Akhirnya busway yang Rere tunggu datang, ia bersama beberapa pengguna busway lain masuk lewat pintu sisi kiri, Rere putuskan duduk di dekat pintu seraya tutupi bagian paha yang terekspos jelas menggunakan sweater merah maroon miliknya karena rok hitam sebagai bawahan seragam kerjanya memang dibatasi di atas lutut beberapa centi, itu tuntutan pekerjaan.
Tangannya membuka ransel dan keluarkan sebuah headset, Rere paling suka mendengarkan musik saat ia menaiki busway seraya nikmati pemandangan redup kota Jakarta kala swastamita menjelang. Bukan euforianya yang redup, tapi langit sorenya. Lagipula, Jakarta takkan pernah tidur sekalipun 24jam berlaku setiap hari.
Gadis itu telah memasang headset di kedua telinganya, memilih lagu pada ponsel sebelum memejam sejenak rasakan lelah di sekujur tubuh. Ketika kelopak matanya kembali terbuka, ia mengedar pandang sejenak hingga titik netranya terhenti pada sosok berhoodie hitam yang kini duduk di kursi sebrang paling ujung, posisinya dengan Rere seperti tanda silang.
Manik mereka saling menemukan, tapi cepat-cepat Rere memutus titik fokusnya saat ia alihkan pandang dan loloskan headset yang baru dinikmati lagunya beberapa detik lalu. Rere masih penasaran, ia kembali menoleh tatap laki-laki yang sembunyikan kepala di balik tudung hitam hoodie, tapi netra laki-laki itu masih tetap menatapnya seolah sengaja mengawasi.
Rere alihkan pandang, sebenarnya ia sudah perhatikan laki-laki itu sejak mereka masih menunggu busway di BRT, Rere hanya berpikir kalau mereka sama-sama orang asing yang baru bertemu, jadi wajar jika saling menatap dalam jangka beberapa detik, tapi saat Rere tak sengaja meliriknya—tatapan itu masih sama, dan sekarang terulang lagi di dalam busway.
"Orang itu kenapa, ya. Apa dia punya niat buruk, ya," gumam Rere tanpa ingin menoleh lagi, wajahnya sama sekali tak menyeramkan, bahkan jauh berbeda jika Rere harus menyebutnya seperti penjahat. Rupa itu terlalu elok, terlalu rupawan. Namun, Rere enggan membandingkan rupa buruk atau eloknya seseorang jika siapa pun itu memang miliki niat buruk.
Masih membutuhkan waktu dua puluh menit lagi agar busway sampai pada BRT yang dekat dengan kost Rere, jadi selama waktu berputar—ia masih harus menahan kecemasannya saat laki-laki itu justru tersenyum miring perhatikan tingkah gugup Renita Hakim.
Begitu waktu yang terasa panjang itu berlalu dan busway berhenti di BRT selanjutnya, Rere beranjak seraya cengkram sweater miliknya, ia buru-buru keluar meninggalkan tempat itu seraya menoleh ke belakang. Ia semakin stres saat sepasang matanya menangkap sosok misterius tadi justru melangkah tak jauh di belakangnya, kecurigaan Rere semakin memuncak.
Ia percepat langkah, bahkan berlari kecil, tapi sosok tadi putuskan menepi di dekat pohon palem begitu merasa Rere terlalu takut akibat ulahnya.
"Dia nggak ada, ya. Semoga emang pergi," gumam Rere tanpa tahu keadaan sebenarnya, ia terus melangkah tinggalkan jalan besar dan berbelok masuki gang kecil tempat kost-nya berada. Angkasa semakin menghitam saat suara adzan maghrib sayup-sayup terdengar, suasana di area kost juga begitu sepi saat separuh penghuninya langsungkan kerja shift malam. Bahkan deretan kost sebaris dengan Rere pun langsungkan shift malam semua, hanya Rere seorang yang melakukan long shift setiap harinya.
Rere merogoh kunci kost dari ransel, memasukannya pada lubang pintu sebelum memutar dua kali hingga terbuka. Tanpa melepas sepatu, gadis itu masuk seraya menutup pintu lagi, tapi ketika tangannya bergerak hendak memutar kunci dari dalam—seseorang dari luar mendorongnya hingga Rere mundur beberapa langkah.
Bola matanya membulat sempurna saat ia menyadari siapa yang menerobos masuk tempat tinggalnya tanpa izin, sosok hoodie hitam yang kini menutup pintu dan menguncinya.
"KAMU SIAPA!" Rere mundur beberapa langkah. "Pergi dari sini, jangan ganggu aku atau aku ter—" Bungkaman di bibir Rere hingga tubuhnya terdorong membentur tembok benar-benar mengunci suaranya, kini Rere bisa melihat manik mata di depannya lebih jelas, begitu cantik dengan cokelat terang.
Persetan dengan manik membius itu, Rere merasa dalam bahaya.
"Jangan teriak, nanti bodyguard ayah temuin gue di sini. Bisa diam sebentar, oke?" bisik laki-laki itu, suaranya begitu tenang tanpa nada mengancam, tapi tetap saja membuat Rere semakin ketakutan.
"Kamu siapa!" Suara Rere kembali mengudara saat si laki-laki meluruhkan tangannya perlahan, tapi kembali ia bungkam Rere seraya menahan kedua tangannya di balik punggung.
"Diam, atau gue lakuin hal yang nggak pernah elo inginkan. Deal?" Tatapan itu terlihat lain, tak setenang tadi, bahkan kerutan kening muncul sekarang saat ekspresi seriusnya membuat Rere semakin merinding saja.
Tangannya kembali meluruh, kini bibir Rere kembali bebas meski tak berucap lagi. Keringat dingin mulai berjatuhan bersama detak jantung yang makin tak keruan, bukan soal jatuh cinta pada pandang pertama, tapi merasakan kengerian luar biasa menghadapi laki-laki yang semakin jahat di matanya.
Laki-laki itu masih berdiri di depannya, bahkan mengunci ruang gerak Rere saat kedua telapak tangannya menempel di dekat telinga Rere, mengungkung bersama tatapan teduh nan memabukan.
"Lo nggak ingat gue?" tanya laki-laki itu.
"Siapa kamu, aku nggak kenal." Rere berucap begitu lirih saat rasa takutnya enggan menyingkir.
Laki-laki tadi berdecak. "Serius nggak ingat gue? Apa emang amnesia?"
"Aku nggak ingat kamu, nggak mau juga kenal sama kamu."
"Gitu, ya." Senyum miringnya terbit, tangan kiri luruhkan tudung hoodie hingga Rere bisa melihat lebih jelas lagi siapa pun yang berdiri di depannya, tapi Rere langsung mendelik saat tiba-tiba hoodie ditarik melewati leher dan berakhir shirtless.
"Ka-kamu, gila!" Rere gagap, pemandangan setan yang kali ini pamer di depannya.
"Kalo ini ingat, nggak?" Laki-laki itu memutar tubuh, memunggungi Rere dan membuat gadis itu membeku dalam sekejap saat sepasang matanya telah menangkap pemandangan yang cukup familier, sebuah bekas jahitan yang telah kering dari bahu kanan dan turun memanjang pada punggung.
Rere menelan ludah, bola matanya enggan berkedip saat melihat bekas luka itu. Ia jadi teringat lagi kejadian seram enam bulan silam, bukan soal melihat penampakan setan, tapi adegan pembunuhan yang hampir terjadi.
"Udah ingat belum?" Laki-laki tadi kembali memutar tubuh, menatap Rere yang merenung saat tubuhnya mulai lemas. Mimpi apa dia semalam sampai bertemu lagi dengan sosok yang hampir mati di pinggir jalan waktu itu.
Kenapa dunia hanya sebesar gambar peta saja.
"Hey, kok diam. Apa mau lihat lagi?" Jordan bahkan tak segan menyentuh dagu gadis itu.
"Kam-kamu." Rere menepisnya. "Pakai lagi hoodie kamu, jangan gila di sini."
Jordan tersenyum miring, ia yakin Rere telah mengingatnya meski malam itu tak sedikit pun melihat wajah Jordan saat pekat malam mengelabui. Ia kenakan lagi hoodie tanpa menjauh dari Rere.
"Gara-gara luka ini, gue nggak bisa ke mana-mana selama enam bulan, gue juga kabur hari ini. Lucunya, gue bisa ketemu elo lagi, kayaknya good time banget ya suasananya," tutur Jordan percaya diri.
Rere tak melihatnya, ia memikirkan tentang arti dari kata mustahil.
"Mikirin apa, sih?" Jordan kembali sentuh dagunya, tapi ditepis lagi tanpa ragu.
"Mending kamu pulang, aku nggak kenal kamu. Artinya kamu orang asing, jadi nggak baik masukin orang asing ke dalam rumah."
Jordan tertawa kecil.
"Apa yang lucu? Aku lagi serius banget."
Jordan angkat tangan kanan, mulai acungkan satu per satu jemari seraya sebutkan alasannya. "Pertama, gue sengaja kabur dari rumah. Kedua, gue belum siap keluyuran lebih jauh—takut musuh serang pas gue lagi drop kayak gini. Ketiga, gue rasa di sini dulu lebih menyenangkan."
Alasan terakhir membuat Rere mengernyit. "Nggak bisa kayak gitu, terserah kamu mau pergi ke mana, itu urusan kamu. Jangan di sini!"
"Kenapa? Gue nggak bakal macam-macam kok. Emangnya lo nggak takut kalau lihat gue diserang orang lagi? Nanti sayatannya tambah, ada di punggung kiri, atau malah di dada gue. Gimana?"
Rere kembali berpikir, mengingat kejadian saat itu membuatnya kembali merinding, apalagi jika harus ada darah pekat lagi, ia bisa histeris dan pingsan di tempat.
"Terserah, intinya aku nggak mau kamu di sini. Tolong pergi, ya. Jangan gangguin aku, anggap aja kita nggak pernah ketemu."
"Kalau nggak ketemu, gue mau balas budinya gimana?"
"Nggak perlu, asal kamu nggak muncul di depan aku lagi—itu udah cukup, kamu pulang aja ya sekarang." Rere hendak hampiri pintu, tapi tangan Jordan menarik pinggangnya hingga Rere kembali terhempas di tembok.
"Gue mau di sini, malam ini aja. Besoknya gue bakal pergi," pinta Jordan, "ayah tahu rumah teman-teman gue, tahu tempat gue boxing. Jadi, di sini tempat paling pas buat sembunyi."
"Itu urusan kamu, aku nggak mau kamu di sini. Jadi, pergi aja, please." Rere sampai satukan telapak tangannya sebagai bentuk permohonan.
"Gue bukan orang jahat, serius. Kalau nggak percaya, lo bisa cek semua, gue nggak bawa benda tajam. Trust me, okey?"
Rere masih keukeuh menolak, rasa takutnya mengalahkan belas kasihan. Kecuali jika kali ini Jordan terkapar bersimbah darah di depannya, pasti Rere akan perhitungkan seribu kali agar Jordan bisa tetap di sana.
"Aku nggak bisa, mending kamu pulang."
"Lo bisa langsung telepon polisi kalau gue emang berlaku jahat. Gue bakal diam di sini aja, nggak akan ganggu elo, swear!" Jordan acungkan jari telunjuk serta tengah miliknya. "Gue nggak akan lewati batas ruangan ini."
Rere diam, berpikir sejenak sebelum melangkah masuki kamarnya tanpa mengatakan apa-apa, dan Jordan anggap semua itu adalah persetujuan.
***