah, jadi malam itu ku ajak dia pergi untuk nongkrong ramai-ramai dan janji pada ayahnya untuk pulang jam 10. Soal mas Bara, aku baru kenal dengannya malam itu, dia orang baik. Apalagi Raya juga sayang padanya sudah seperti abang kandungnya.
Saat kami pulang, ayahnya sudah duduk di teras menunggu sambil menyesap kopi hitam, juga rokok di tangannya. Aku merasa sedikit gugup, tapi setelah beberapa kali bertemu beliau, aku tahu bagaimana cara menghadapi beliau.
Ayah Raya itu, suka orang yang berani dan cerdas, terbukti saat aku bohong soal PR MTK, beliau juga suka orang yang menepati omongannya, juga tidak ciut meski di takut-takuti seperti sekarang ini. Beliau akan lebih senang pada orang yang bicara jujur apa adanya.
Tak berhenti ku ajak bicara Om Hasan saat itu, tujuanku memancing agar beliau bereaksi, terserah kalaupun jadi kesal. Hahaha
Aku tahu bahwa beliau sangat sayang pada anak-anaknya, hanya saja tak pandai menunjukkan.
***
Sudah dengar soal kak Laras kan? sepertinya itu tidak perlu lagi aku ceritakan, kak Laras datang padaku dalam kondisi menangis dan berantakan, dia berkata terbata-bata disela isaknya, bahwa ayahnya di rumah sakit dan minta bantuanku mengantarnya kesana.
Tentu aku menimbang dulu, tidak serta merta meng-iyakan permintaannya, aku berfikir bagaimana nanti jika Raya salah paham. Tapi akhirnya aku mau mengantarnya, sekalian mengajari Raya untuk tak picik dan sempit hati. Tapi aku terkejut saat kawannya bilang dia sudah pulang naik angkot sendirian, cepat-cepat ku susul kerumahnya, ku tepon berulang kali tapi tak juga diangkat, akhirnya aku menghubungi nomor telpon rumahnya, mamahnya yang angkat dan segera diberikan ke Raya, dia marah, tapi tetap saja lucu.
Aku senang pacarku itu Raya, orang yang berpikiran terbuka dan mau mendengar masukan. Dia akan mengerti dengan baik apapun masalahnya.
Beberapa hari kedepan, ku perhatikan kawan Raya mulai berulah, hingga memusuhi Raya, tapi dengan senang hatinya Raya patungan dengan pacarnya Bayu untuk bayar uang SPP yang dia salah gunakan. Jujur saja aku kesal.
Sampai disaat itu, Jepri lari ke kantin belakang dari gerbang belakang, berkata padaku bahwa Raya sedang adu mulut dengan anak sekolah lain, tanpa pikir panjang aku langsung berlari kesana, dengan sedikit rasa marah pada mereka, termasuk pada Raya. Ini pasti ada hubungannya dengan pacar kawannya itu.
Saat aku hampir sampai, terlihat olehku Raya yang oleng sebab di tampar bajingan itu, semakin mendidih darahku, telingaku berdenging saking aku murka. Kusambar buah jambu biji berukuran lumayan besar pada pohon yang tumbuh di pinggir jalan, ku lempar ke arah si bangsat itu.
Aku sudah tidak mau tahu sekelilingku, fokusku hanya pada bocah itu, yang aku tahu, dia harus cacat, atau giginya harus rontok. Entah siapa kemudian menarik aku agar melepas bocah itu.
Kak Yogo membentakku dengan nyebut nama Raya, aku jadi tersadar, teringat olehku bagaimana keadaannya tadi. Entah sejak kapan mereka semua nyusul kesini.
Kuhampiri dia, tapi dia tampak takut padaku. Aku makin kesal, akhirnya kubawa dia menjauh dari sana. Aku takut lepas kendali lagi dan jadi runyam, sedangkan Raya sedang trauma.
Ku sentak Raya saat itu, dia semakin terisak dalam, rasanya aku keterlaluan juga. Benar-benar sakit aku melihat kondisinya sekarang ini. Aku merasa gagal, padahal seumur hidup, dia orang yang paling ingin aku lindungi selain orang tuaku.
Dikantin belakang, segera ku kompres wajahnya agar mengurangi rasa ngilu. Tak lama datang mereka semua kembali ke kantin belakang, termasuk kawan Raya itu, hampir saja ku maki kalu tak ditegur kak Damar.
Ku gendong Raya saat pulang, karena jarak kantin belakang ke parkiran cukup jauh dan dia masih goyah. Sumpah, rsanya seperti ada batu besar yang mengganjal jalan pernapasanku, belum puas aku menghajar bajingan itu. Tapi untuk sekarang, fokus pada Raya lebih penting, setelahnya, tinggal susun rencana.
Sore itu, dirumah Raya, tante sangat marah melihat kondisi anaknya, aku tak bisa bilang apa-apa karena itu salahku juga. Yang aku salutkan dari orang tua Raya, mereka marah pada kami, bukan hanya padaku, atau hanya pada Raya, tapi pada kami karena tak hati-hati, karena nekat, dll.
Aku tahu Raya takut setengah mati saat ayahnya pulang, aku pun takut. Aku bahkan sudah siapkan mental jika memang di pukul ayahnya. Tapi nyatanya tidak, ayahnya objektif dalam menilai, aku sadari beliau tak marah padaku karena bukanlah tanggung jawabku sepenuhnya keselamatan Raya itu, karena kami masih pacaran dan aku belum jadi suaminya. Aku kagum pada Om Hasan, dan kelak ingin jadi seperti beliau ketika jadi seorang ayah.
Hanya saja, temperamen beliau itu tak main-main, beberapa kali menghadapi ayah Raya, aku sudah mulai bisa mencari celah nya. Beliau takkan mau dengar ketika tante dan Raya melarang pergi bawa senjata, bagaimanapun aku paham rasanya saat lihat Raya kondisinya seperti itu, tapi jika dibiarkan memang hanya akan ada kesia-siaan hasilnya.
Aku tinggal ikuti bagaimana alur nya saja, jika dilarang, beliau akan tetap ngeyel, tapi jika aku bilang aku ikut pergi bahkan aku yang akan tembak kepala bocah itu, beliau akan berhenti karena tau tabiatku yang pantang mundur juga tak mungkin beliau mau membahayakan aku kan. Simpel.
Raya sudah aman kini, dia sudah bisa istirahat, jadi akau akan mulai menyusun rencana agar masalah ini tak makin panjang dan membahayakan Raya, aku pergi menemui mas Topik, abangnya Akbar, kebetulan dia adalah alumni Mandala dan termasuk alumni yang disegani. Jadi kalau anak Mandala berani macam-macam atau punya rencana, kami bisa antisipasi.
Lalu, kedatangan ibu dari bangsat itu adalah variabel tak terduga, ku kira akan ada sidang dari Baroto saja, nyatanya orang ini datang menuntut karena anaknya babak belur. Ini sih masalah kecil! Tinggal bilang Raya anak siapa saja dia pasti gemetar, dan benar! Dia menyerah.
Ku katakan pada Baroto bahwa yang lain tidak terlibat dan hanya aku yang memukul, sehingga aku saja yang di beri sanksi.
Yah, sekian.
Chapter selanjutnya akan ada Raya yang akan cerita.
maaf kalau ada yang kurang ...
Dadaaaah ...
panjang banget sih Bim, capek ngetiknya woy !! (-_-')
komen dibawah ❤❤