Fiona terlihat cuek dan acuh namun ia tetap mendengarkan perkataan Diky tanpa merespon, tanpa basa-basi pada Diky, Fiona langsung masuk ke dalam mobilnya dan berlalu meninggalkan Diky yang menatap kepergiannya.
"Hmmm gue memang enggak tahu apa yang loe rasain selama ini Fi, tapi gue yakin loe pasti bisa menjalankannya dan menemukan orang-orang yang benar-benar tulus sama loe".
***
Diky merebahkan badannya setelah ia tiba di rumahnya, tepatnya di dalam kamarnya.
"Elo yaaa.. Nyusahin gue aja". Raja melempar kan tas milik Diky yang ia tinggal kan di atas meja kelasnya. Tas tersebut mengenai wajah Diky.
"Apaan sih loe, kena muka gue nih". Diky menyingkirkan tasnya lalu memegang pipinya yang terlihat jelas warna ungu hasil dari kemarahan Fiona.
"Kenapa tuh muka loe lebam gitu?, abis berantem lu ya?" Raja memperhatikan wajah Diky.
"Kagak, gue kagak berantem, tadi gue enggak hati-hati, gue enggak sengaja nabrak tiang listrik, yaaa gini lah jadi nya". Diky berbohong.
Raja memegang dagu Diky untuk melihat kembali pipinya.
"Aaah enggak percaya gue, masa nabrak tiang listrik pipi lu yang lebam kaya abis di tonjok, dimana-mana kalo nabrak tiang listrik itu kepalanya yang benjol bukan pipi yang lebam".
"Ya sudah.. Kalo lu enggak percaya, lagian enggak penting juga". Diky memutar kan bola matanya, lalu melirik Raja yang enggak percaya dengan ucapannya.
"Oh iya, jadi tadi gimana si Fiona?, dia enggak kenapa-napa kan?". Tanya Raja.
Diky menarik kan kedua bahunya. "Kenapa lu naikkin bahu lu?, jawaban macam apa itu?, gue enggak ngerti". Raja malah nyolot.
"Haiihhh... boro-boro gue tahu keadaan dia, ketemu aja kagak, orang pas dia keluar dari sekolah, dianya udah jauh. Gue enggak tahu dimana alamat rumahnya". Lagi-lagi ia berbohong.
"Lah terus, kalo lu enggak ketemu sama dia, kenapa lu enggak langsung balik ke sekolah dan malah pulang nya sampai sore gini". Raja memukul bahu Diky.
"He he he, sekali-kali bolos kan enggak apa-apa, lagian gue bolos yang di izin kan he he he". Diky menunjukkan gigi nya yang putih itu alias nyengir.
Raja menggeleng-gelengkan kepala nya.
"Enggak nyangka gue siswa teladan nomer 2 di sekolah bisa bandel juga".
"Ya elah bro, namanya juga manusia, apalagi masih anak sekolahan, sudah pasti lah punya jiwa kenakalan nya. Emangnya cuma loe aja yang bisa bandel, gue juga bisa kaleee he he he". Ucap Diky merasa bangga.
"Makin hari makin aneh lu sejak lu ngedeketin si Fiona. Sudah lah, emang kalian kalau di pasangkan, sama-sama aneh".
"Si*lan loe bro ha ha ha".
"Oh ya... Sehabis elo dan Fiona pergi, satu sekolah ngegosipin kejadian pertengkaran Fiona dan Anna, padahal kan waktu itu cuma kita-kita saja yang tahu, eh enggak tahunya sudah satu sekolah ngomongin mereka. Emang si Fiona ini benar-benar Bintang sekolah. Tapi ya, jujur gue kasihan sama si Fiona, enggak ada yang benar-benar tulus sama dia, padahal dia itu enggak pernah ngeganggu atau menyakiti orang lain. Yaaaa.. Walaupun dia terlihat ngeselin dan sombong. Yang bikin gue salut sama dia, walaupun dia tahu bahwa mereka enggak tulus sama dia, tapi dia tetap diam aja dan pura-pura enggak tahu. Kalau gue jadi Fiona mungkin mereka sudah habis gue babat".
Diky mendengar kan Raja dengan seksama, ia tersenyum simpul.
"Itu kan elo, bukan Fiona. Sekarang loe sudah sadar kan, kalo Fiona itu bukan cewek aneh?".
"Hmmp... Iya gue akui kalau gue salah menilai Fiona".
"Maka nya, jangan suka menilai orang lain sembarangan. Kita tidak tahu sifat dan hati seseorang yang sebenarnya. Bisa jadi kan Fiona bersikap acuh dan sombong kaya gitu karena dia takut kejadian tadi pagi bakal sering ia alami kalau dia mau di dekatin sama orang lain".
"Ya enggak bisa gitu juga lah bro. Kan enggak semua orang sama. Kalau semua nya sama berarti elo ngedeketin Fiona karena ada maksud nya juga lah". Ucap Raja.
"Emang. Gue ngedeketin dia karena punya maksud dan tujuan ke dia he he he". Jawab Diky.
"Hmmm, Dasar, berarti elo sama aja kaya yang lain".
***
"Fiona anak cacat, Fiona anak cacat ha ha ha".
"Jangan mau berteman sama Fiona, dia kan cacat".
"Aku berteman sama dia karena dia anak orang kaya dan pintar".
Kata-kata cibiran tersebut masih terngiang jelas di telinga Fiona bahkan di setiap dalam mimpinya. Fiona merasa gelisah dalam tidur nya, tubuh nya basah kuyup di guyur oleh keringat nya.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..." Fiona berteriak dengan histeris dan tersentak. Fiona bernafas dengan kencang sembari melirik ke sekeliling kamar nya yang gelap. Ia mencoba untuk mengatur nafasnya lalu mengusap wajahnya.
Fiona beranjak dari tempat tidur lalu berjalan menuju toilet. Ia membenamkan wajah nya ke dalam wastafel yang sudah berisi air bersih, ia berharap bisa mendinginkan pikiran nya.