Jalanan ibu kota tak terlalu padat, pagi ini sepertinya mereka lebih memilih di rumah, memasuki musim hujan yang membuat siapapun malas untuk berada diluar rumah.
"Mau makan ayam geprek dulu gak?"
Alat bantu dengar itu tak lebih baik dari sebelumnya yang dia miliki, namun cukup membantunya berkomunikasi dengan orang lain walaupun tanpa melihatnya sekalipun.
"Mau"
Hati Ali terluka, melihat Lisa tak menoleh sedikitpun ke arahnya, dia tau wanita itu menyembunyikan luka di pipi kanannya, Lisa menyetir dengan fokus, seperti tidak ingin sekali di ganggu dan Ali mengerti akan hal itu.
"Om...
"Hmm?"
"Gue bukan pembawa sial kan?"
Perasaannya kembali terluka, Nobani nyatanya terlalu dalam mengoreskan rasa kecewa pada seorang Aleesha, bola mata itu menatap tajam jalanan ibu kota, namun hatinya masih sibuk dengan kekalutannya tentang sebuah pernyataan menyedihkan dari ayahnya
"Lo berharga, jangan jadiin pendapat orang lain jadi tolak ukur kebahagian lo kak, karena mereka bakal tau gimana sulitnya elo jalanin kehidupan lo selama ini"
"Gimana pendapat itu dari ayah gue sendiri?"
"Dia bukan ayah lo, gue ayah lo, dan cuma gue yang akan jadi ayah lo, lo ngerti kan kak?"
"Kenyataan nya lo bukan ayah gue om"
"Lisa, dengerin gue, lo emang bukan anak kandung gue, tapi lo tau, lo sama berarti nya kayak Rose di hati gue, di hidup gue, bahkan sampai gue mati pun lo bakal tetep berarti, lo punya banyak orang yang menganggap lo berharga di hidup mereka, jangan jadiin pendapat satu orang brengsek itu jadi tekanan buat lo, kalau bisa lo hapus dia dari hidup lo"
"Gak bisa om, gue terlalu sayang sama om Noban"
Bahkan untuk memanggil lelaki itu Ayah saja dia tak punya keberanian, dan kenyatannya pun Nobani tidak ingin Lisa memanggilnya dengan sebutan ayah.
Siapapun pasti mengerti tidak ada seorang anak yang mampu membenci ayahnya dengan sepenuh hati, walaupun kekecewaan nya lebih besar dari rasa cinta itu sendiri.
"Lo berhak atas hidup lo Lis, tapi jangan merasa sendiri ya, ada gue ada Salsa ada Rose yang bisa lo jadiin rumah, lo bisa pulang kapan aja ke kita, pintu rumah gue gak bakal pernah tertutup buat lo"
Genggaman hangat itu menguatkan nya, Ali bahkan lebih dari sekedar orang yang mengasuhnya dari kecil, namun baginya Ali adalah satu-satunya laki-laki yang berhati baik yang pernah ada di hidupnya, dia beruntung.
"Ayam geprek, lets gooooo"
Dan hari ini berakhir jauh lebih bahagia.
🔻🔺🔻
Salsa berjalan dengan cepat menuju kamar adiknya, tujuannya hanya satu, memberi lelaki sialan itu pelajaran, mendengar cerita Ali semalam, membuat emosinya memuncah, Nobani tidak pernah sadar dengan apa yang dilakukannya terhadap anaknya sendiri, dia terlalu angkuh untuk hidupnya dan Salsa membenci itu semua.
"Loh sal pagi banget Jennie belum ba..
Untuk kesekian kalinya lelaki itu mendapatkan pukulan keras di wajahnya, dia tau arah masalah ini, pasti karena Lisa, Salsa salah satu wanita yang akan turun tangan langsung membela keponakannya itu, tak ada seorang pun boleh menyakiti Lisa.
"Ha... Lo mukul gue karena anak itu ya?"
"Bangun lo, lo berani sama dia, kalau sekarang lo lawan gue gimana? Lo tau gue gak akan pernah kalah dengan orang yang udah ngusik keluarga gue"
"Semua orang belain anak sialan itu, dan lo lebih milih dia? Lucu juga"
"Lo itu manusia apa bukan sih Ban? Kenapa lo tega banget sama anak lo sendiri?"
"Dia ngebahayain Jennie, jadi gue gak suka dia deket-deket istri gue lu paham"
"Bahkan dia anak lo ban"
"Anak di luar nikah, lo kan yang paksa gue buat tanggung jawab"
Salsa menyugah rambutnya kasar, ini yang dia takutkan selama ini, bagaimana cara Nobani menerima kehadiran Lisanya, bagaimana dia bisa hidup dengan penyesalannya atas Lisa.
"Lo tau, gara-gara anak itu gue putus sekolah, Jenni jadi ibu bahkan di umurnya yang masih sangat remaja, dan gue gak bisa nikmatin masa remaja gue selayaknya mereka, lo tau gimana rasanya jadi gue?"
"Lo ngaca, kalau lo mau hidup lo bersih, lo jangan ngelakuin hal tolol yang bahkan lo sendiri udah tau konsekuensinya apa, jangan nyalahin anak lo atas kesalahan yang kalian perbuat deh, lo terlalu anak-anak untuk hal ini"
"Lo gak ngerti"
"Lo lupa, gue bahkan juga punya anak setelah satu tahun kelahiran anak lo, jadi jangan jadiin ini alasan Ban, lo terlalu pengecut"
"Ini hak gue...
"Iya, ini hak lo, gue cuma gak bisa ngebayangin betapa terlukanya lo nanti, disaat lo sadar betapa berharganya Lisa di hidup lo, sementara anak yang lo sakiti selama ini gak akan sudi lagi ketemu sama lo"
"Gue gak akan pernah nyesel lo tau"
"Dunia gak mengitari lo Ban, semuanya akan berubah, mau atau gak semuanya akan berbalik lagi ke elo"
"Lo gak ngerti, semua orang gak pernah ngerti"
"Ha iya, saat waktunya tiba gue gak akan berdiri di belakang lo, ngabisin waktu gue untuk nolong lo ngemis-ngemis maaf sama Lisa, gue terlalu sibuk untuk itu, permisi"
Selepas kepergian Salsa, lelaki itu meluruhkan tubuhnya ke lantai, mulai sedikit menggunakan hati nurani dalam kisahnya, bagaimana caranya memperlakukan anak kandungnya sendiri, bagaimana Lisa hidup dalam ketakutan selama ini, bagaimana lisa terluka dan kecewa atas setiap pukulan bertubi-tubi pada tubuhnya.
"Kalian bukan gue, kalian gak ngerti ini semua"
Sementara Jennie mendengar itu semua dengan jelas, memangis tanpa suara, rasa sakitnya masih sama, sampai kapan Nobani tidak menerima Lisa di hidupnya, sampai kapan lelaki itu berfikir kalau kehadiran Lisa adalah penyebab kekacauan yang ada, dia sangat ingin lelaki itu tau, betapa besar kasih sayang seorang Lisa terhadapnya, walaupun hanya dibalas dengan hal yang menyakitkan.
"Cukup Bani, aku capek"
Entah berapa dalam luka yang hadir dalam hatinya, betapa besar rasa kecewanya dipisahkan dengan anak pertamanya, namun apa yang bisa dia lakukan, Jennie hanya diam mematuhi semua perintah dari suaminya itu, seakan cintanya membuat semua tidak terbantahkan, dan sekarang dia terjebak dengan semua hal yang dia perbuat sendiri.
"Sayang... Maaf"
Untuk kesekian kalinya Jennie luluh, dia benci dengan hatinya, bagaimana dia bisa dengan gampangnya memaafkan seorang yang bahkan tak layak disebut sebagai manusia, dia terlalu dalam terjatuh untuk menyayangi seorang Nobani, dia terlalu naif untuk hidupnya sendiri.
Pagi ini kembali dalam rasa hampa, berulang kali kata maaf hadir dalam kisahnya, dan berulang kali pula Jennie menerima semua itu, namun tak bisa dia pungkiri, setiap hati akan berubah seiring rasa sakit yang menyertai dalam kisahnya.
"Aku gak tau sampai kapan aku bisa biasa aja dengar kata maaf dari kamu Ban, jika saat itu tiba, jangan pernah ingetin aku, kalau aku pernah mencintaimu segila ini"